"Sorry gue ketiduran" ucap Anin saat berhasil turun dari motor.
Gibran tersenyum kecil "sebenarnya sampai subuh juga gapapa sih Nin"
Anin memutar bola matanya "Najis" ucapnya membuat Gibran tertawa.
"Masih aja galak sama gue"
Anin memutar bola matanya "Kalau baik sama lo, ngerugiin soalnya"
Tangan Gibran terulur untuk merapikan rambut Anin yang berantakan. "Susah banget ya ditaklukinnya cewek yang satu iniiii...." Ucapnya lalu mencubit pelan pipi Anin.
"Bisa gak sih gak usah pegang-pegang?"
"Bisa nggak sih lo bales perasaan gue?" Tanya Gibran membuat Anin mundur dua langkah. Memberi jarak. Hal itu membuat Gibran diam.
Namun, belum sempat kakinya melangkah masuk. Tangannya keburu di cekal oleh Gibran. Wajah Gibran dengan senyumnya terlihat jelas membuat Anin menahan nafas.
"Percaya gak kalau gue bilang suatu saat lo bakalan kangen sama gue sebagai sosok yang gak akan lo temuin sama siapapun?"
Anin terdiam, sementara Gibran berusaha menahan rasa kecewa yang berkecamuk di dadanya.
"Lo pulang aja, gue ngantuk" ucap Anin lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Meninggalkan Gibran yang kini mengusap wajahnya dengan perasaan lelah dan kecewa yang bersamaan.
< • • • >
Anin baru saja hendak menuju kamar, namun suara ketukan pintu mengurungkan niatnya. Ia segera bergerak menuju pintu, lalu membukanya. Mata Anin menyipit kala melihat ibunya yang datang.
"Ibu?" Beonya
Anisa mengangguk, lalu masuk ke dalam. "Ibu tidur di sini ya, malam ini" ucapnya
"Ibu berantem sama Om Fahri?"
Anisa menggeleng "kamu kok manggil Papa kamu masih pake om sih? Jangan gitu dong. Dia kan sekarang Papamu"
Anin akhirnya mengangguk "iya, Anin usahain" jawabnya seadanya, lalu ikut duduk bersama Anisa di sofa.
"Nin, ada yang ingin ibu sampaikan" ucap Anisa, ia menatap lurus kearah anak perempuannya itu.
Anin sudah menduganya. Tak mungkin ibunya kesini hanya untuk bermalam, tanpa alasan.
"Ibu mau ngomong apa?" tanyanya langsung.
"Sebentar lagi kamu akan punya adik, Anin" ucap Anisa sambil membelai pelan perutnya yang terlihat buncit. Ah, Anin baru menyadari itu.
"Ibu sama papa kamu sudah bicarakan soal ini. Di rumah ini, kamu juga gak punya siapa-siapa kan? Ibu mau ajak kamu tinggal bareng kami. Kandungan ibu juga sudah jalan 3 bulan"
Anin menggeleng "Anin kan udah bilang Anin mau tetep disini, Bu"
Anisa mengambil tangan anaknya itu "kamu sendirian di sini, sayang. Gak ada yang ngurus kamu. Nin, sebelum nenek meninggal, ia sudah bicara dengan ibu" ucapan Anisa membuat anin tersentak.
"Nenek bilang apa?" Tanya Anin penasaran
"Nenek bilang, ibu harus membawa kamu tinggal bersama ibu. Dan ibu sudah janji akan tepati hal itu" Anisa yang semula duduk kini bersimpuh sembari menggenggam tangan Anin "maafkan ibu, sayang. Maafkan ibu. Tujuh belas tahun kamu hidup kurang kasih sayang, sementara ibu sibuk mencari kebahagiaan ibu sendiri. Maafkan ibu, nak"
Anisa menangis terisak di pangkuan Anin, membuat celana bahan yang Anin kenakan basah. Anin diam, air mata ikut menetes di pipinya. Ia menunduk menatap ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Intruder
Teen Fiction[ Untuk kenangan masa muda dan kata maaf yang tak sempat diucapkan ] Bagi Gibran, menikmati masa muda adalah bagaimana kita bisa menjadikan setiap momen yang ada terasa berharga. Juga sebagai cerita yang sempat mengisi kenangan hidupnya seperti tem...