Langkah Anin terdengar di koridor rumah sakit yang terlihat sepi. Namun saat tiba di depan kamar ibunya. Kamar ibunya justru kosong. Kepalanya semakin berat, ia keluar dari ruangan itu. Lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Fahri.
Pada panggilan kedua, barulah panggilan itu diangkat.
"Papa" ucapnya
"Anin, kamu sudah di rumah sakit?" Suara Fahri terdengar parau, seperti orang yang baru saja menangis.
"Aku di depan kamar inapnya ibu, papa dimana?"
"Tunggu sebentar ya, papa kesana"
Telefon dimatikan sepihak, sebelum itu Anin mendengar suara langkah Fahri yang terburu-buru.
Ia hendak mencari tempat duduk untuk menopang tubuhnya, kini pusing di kepalanya sudah sangat parah. Ia meraba dinding disebelahnya, namun pertahanannya keburu habis. Perlahan, tubuhnya merosot. Dan dalam hitungan detik, matanya terpejam.
< • • • >
Anin berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke Indra penglihatannya. Setelah terasa jelas, kepalanya menoleh ke kiri dan terlihatlah Fahri yang duduk di sofa sambil memijit pelan kepalanya.
"Papa" panggilnya
Fahri mendekat "Anin, gimana londisi kamu? udah baikan?"
Anin mengangguk "Lumayan pa" Anin berusaha untuk duduk. Ia menyenderkan tubuhnya di ranjang rumah sakit.
Fahri mengambilkan sebuah gelas berisi air, dan memberikannya pada Anin. Anin menerimanya lalu meminumnya untuk meredakan sedikit dahaganya.
"Ibu gimana pa?" Tanyanya
Fahri terdiam sejenak. Firasat Anin jadi tidak enak. Ia memutuskan untuk bertanya lagi "Ibu kenapa pa?"
Fahri berlutut, menangis. Ia menggenggam erat tangan Anin dan menundukkan wajahnya.
"Adikmu ... Adikmu gak bisa diselamatkan" bahu Fahri tergolek lemah, Anin terdiam. "Sekarang ... Sekarang ibumu lagi diruang ICU. Maaf, nak. Maaf" Fahri terus menangis
Anin masih terdiam, rasanya tubuhnya kembali mati rasa. Tak setitik pun air mata jatuh dari matanya, seolah berita yang barusan ia dengar, hanyalah angin lalu. Ia kemudian mengelus pelan rambut Fahri.
"Ibu, gak akan kenapa-kenapa pa" ucapnya pelan
Fahri mendongak, menatap kearah Anin yang tersenyum dengan mata memerah "maaf, nak" ia kembali mengucapkan kata itu
"Anin mau liat ibu"
"Iya, ayo. Papa anter" Fahri membantu Anin turun dari ranjang. "Kamu kuat jalan? Atau mau pakai kursi roda?"
Anin tertawa kecil "Anin gak lumpuh, pa"
Mereka berjalan melewati koridor satu bersambung dengan koridor lainnya. Hingga tiba di depan kamar ICU, tempat Anisa terbaring.
Tangan Anin terjulur untuk menyentuh kaca pembatas. Menatap ibunya yang berbaring dengan banyak selang yang menempel pada tubuhnya.
"Ibu udah tau pa, kalau adikku gak bisa diselamatkan?" Anin bertanya lirih
Fahri menggeleng "ibumu belum sadar pasca operasi, papa belum bicara dengan dia"
Anin mengangguk "Ibu pasti sedih banget, karena gak sempat liat anaknya. Padahal, ibu sudah rencanain namanya. Kata ibu, dia mau kasih nama Cia, artinya bulan. Biar adikku cantik kayak bulan di atas sana"
"Maaf nak, maaf" hanya itu yang mampu Fahri ucapkan. Sejujurnya, hal ini pun membuatnya terpukul. Ia bahkan tak sanggup mengeluarkan air mata lebih banyak lagi, karena hatinya yang terlalu sakit.
"Papa gak salah, ini memang sudah takdirnya. Aku yakin ibu juga pasti akan terima ini semua. Meskipun secara bertahap" suara Anin terdengar bergetar meskipun tak ada sedikitpun air mata yang jatuh.
Fahri menatap Anin, sedari tadi justru Anin yang menguatkannya. Ia merasa malu, juga merasa beruntung memiliki Anin sebagai putrinya. Fahri menjulurkan tangannya membawa Anin ke dalam dekapannya.
"Pak Fahri" panggilan dari belakang itu membuat Fahri juga Anin menoleh dan menemukan Dokter Benjamin menatap kearah mereka. Fahri melepas pelukan itu. Dokter benjamin tersenyum sopan kepada Anin yang dibalas senyum yang sama.
"Bisa kita bicara sebentar, Pak?" Tanyanya ramah
Fahri mengangguk "boleh dok"
"Mari, ikut saya"
Dua puluh menit kemudian, Fahri kembali dengan membawa kantung kresek berisi makanan dan memberikannya pada Anin yang kini duduk bersandar di dinding rumah sakit.
"Makan dulu, nak. Papa tahu kamu lapar" Fahri memberikan bungkus itu pada Anin.
Dalam hitungan menit, bungkus itu sudah kosong. Mungkin karena sedari pagi Anin belum makan. Hal itu juga yang membuatnya pingsan. Untungnya, dokter benjamin sempat memberinya vitamin.
"Dokter benjamin bilang, kondisi ibu semakin membaik. Dan mungkin besok atau lusa akan dipindahkan ke ruang inap"
Anin lega mendengarnya. Fahri kembali menatap Anin.
"Kamu pulang dulu aja, besok kesini lagi. Maaf ya, papa gak bisa antar kamu karena sebentar lagi harus menebus resep obat" Fahri bangkit dari kursi diikuti Anin.
"Iya udah, Anin pulang" Anin mengambil tangan Fahri dan menciumnya
"Kamu hati-hati ya, belajar yang benar. Supaya nilai ulanganmu bagus" ucap Fahri sembari mengelus sudah hitam Anin.
"Iya, Pa. Anin pamit ya" setelahnya Anin berjalan menuju pintu keluar.
< • • • >
Langkah Anin kembali menyusuri koridor rumah sakit, kini sudah hari Kamis. Besok adalah ulangan terakhir. Semalam, setelah Anin pulang, Fahri memberitahu bahwa Anisa telah sadar. Maka dari itu, ia buru-buru pergi ke rumah sakit tanpa mengganti baju terlebih dulu.
Ia mendorong pelan pintu kamar tempat Anisa di rawat. Dan menemukan Anisa yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah ibunya masih terlihat pucat.
Tiga detik kemudian, mata Anisa mengerjap. Perlahan terbuka dan melihat kearah Anin. Seketika raut ketakutan muncul di wajah Anisa. Ia berteriak histeris.
"BAYIKU! BAYIKU TIDAK MATI! BAWA BAYIKU KE SINI"
Teriakan histeris Anisa membuat Anin mundur tiga langkah, tak lama seorang suster dan Fahri masuk ke dalam. Suster itu segara menghampiri Anisa dan menenangkannya dengan suntikan.
Anin menoleh kearah Fahri. Meminta kejelasan atas apa yang terjadi. Fahri menatapnya sedih. Dan sat itulah Anin tahu, dunianya bukan lagi hancur, tapi runtuh.
< • • • >
Jakarta, 7 Agustus 2020.
Revisi : 31 Oktober 2020
Haii ...
Aku cuma mau bilang "apa yang kamu tuai itulah yang kamu petik" kata itu bener banget.
Hari ini update sampe 5 chapter, enek nggak bacanya? Wkwk. Sorry ya, aku lagi kejar target supaya Minggu depan selesai. Dan harus bener-bener selesai.
Aku juga lagi proses ngetik ending, dan juga proses mengetik cerita baru, hehe.
Makasih ya yang udah dukung sampai sejauh ini. Makasih banget, sayang kalian❤️🤝
KAMU SEDANG MEMBACA
Intruder
Genç Kurgu[ Untuk kenangan masa muda dan kata maaf yang tak sempat diucapkan ] Bagi Gibran, menikmati masa muda adalah bagaimana kita bisa menjadikan setiap momen yang ada terasa berharga. Juga sebagai cerita yang sempat mengisi kenangan hidupnya seperti tem...