Aku terbangun ketika udara dingin menerpa kulit lengan telanjangku. Tanganku menarik selimut kelabu itu lebih tinggi sampai sebatas leherku. Kulirik jam dinding di sisi kiri, empat pagi. Terlalu pagi untuk bangun. Kami baru berhenti tiga jam yang lalu. Chanyeol berhenti setelah dia mendapatkan pelepasan ke limanya sedang mulutku telah menjerit ketika gairahku meledak sebanyak depalan kali. Dia begitu berstamina malam ini. Tubuhku benar-benar kewalahan. Tapi ucapannya tidak dapat kutarik dan Chanyeol adalah A man with his words, he meant it. Aku bermaksud untuk memejamkan mataku kembali tapi urung ketika mendengar napas tersengal dari pria disampingku.
"Chanyeol.." panggilku sambil menyentuh dadanya.
.
.
.
Terdengar suara gesekan antara grafit dan kertas. Alis tebalnya hampir menyatu ketika ekspresinya begitu serius mengerjakan soal-soal didepannya. Beberapa kali menggigit bibir tebalnya ketika pensilnya berhenti ditengah-tengah hitungannya. Jika tangan kanannya sedang berusaha memecahkan soal matematika, maka tangan kirinya berulang kali mengusir lalat-lalat buah yang terkadang muncul mengganggu konsentrasinya.
Ibunya pamit untuk pergi ke suatu tempat sebentar satu jam yang lalu dan berpesan kepadanya untuk menyelesaikan tugas sekolahnya jika ingin bermain sore ini. Karena itulah berkutat dengan buku matematika adalah yang dilakukannya semenjak ibunya pergi. Tujuannya hanya segera menyelesaikan tugas sekolahnya agar bisa bermain baseball dengan temannya di lapangan sekolah. Tubuhnya terjingkat ketika mendengar ketukan amat kasar dan tidak sabaran dari pintu.
"Hei ! Buka pintunya ! Aku tahu kau ada didalam jalang !"
Chanyeol kecil segera berjalan untuk membuka pintu, tak ingin orang itu semakin merusak pintu rumahnya. Tidak, ibunya pasti akan marah jika tahu. Tangan kecilnya meraih kunci dan segera membukanya. Belum sampai pintu itu dibukanya, pelaku yang mengetuk pintu tadi segera mendorongnya dengan keras. Tubuh kecilnya terjatuh dilantai dingin, sikunya dijadikannya tumpuan. Meringis ketika perih terasa disikunya.
"Dimana ibumu ?!"
Pria dengan tato dilengan kanannya yang terbuka itu berteriak. Dengan susah payah, Chanyeol kecil berdiri mengabaikan rasa perih dari goresan luka baru.
"A-aku tidak tahu paman" suaranya bergetar diujung bibirnya.
"Sialan !", ketika tangannya menyingkirkan tubuh anak itu dari jalannya.
Langkahnya mulai memasuki kamar ibunya. Chanyeol kecil berlari menyusul pria itu. Tangan kecilnya berusaha menghentikan tangan pria itu yang telah mengobrak-abrik meja ibunya.
"Berhenti !" Jerit anak kecil itu.
"Kau- berani sekali kau ! Dasar anak jalang !", lalu sebuah tamparan mendarat di pipi kiri anak itu.
Anak itu meringis ketika merasakan panas dipipi dan perih disudut bibirnya. Airmata telah mengumpul diujung matanya, siap untuk mengalir melewati pipinya. Tapi giginya memilih untuk menggigit bibirnya dengan keras, mencegah isakan keluar dari mulutnya.
Jalang. Anak itu kerap kali mendengar sebutan itu pada ibunya. Berulang kali dirinya bertanya mengapa ibunya dipanggil jalang. Lalu ibunya hanya mengatakan bahwa orang yang memanggil ibunya jalang adalah orang jahat. Maka pastilah orang ini adalah orang jahat.
"Orang jahat sialan !". Mulut kecilnya berteriak penuh amarah. Pria didepannya terlihat terkejut. Lalu berikutnya wajahnya memerah. Tangan besar itu menyeret anak itu keluar. Mendorongnya kelantai dengan amat keras.
"Benar anak jalang ! Pantas saja mulutmu sama kotornya dengan tubuhnya !"
Airmata turun mengalir dipipinya. Ibunya dihina, ibunya yang cantik dihina. Ibunya yang penuh kasih sayang. Matanya melotot ketika pria itu meraih tongkat baseballnya. Tidak, itu pemberian temannya dan dia akan bermain sore ini bersama temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST STEP (completed)
Roman d'amour[SEQUEL OF PERFECT 10] Matanya berpendar diatasku, bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Chanyeol, apa itu ?" "Konsekuensimu tentu saja" "Chanyeol mhh.., Chanyeol tidak" "Aku tahu kau menyukainya, jangan bersikap seolah kau tidak" "Aaahh !" "Go on...