17:00 sore.
Pesona senja memang sangat luar biasa. Bagi sebagian orang, guratan warna merah, oranye, kuning, dan biru di langit membuat tenang hati dan sangat indah dipandang.
Desir pasir di pantai tersapu oleh gelombang air laut, semilir angin berhembus begitu tenang, suasana pantai petang ini sangatlah damai, sepi dari pengunjung.
Hanya ada sepasang manusia yang sekarang sedang terduduk diatas pasir, tanpa alas yang menjadi dudukannya.
Sejak 1 jam yang lalu, setibanya mereka di tempat indah ini, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka. Keduanya masih larut dalam ketenangan.
“Kenapa kita ga langsung pulang?” tanya seorang perempuan yang selalu ada disamping lelaki bar-bar yang sekarang sedang sedih.
“Males pulang,” jawab lelaki itu, “lu suka sunset?” tanya lelaki itu, dengan pandangan yang masih sama, yaitu menatap kearah matahari terbenam.
“Hm ... Suka-suka aja, ga ada alasan untuk gua ga suka pemberian Tuhan,” jawabnya, dengan seulas senyum, “lu sendiri suka sunset?” tanya perempuan itu.
“Sebenernya si gua biasa aja, cuman ga tau kenapa, setiap gua ada masalah atau lagi ngerasa ga enak hati, tiap kali gua liat sunset seindah ini, hati gua rasanya damai,” jelas lelaki itu.
“Ya emang itu gunanya sunset, menyajikan keindahan sekaligus menciptakan rasa damai.”
“Jadi apa masalah lu? Hm,” tanya perempuan itu, membuka sesi curhat.
Tak ada sahutan dari lelaki berparas manis, yang duduk disebelahnya. “Paswaktu itu, ada cowo yang marahin gue, gara-gara pas dia tanya ga gue jawab. Tapi sekarang ...” ucapan perempuan itu menggantung, melirik lelaki disebelahnya.
“Nyokap, bokap bertengkar, Mor,” ucap lelaki itu dengan suara yang terdengar putus asa.
“Karena apa?” tanya perempuan itu, mengalihkan pandanganya kearah lelaki, disampingnya.
“Gua juga ga tau pasti karena apa. Cuman mereka udah 3 kali gua pergokin lagi adu mulut,” jawab Langit, makin merasakan kelut perasaanya.
Ya ... Lelaki itu adalah Langit Ricolas, sahabat laki-laki dari perempuan pemilik bibir tebal nan sexy. Keluarga Langit saat ini memang lagi terdengar kurang baik, pasalnya kedua orang tua Langit yang akhir-akhir ini selalu berdebat hebat, membuat Langit takut jika harus merasakan nasip yang sama seperti Amora.
“Ngit ... Ngit ... Bukanya didalam suatu rumah tangga, pasti akan ada hal-hal gitu ya? Kata nyokap, dalam rumah tangga ga seru kalo ga dibumbui sama hal kaya gitu,” ujar Amora. Mencoba menenangkan perasaan Langit.
“Tapi, Mor—“
“Ngit, lu tuh udah cukup dewasa untuk bisa nerima hal-hal yang kayak gini, apalagi lu tuh cowo. Jangan lembek kenapa,” ucap Amora, gemas, “lu harusnya bisa jadi pendengar buat bunda dan ayah lu,” lanjutnya.
Mendengar penuturan sahabatnya, membuat Langit termenung. Kata-kata yang diucapkan Amora semuanya benar, tidak seharusnya dia malah lemah memghadapi ujian yang sedang menerpa keluarga kecilnya.
“Lu harusnya jadi pemersatu disaat mereka sedang retak kaya gini. Dan kehidpan bukan tentang kesenangan dan kebahagian aja, banyak orang diluaran sana yang hidup berkecukupan tapi tau-taunya keluarga mereka menyimpan banyak masalah besar, atau mungkin kebalikannya,” lanjut Amora.
Langit diam.
Semenit kemudian, Langit mengulaskan senyum kepada perempuan cantik disebelahnya. Ia selalu bisa merasa tenang jika bersama Amora, menurutnya Amora adalah sosok bidadari berhati suci yang dikirim Tuhan untuk melengkapi segala kekurangan yang ada pada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepi
Teen Fiction[S E L E S A I] Ketika hati hanya bisa memendam, karena tak mampu ungkapkan rasa yang begitu dalam. ︶︿︶ Tahukan rasanya jika harus memendam rasa sendiri, gimana? Capek! ... Pura-pura jadi orang paling terbahagia ketika...