14. Keliling Kota

85 11 47
                                    

Sepasang sahabat yang terlihat begitu mesra sedang membelah jalan ibu kota dengan motor ninja milik lelaki yang mengemudinya. Berkelana menuju suatu tempat tapi bukan menuju rumahnya, hembusan angin selalu menerpa wajah glowing perempuan yang diboncenginya hingga menciptakan rasa kantuk yang teramat, namun terpaksa harus ia tahan, karena jika ia sampai terlelap tidur bisa-bisa tubuhnya jatuh. Pasalnya ia hanya berbekal dengan pegangan pada sisi kanan-kiri jaket hitam lelaki yang sedang pokus dengan jalanan.

Lelaki itu melirik perempauan yang diboncenginya melalui kaca spion, tampak wajah menahan ngantuk yang diciptakan oleh perempaun itu. Dengan kepekaan yang dimilikinya, lelaki itu langsung menarik tangan mulus perempuan yang hanya berani berpegangan pada jaketnya  agar melingkarkan tangannya pada pinggangnya.

Sebut saja mereka Amora dan Langit. Amora sukses membulatkan matanya sesaat Langit melakukan hal itu tanpa izin darinya, “Langit!” desis Amora. Matanya yang semuala mengantuk, kini mendadak hilang dan digantikan oleh rasa kaget sekaligus canggung. Pasalnya, selama mereka boncengan tidak pernah Amora memeluk pinggang Langit dengan sempurna, seperti ini.

“Kalo lu ngantuk mending tidur deh, udah aman ko,” ujar Langit sembari mengeratkan tangan Amora, agar tidak dilepaskan oleh perempuan itu.

“Tapi gue risih, Ngit. Ga enak kalo sampe ada yang lihat,” tutur Amora cemas.

“Lah kenapa? Santaiin aja kali, toh, kita sama-sama jomblo. Jadi ga akan ada yang marah," cerocos Langit.

Amora bungkam seketika, apa yang diucapkan Langit memang benar. Seharusnya ia tidak perlu khawatir, karena tidak akan ada yang marah pula jika kalian seperti itu. Dan bukankah itu suatu hal yang wajar?

“Udah tidur aja, kita masih jauh juga ko.”

“Emang mau kemana si?”

“Udah ga usah kepo. Tidur aja,” balas Langit malah memerintahkan Amora untuk tidur.

Amora mengkrucutkan bibir tebalnya, kesal.

Beberapa menit kemudian...
Rasa kantuk kembali menyerang Amora, tanpa disadarinya, kini kepalanya sudah menempel pada pundak kiri Langit. Ia pun terlelap dalam mimpinya.

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, kini motor Langit sudah terparkir rapih di depan sebuah kedai es krim. Di bagian atas tokoh tertera nama dari kedai ini, bertuliskan ‘Hubble Scoop’.

“Huyy, bangun eh. Udah sampe.” Langit menepuk-nepuk genggaman tangan Amora yang masih mengunci perut sixpacknya.

Amora mengerejapkan matanya, “Eumh ... Udah sampe ya?” tanya Amora, yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya.

“Udah,” sahut Langit, “lepasin oy ini.” Langit menepuk kembali tangan Amora yang masih setia melingkar disana.

Spontan Amora melepaskan pelukannya, “Ehehe ... Sorry.” Amora memasang wajah baby facenya.

“Pules amat ya ibu tidurnya,” ledek Langit.

“Iya nih pa, kelamaan si bapa bawa motornya,” sahut Amora dengan membalas ledekan Langit.

“Yaudah nanti saya bawa ngebut deh ibunya. Ga dibawa ngebut aja dipelukin, apalagi kalo dibawa ngebut.” Ledek Langit semakin menjadi-jadi.

Amora langsung tersipu, mengingat dirinya yang memeluk Langit dengan sangat posesifnya. “Jangan bahas itu ah, malu sendiri gue,” ucap Amora terkekeh.

“Hahaha ... Yaudah ayo masuk.” Ajak Langit, berjalan masuk kedalam kedai lalu diikuti Amora yang mengintil dibelakangnya.

Saat memasuki area berelemen hitam, putih dan kayu, terpampang beberapa gambar ilustrasi yang menarik atensi untuk para penikmat kopi dan es krim mengambil foto.

Menepi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang