33. Dokter Gadungan

54 4 9
                                    

Assallamualaikum everyone…

Gimana kabar kalian? Semoga selalu dalam perlindungan Tuhan dan sehat-sehat yaa.. Amin
Happy reading all!! Kecup manizz dari author gajelas ini :*

& & &

Pantulan bola basket yang menyentuh ubin keramik lapangan basket terdengar begitu nyaring, tak jarang bola itu masuk dengan mulusnya kedalam ring. Seorang cowok menggunakan seragam putih abu-abu yang sekarang sudah tak terpasang dengan benar ditubuh kekarnya itu, membuat aura ketampanan cowok itu makin bertambah.

Dari pinggir lapangan ada perempuan berwajah lugu dengan kulit putih pasihnya, ia sedang menemani sang kekasih dengan sangat setianya. Tak jarang ia memberikan teriakan sebagai bentuk dukungan. Tiap kali Hani meneriaki semangat untuk Langit, selalu dibalas senyum menawan dari cowok itu. Hal yang paling membuat Hani jatuh cinta ialah senyum yang dihiasi lesung pipi itu, membuatnya candu.

Basket adalah salah satu olah raga yang Langit sukai, tak jarang Langit dan ayahnya suka bermain  basket bersama di taman komplek. Hingga tanpa disadari keahlian yang dimilikinya terasah dengan sendirinya.

“Sayang… semangat!!” Teriak Hani. Sudah hampir satu jam Langit bermain basket dan hal itu dia lakukan tanpa henti.

Hani yang sudah mulai bosan dan letih menunggu Langit, karena memang waktu istirahatnya sudah terlewatkan setengah jam dan dia belum memberi jatah pada cacing-cacing diperutnya yang sekarang sudah pada demo. Akhirnya, dengan berat hati Hani harus meninggalkan Langit sendiri.

“Langgg” Hani memanggil Langit dengan sedikit berteriak.

“Lang, kamu dengerin aku dong!” kesal Hani, karena panggilannya tak digubriskan oleh Langit.

“Ck, apaan si Han?” tanya Langit dengan sedikit membentak. Setelah bola basket itu keluar dengan mulus dari ring dan Langit berhasil menangkapnya, Langit berjalan mendekati tempat Hani berdiri. Dengan wajah masamnya.

“Loh ko kamu ngegas sih? Aku kan manggil baik-baik,” kesal Hani, melipat kedua tanganya didepan dada.

“Baik-baik apaan?! Tuh tadi ngegas,” ucap Langit dengan sinisnya.

“Ya kamu budeg,” elak Hani.

“Ck. Dahlah, kamu emang ngga pernah ngertiin aku.” Langit mengibaskan salah satu tanganya, mengacuhkan pembelaan yang Hani ucapkan.

“Sekarang apa yang mau kamu omongin?” tanya Langit, to the point.

“Aku mau ke kantin, ayo kamu juga ke kantin!” ajak Hani.

“Ngga, aku lagi ngga mood makan. Kamu aja sana sendiri,” tolak Langit. Malah ucapannya terdengar seperti orang mengusir.

Mendapat usiran dari Langit, Hani langsung keluar dari ruangan itu dengan langkah yang dihentakan, terlihat jelas kalau dia kesal karena diperlakukan seperti itu oleh Langit.

Sepanjang jalannya menuju kantin, tak henti-hentinya ia mengumpat dan mendumelkan tentang perlakuan sang kekasih kepada dirinya. Dalam benak Hani, ia terus memikirkan hal apa yang membuat Langit seperti itu, karena selama dirinya berpacaran dengan Langit, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan setidak enak itu dari Langit. Langit yang hari ini, bukanlah Langit yang seperti biasanya.

“Dia kenapa sih?”

“Gajelas banget, gue ngga salah apa-apa malah digituin. Sial!”

“Gue yakin banget nih, pasti ada yang dia pikirin dan dia rasain.”

“Lama-lama gue kaya bukan pacarnya.”

Itulah sekirnya yang dari tadi Hani dumelin sepanjang jalanya. Hingga tanpa disadarinya, tubuhnya membentur tubuh seseorang yang berjalan berlawanan olehnya. Baru saja Hani ingin memarahi orang tersebut tapi, niatnya diurungkan setelah melihat siapa orang yang menabraknya.

Menepi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang