Sore ini Ayah Yura melihat anaknya sedang membaca buku di balkon atas. Dia mengamati anaknya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Jika biasanya dia akan melihat sosok ceria dari wajah Yura maka sekarang hanyalah wajah pucat yang dia lihat, mata itu terlihat membengkak dengan kelopak mata yang gelap, bibir yang biasanya mengulas senyum dan tawa kini terlihat pucat, sorot mata yang terlihat semakin sayu.
Beliau berjalan mendekati anaknya, di raihnya buku yang di baca Yura. Membuat Yura menatap penuh tanya kepadanya.
"kenapa?" Ayah Yura bertanya
Yura terdiam "harus nya Yura yang tanya sama Ayah, kenapa Ayah ngambil buku yang Yura baca?"
"lupain itu. Ayah mau tanya, kenapa kamu nggak bilang satu kata pun waktu ayah marahin kamu? kenapa kamu nggak melakukan pembelaan apapun waktu ayah marahin kamu saat itu?"
"kalo Yura bicara apa Ayah akan dengerin?" jawaban dari anaknya langsung membuatnya bungkam "apa Ayah akan dengerin Yura ngomong? Apa Ayah akan biarin Yura selesai in pembelaan Yura? Enggak" Yura diam sesaat
"Ayah nggak akan dengerin Yura, Ayah gak pernah mau dengerin siapapun. Dan Ayah akan semakin memandang pembelaan Yura sebelah mata, karena ayah nganggep Yura lagi jatuh cinta, lagi kasmaran, jadi Yura bakalan ngebelain cowok itu atau hubungan ini. Ayah akan mikir gitu, Yura tau itu. "
Benar, memang benar yang Yura katakan, memang itu yang Ayahnya anggap jika Yura membela atau menjawab satu kata pun.
"kadang Yura berfikir. Untuk apa Tuhan ciptakan mulut kepada manusia jika tidak digunakan untuk berbicara, jika tidak digunakan untuk membela diri ketika tidak bersalah. Tapi karena Ayah dan Ibu yang mengajari Yura kalau kita tidak boleh menjawab, bahkan meski kita benar. Maka Yura lakukan itu"
"Yura juga nggak tau, Ayah marahin Yura karena apa? Peringkat Yura turun? Enggak, peringkat Yura tetep. Apa Yura lalai sholat? Enggak, bahkan saat Yura keluar sama dia pun Yura mampir ke masjid atau musholla. Apakah Ayah memarahi Yura karena Yura mencintai seorang lelaki?......... Jika itu memang kesalahan menurut Ayah, maka biarlah Yura salah di mata ayah. Dan sampai seterusnya Yura salah dimata Ayah" ucapan putrinya berhasil membuatnya tidak bisa mengatakan apapun.
Memang benar, dia tidak pernah mau mendengarkan siapapun, jika menurutnya salah, siapapun yang bicara akan salah baginya. Memang benar, dia mengajari putrinya bahwa. Jika kita dimarahi kita benar atau kita salah, kita harus tetap diam.
Tapi dia tidak mengira jika dampaknya seperti ini kepada putrinya.
"maaf Yah. Yura terlalu banyak bicara kepada Ayah, harusnya Yura nggak gitu, Ayah lakukan ini demi kebaikan Yura, jadi Yura gaboleh bicara seperti itu kepada Ayah. Maafin Yura Ayah" penutupan kata putrinya kepadanya membuatnya makin bungkam.
Setelahnya, Yura berjalan untuk turun ke lantai satu rumahnya. Meninggalkan dirinya sendiri diselimuti rasa bersalah dan penyesalan.
******
Malam harinya Joni terus bergelut dengan pikiran dan hatinya sendiri. Senyum putrinya yang menyayat hati, keceriaan rumah ini yang menghilang bersamaan dengan hilangnya tawa putrinya membuat rumah ini terkesan suram.
Wajah putrinya yang semakin hari semakin kacau, isakan tangis putrinya yang setiap malam membuatnya tertohok. Keinginannya agar putrinya tidak menangis karena tersakiti oleh seorang pemuda, justru membuat putrinya semakin tersakiti karena dirinya sendiri.
Putrinya benar, memang tidak ada yang mampu membantahnya. Karena jika ada, maka si pembantah akan dinilai salah dalam hal apapun oleh dirinya. Maka dari itu, putrinya memilih tidak membantahnya dengan satu kalimat pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday (Suatu Hari Nanti)
Teen FictionBanyak yang sudah terjadi. Rasa kehilangan, kekecewaan, air mata, kepergian, pertentangan keluarga, hadirnya cinta segitiga. Kita sudah melewatinya sampai sejauh ini. Apakah kebahagiaan akan datang, suatu hari nanti?