Dua puluh lima🍃

4.1K 346 27
                                    

Sanaya memperhatikan wajah Raffa yang kini tertidur pulas di sampingnya. Tangannya terulur mengusap-usap kepala Raffa dengan lembut. Dia membayangkan, bagaimana jika nanti anaknya sudah hadir di dunia? Pasti hidup Sanaya akan lebih berwarna. Dia akan begadang, menggantikan popok, menimang-nimang ketika anaknya menangis dan masih banyak lagi.

Bukan cuma itu, pasti nanti Raffa tidak akan kesepian karena akan memiliki teman selain di sekolah. Rega juga pastinya akan senang karena dia berhasil menjadi seorang kepala keluarga.

Senyum lebar terpatri di wajahnya. Setelah berbagai badai yang mereka lalui akhirnya mereka bisa hidup tenang sekarang. Meskipun pasti ke depannya masih ada cobaan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Sanaya siap, asalkan Rega tetap di sampingnya.

Kemudian Sanaya melirik ke arah Rega yang masih berkutat dengan laptop di meja belajar. Tangan lelaki itu bergerak cepat menekan keyboard dan pandangannya begitu fokus.

Sanaya bangun, "Masih banyak ya, Mas?"

Rega menoleh, lelaki itu tersenyum tipis, "Sebentar lagi beres. Mas harus selesain karena deadline nya jam dua belas malem."

Sanaya kini sudah berdiri di sebelah Rega, tangannya dia taruh di kedua pundak Rega, kemudian memijitnya pelan. Sanaya melirik sekilas ke jam dinding.

"Dua jam lagi dong, Mas."

Rega mengangguk, dia menikmati pijitan Sanaya yang terasa enak, terlebih memang tubuhnya terasa pegal-pegal. Dia lanjut mengetik.

"Kurang simpulan sama daftar pustaka aja, Dek. Temenin aku ya?" pinta Rega.

"Iya, aku temenin. Kamu mau dibuatin kopi?"

Rega menggeleng, "Nggak usah, nanti malah aku nggak bisa tidur."

Sanaya mengangguk saja, dia masih memijit pundak Rega berharap pegal yang mendera suaminya berkurang.

Lima menit kemudian Sanaya sudah lelah karena terus berdiri, "Mas ... Capek berdiri ..." rengek Sanaya.

Rega tersenyum geli, dia kemudian menarik pinggang Sanaya dan mendudukkannya di pangkuannya. Tak lupa dia sedikit memundurkan kursinya agar memudahkan dia lanjut mengetik.

"Sekarang udah nggak capek kan?"

Sanaya terkikik, dia mengangguk lalu tangannya mengalung di leher Rega, kepalanya dia senderkan di dada bidang Rega.

"Mas, kapan kamu ajak aku pulang kampung?"

"Memang kamu maunya kapan?" Rega balik bertanya.

"Nggak tau, makanya aku nanya kamu." balas Sanaya.

Rega diam sejenak karena harus memikirkan kata-kata terakhir untuk simpulannya. Setelah dia dapat dia lalu mengetik dengan cepat. Sanaya pun memperhatikan layar laptop, dalam hati dia memuji Rega yang bisa secepat itu merangkai kata untuk simpulan makalahnya.

"Kuliah enak nggak sih?" Sejujurnya ada rasa penasaran di hati Sanaya. Dia dulunya memang ingin kuliah, tapi setelah kehadiran Raffa dan statusnya yang sudah berubah, dia memilih untuk mengurus rumah saja.

"Enak nggak enak. Kamu mau kuliah?" tanya Rega.

"Nggak, aku udah nggak minat kuliah. Aku ngurus anak sama suami aja hehehe ..."

Rega mendengus geli, dia mengacak rambut Sanaya dengan tangan kirinya lalu lanjut mengecup pipi kanan Sanaya.

"Kirain kamu mau kuliah, Dek. Tapi kalo emang kamu berubah pikiran dan mau kuliah, aku ijinin kok."

Sanaya menggeleng, "Nggak, Mas. Nanti kalo kita sama-sama disibukkan sama tugas kuliah yang menumpuk terus yang merhatiin Raffa siapa? Masa mau ngerepotin Bunda Sicka terus."

My Precious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang