"Kau pulang sangat larut." Bibi Esme menyapa Ally yang tampak lesu, berjalan memasuki rumah.
"Ya." Jawabnya singkat.
"Apa yang terjadi Ally?" Bibi Esme berjalan tergopoh mendekati Ally yang memilih meletakkan tasnya di meja dapur kemudian mengambil segelas air dan meneguknya cepat.
"Aku ke apartment Layla bi." Tutur Ally jujur.
"Oh, baguslah. Kadang kau butuh waktu bersama temanmu, aku bisa mengerti itu." Bibi Esme memanaskan sup di dalam panci di atas kompor.
"Bi, bisakah aku bertanya sesuatu padamu?" Ally menatap wanita tua itu. Esme memilih untuk mematikan kompornya kembali dan berjalan mendekati Ally.
"Duduklah, aku melihatmu berbeda beberapa hari terakhir. Katakan apa yang ingin kau katakan." Ujar Bibi Esme.
Ally meraih tangan bibinya dan meremasnya. "Apa bibi bahagia?" Tanya Ally, pertanyaan sederhana yang sebenarnya begitu dalam.
Esme tampak menelan ludah, "Tentu saja, memilikimu di sampingku, apa lagi yang membuatku tidak bahagia?" Bohong Esme.
"Katakan jujur, mengapa bibi memilih hidup sendiri?" Tanya Ally kemudian.
"Ally Wooden, apa yang ada dalam kepalamu?" Esme menarik tangannya kemudian berjalan ke arah kompor, dia kembali memanaskan sup dalam panci.
Ally berjalan kemudian memeluk Esme dari belakang. "Aku tidak tahu harus bagaimana bi." Gais itu berbisik lirih. "Aku begitu ingin jatuh cinta, tapi aku hidup dalam bayang-bayang ketakutan, orang tuaku bahkan tidak memberiku contoh yan baik."
Esme berbalik. "Sayang,..." Wanita tua itu mengusap wajah Ally. "Maafkan mereka." Tutur wanita itu.
Sup tampak mendidih dan Esme mematikan kembali kompor. Dia menuang sup itu kedalm mangkuk kecil dan meletakkannya di meja.
"Makanlah." Katanya sambil berbalik menatap Ally yang berdiri mematung, menatapnya dari jauh.
Ally mendekat, menarik bangku lalu duduk menghadapi semangkuk sup panas itu.
"Maaf, seharusnya aku tidak bertanya." Sesal Ally.
Esme tampak mengerucutkan bibirnya sekilas, dia menatap gadis itu.
"Anselmo." Bibir Esme berujar lirih, membuat Ally yang sedianya lesu menjadi berbinar menatap wanita tua di hadapannya.
"Anselmo Guiani."
Ally meraih tangan Esme "Bibi tidak pernah menyebutkan namanya sebelumnya, siapa dia?"
Esme menghela nafas. "Satu-satunya pria dalam hidup wanita tua ini, tapi semua sudah berlalu." Kekeh Esme, seolah mengingat itu semua sebagai sebuah lelucon belaka.
"Mengapa bibi tertawa?" Alis Elly bertaut.
"Dia mungkin adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku, tapi aku tidak pernah menyesalinya." Esme tersenyum.
"Ceritakan padaku,..." Ucap Ally dengan antusias. Dia beharap akan mendengarkan kisah cinta romantis atau sejenisnya dari mulut bibinya.
Esme tersenyum tipis. "Pria spanyol, berkulit coklat, dada bidang dan otot yang tampak seperti akar di lengannya yang kokoh, matanya biru safir, dia sangat mempesona." Kenang Esme. "Dia datang pada keluarga kami sebagai rekan bisnis ayahku."
"Bisnis?" Alis Ally bertaut.
Esme menghela nafas dalam. "Dulu kakek dan nenekmu cukup berada Ally." Kenang Esme. "Anselmo menginap di rumah keluarga kami untuk satu bulan karena urusan bisnis, kala itu usiaku delapan belas tahun." Wajah Esme bersemu merah. "Anselmo adalah satu-satunya pria yang pernah menyentuhku, saat usiaku delapan belas tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ally Wooden
RomanceKisah cinta seorang gadis biasa bernama Ally Wooden (tinggal di North Carolina) yang bahkan sejak kecil harus mengalami ketidakberuntungan karena ditinggalkan pergi untuk selamanya oleh sang ibu di usia delapan tahun dan ayahnya pergi untuk menikahi...