Ally Wooden - Part 18

821 95 17
                                    

Hari ini toko tidak terlalu ramai, jadi Ally bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi sayang sekali Layla tidak masuk tanpa ijin, ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai seorang teman Ally merasa perlu memastikan keadaan Layla.

Ally berjalan menyusuri lorong apartment yang tak terlalu terawat itu. Dia naik hingga ke unit yang disewa Layla. Setelah mengetuk tiga kali akhrinya pintu terbuka, tapi Layla memilih menyembunyikan diri di balik pintu.

"Ada apa?" Tanya Layla.

"Bisakah aku masuk?"

"Sebaiknya kau pergi." Tolak Layla tapi Ally bersikeras, dia mendorong pintu dan Layla hanya bisa pasrah saat Ally merangsek dan menemukan dirinya dengan wajah penuh lebam.

"Layla,..." Ally terkesiap, dengan hati-hati dia menyentuh wajah temannya itu hingga membuat Layla menyeringai kesaiktan.

"Biar kuobati." Ally menarik tangan Layla masuk lebih dalam hingga menemukan sebuah sofa usang.

"Apa yang terjadi?" Tanya Ally setelah menebar pandangan kesekeliling. Semuanya berantakan, beberapa botol minuman bahkan terlihat kosong dan tergeletak berserakan.

"Roland mengambil Tobias." Jawab Layla dengan mata berkaca. Ally sudah menebak, ini pasti soal hak asuh anak.

"Layla,..." Ally membuka tangannya, memberikan pelukan pada wanita itu, sementara Layla sesenggukan menangis di pelukan Ally.

"Roland memukulmu?" Tanya Ally dengan hati-hati.

"Orang-orangnya yang melakukan itu, Roland bahkan tidak mempedulikanku saat para pengawalnya yang bertubuh besar itu menghajarku." Jujur Layla dengan terbata.

"Oh,..." Ally terus mengusap punggung kurus Layla untuk menenangkan wanita itu.

***

Saat ini Ally dan Layla duduk menghadapi cangkir kopi yang masih mengepul. Layla menawarkan bir tapi Ally menolak, gadis itu bahkan tidak pernah menyentuh alkohol seumur hidupnya.

"Mengapa kalian tidak bercerai dengan damai?" Tanya Ally sambil menatap Layla.

Wanita itu mengerucutkan bibirnya sekilas. "Aku pikir, aku adalah wanita yang paling beruntung saat dinikahi oleh Roland. Dia pria yang mapan, dari keluarga terpandang." Tutur Layla lirih. "Pernikahan kmai bahkan sempurna hingga tahun ke tujuh, saat itu Tobias berusia lima tahun." Mata Layla kembali berkaca.

"Entahlah,..." Layla berbicara untuk dirinya sendiri, seolah ada hal yang mencoba dia sembunyikan.

"Katakan padaku." Ally meraih tangan Layla dan meremasnya. Pertemanan mereka selama dua tahun terakhir cukup dalam meski sejujurnya Layla bukan orang yang begitu terbuka.

"Suatu malam Roland pulang dalam keadaan mabuk diantarkan seorang wanita, dan wanita itu mengaku sebagai kekasih Roland." Layla menutup mulutnya yang bergetar dengan kedua telapak tangan kurusnya. Dia benar-benar sulit mengungkapkan semua ini.

"Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun terakhir, dan saat aku bertanya pada Roland keesokan harinya, dia mengakuinya." Layla menengadah, mencoba bertahan agar air matanya tidak jatuh kebawah.

"Hatiku hancur saat itu, tapi aku berjanji akan bertahan demi Tobias, dan aku melakukannya." Ujar Layla kembali sambil menatap Ally. "Pria tidak pernah berubah hanya karena sifat buruk mereka sudah terbongkar. Roland justru menganggap dia lebih bebas karena toh aku sudah tahu semuanya. Dia sering tidak pulang kerumah." Layla menghela nafas dalam.

"Aku mulai berpikir, anakku seorang laki-laki dan aku tidak mau dia tumbuh dibawah asuhan seorang ayah yang bahkan tidak menghargai ibu kandungnya. Aku tidak mau Tobias-ku menjadi seperti ayahnya. " Air mata yang berusaha ditahan oleh Layla akhirnya jatuh, tapi wanita itu cepat-cepat menghapus jejaknya.

"Aku menuntut perceraian tanpa sepeserpun harta karena ibunya menganggap selama menikah dengan Roland aku hidup menumpang dari kekayaan mantan suamiku itu." Layla menatap Ally. "Jika suatu saat kau menikah, kau harus tetap bekerja Ally. Suatu saat hal buruk mungkin menimpa." Tutur Layla menasehati dan Ally mengangguk setuju.

"Aku ditendang dari rumah itu tanpa membawa apapun, tapi karena persidangan memenangkan hak asuhku akhirnya aku bisa membawa Tobias pergi bersamaku." Imbuh Layla. "Tapi kau tahu kan, uang selalu berteriak lebih keras dibandingkan suara hati seorang ibu." Bibir Layla kembali bergetar.

"Roland bisa mengambil anak itu dariku dan menuntutku atas kasus penelantaran karena selama aku bekerja Tobias sendiri di apartment."Layla meremas wajahnya.

"Aku tidak memiliki uang untuk membayar pengasuh dan aku tidak memiliki kerabat untuk menitipkan puteraku, tapi aku harus bekerja untuk memberinya makan, aku harus bagaimana,...?" Layla kembali menangis, ini titik terendah dalam kehidupannya, harus kehilangan putera tunggalnya karena satu alasan "DIA MISKIN"

"Layla,... aku mengerti perasaanmu." Ally kembali memeluknya.

"Hari ini aku menerima surat dari pengadilan yang intinya hak asuh atas Tobias akan dialihkan pada ayahnya." Tutur Layla terbata. "Untuk apa aku hidup Ally?"

"Layla,..." Ally meraih wajah Layla dan menatapnya dalam. "Tobias akan tumbuh dengan baik karena ayahnya mencukupi semua kebutuhannya, tapi dia tetap puteramu. Suatu saat dia akan kembali padamu, dia akan kembali ke pelukanmu, dia tahu kau ibu yang baik." Ally berusaha menguatkan Layla.

"Dan untuk itu, kau harus tetap hidup, sampai puteramu kembali padamu." Ally melanjutkan kalimatnya.

Mereka kembali berpelukan. Di satu sisi Layla mendapatkan penguatan dari Ally, tapi disisi lain, Layla seolah baru saja menjadi cerminan bagi Ally, bahwa menikah dengan pria dari status ekonomi yang jauh berbeda mungkin akan berakhir sebagai bencana.

Lagipula Paul Walton tidak mungkin mempertimbangkannya sebagai daftar tunggu untuk menjadi isterinya.

***

Ally keluar dari apartment Layla dengan perasaan linglung. Dia benar-benar diombang-ambingkan oleh realita kehidupan. Disatu sisi kehidupan miskin yang dijalani orang tuanya, ibu dan ayahnya juga bukan contoh yang baik karena dalam kemiskinanpun ayah Ally meninggalkan ibunya demi wanita lain, dan dari Layla dia juga belajar, bahkan saat bergelimang harta, Roland juga meninggalkan Layla dan merebut Tobias, buah cinta mereka. Bahkan Roland tak lagi menggubris saat mantan isterinya yang lemah dan tak berdaya dipukuli oleh sekawanan pria kekar yang dia bayar untuk mengamankannya. Di mana cinta yang dulu pernah mereka miliki satu sama lain? Bagiamana itu bisa menguap hilang begitu saja, bahkan tanpa jejak?

Mungkin bibi Esme memilih pilihan terbaik, dia tidak mengikatkan diri dengan pria manapun dan tetap bahagia hingga masa tuanya dalam kesendirian.

Apakah bibi Esme benar-benar bahagia dalam kesendiriannya?

Ally WoodenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang