Tubuhku gemetar saat aku melihat dokter keluar masuk ruangan di mana Ridwan dirawat. Sungguh, aku begitu takut—takut terjadi sesuatu kepadanya—terlebih lagi, dokter belum menjelaskan apa pun kepadaku. Namun, dari apa yang aku lihat, sepertinya ada hal yang serius terjadi kepada Ridwan. Sudah hampir satu jam dokter tak kunjung keluar, membuatki mengintip melalui kaca. Di sana, tubuh mungil Ridwan terbaring dengan berbagai alat yang dipasang padanya. Melihatnya membuatku semakin takut, terlebih lagi ketika aku ingat kalau aku belum menyampaikan keadaan Ridwan pada Tuan Muda.
Dengan tangan bergetar, aku memberanikan diri mengambil benda pipih dari tasku dan menekan sederet nomor di ponselku. Lebih tepatnya, aku menelepon Tuan Zydan.
"HALO!" ucapnya tegas.
Suaranya membuatku semakin takut dan gugup.
"Ha-halo, Tu-Tuan," ucapku terbata-bata.
"Kenapa kau menghubungiku? Apa terjadi sesuatu dengan Ridwan?" tanyanya tegas, membuatku semakin lemas. Ingin rasanya aku pingsan karena rasa takut ini.
"Ri-Ri-Ridwan masuk rumah sakit, Tuan," ucapku penuh rasa takut.
"APA?" tanyanya setengah teriak karena terkejut.
"Bagaimana bisa dia masuk rumah sakit?" tanyanya tegas. Ia membentakku, membuat bulu kudukku berdiri.
Mendengar nada bicaranya saja aku sudah menangkap sinyal merah, pertanda kemarahan siap membeludak; membuatku tak bisa memikirkan apa pun. Setelah aku memberi tahu di mana alamat rumah sakit tempat Ridwan dirawat, ia langsung menutup telponnya secara sepihak. Aku semakin takut di kala mataku menatap sosoknya yang perlahan mendekatiku dari jauh.
"Apa saja yang kau lakukan, hah? Sampai putraku seperti ini?" tanyanya, membentakku.
"Ma-maaf, Tuan," ucapku gugup sembari terus menderaikan air mata.
"Maaf, katamu? Jangan jadikan air matamu itu sebagai senjata, karena aku tidak akan luluh olehnya!" ucapnya ketus yang malah membuatku semakin takut kepadanya.
"Tuan, aku mohon maafkan aku,"pintaku lagi.
"Jika terjadi sesuatu kepada putraku, aku tidak akan pernah melepaskanmu!" ancamnya, kemudian masuk ke ruangan dokter untuk menanyakan keadaan anaknya.
Aku pun mengikutinya karena aku ingin mendengar bagaimana keadaan Ridwan saat ini. Aku yang tidak bisa masuk bersamanya hanya mampu menguping dari balik pintu.
"Bagaimana, Dok, anak saya?" tanyanya panik.
"Seperti yang sudah saya jelaskan dulu, Tuan, bahwa putra Anda memiliki kelainan sejak masih berada dalam kandungan ibunya. Benturan keras membuat keadaan sumsum tulang belakangnya semakin parah dan harus segera dioperasi secepatnya," jelas dokter.
Aku pun tak kalah terkejut dari Tuan Muda. Bagaimana mungkin anak sekecil Ridwan harus menjalani operasi? Begitu pikirku, sehingga aku tak sadar kalau Tuan Muda sudah keluar dari ruangan dokter.
"Sedang apa kau? Kenapa masih di sini?" tanya Zydan sembari menatapku tajam. "Kau harus bertanggung jawab!" ucapnya tegas.
"Bagaimana caranya?" tanyaku gemetar karena takut. Melihat wjahanya seperti sedang menatap wajah malaikat pencabut nyawa yang siap mengambil nyawaku dengan cara yang menyakitkan.
"Kau harus mendonorkan sumsum tulang belakangmu. Kalau tidak, aku akan memenjarakanmu!" ancam Zydan.
"Ja-jangan, Tuan. Aku mohon jangan penjarakan aku! Kalau aku dipenjara, siapa yangakan merawat ibuku nanti?" ucapku memohon.
"Ibu?" tanyanya.
"Iya, Tuan. Kini ibuku sedang sakit. Beliau pun harus segera dioperasi untuk pemasangan ring di jantungnya dan itu membutuhkan biaya yang sangat banyak. Mungkin karena memikirkan tentang Ibu membuatku lengah saat menjaga Ridwan, Tuan, jadi aku mohon jangan penjarakan aku! Aku siap memberikan sumsum tulang belakangku. Apa pun yang Tuan inginkan dariku boleh Tuan ambil demi menebus kesalahanku, tetapi aku mohon jangan penjarakan aku. Aku harus mencari uang untuk biaya operasi ibuku," jelasku sambil menangis.
Belum sempat dia membalas ucapanku, tiba-tiba dokter memanggilnya kembali.
"Pak Zydan, anak Anda sudah siuman dan dia ingin bertemu dengan Anda," ucap dokter.
Tuan Zydan pun segera masuk tanpa menghiraukanku yang masih berada di sana.
"Papa," lirih Ridwan yang masih tersenyum tipis.
"Iya, Sayang," ucap Zydan mengelus kepala Ridwan lembut.
"Papa jangan sedih gitu, Uwan tak apa-apa kok," ucap Ridwan mengelus tangan zydan.
“Kamu harus kuat ya, Sayang? Papa tak mau kehilangan orang yang Papa sayang untuk kedua kalinya," lirih Zydan.
Aku yang melihat dari balik kaca pun ikut menangis. Sekarang aku tahu kenapa Tuan Muda begitu protektif terhadap Ridwan. Rupanya ini alasannya ... tetapi aku belum mengerti apa yang ia maskud dengan takut kehilangan orang yang dia sayang untuk yang kedua kalinya, membuatku bertanya-tanya siapa yang pertama kali meninggalkannya.
"Pah, Kak Raina mana? Uwan mau ketemu Kak Raina," tanya Ridwan lagi.
Tanpa menjawab Ridwan, Tuan Muda langsung keluar menghampiriku dan menarik paksa tanganku untuk masuk ke dalam.
"Uwan, ini Kak Raina-nya sudah ada di sini," ucapnya tersenyum; yang jelas bukan kepadaku, tetapi kepada Ridwan.
"Kakak, maafin Uwan, ya," ucap bocah kecil itu, membuatku semakin merasa bersalah kepadanya.
"Iya Sayang. Maafin Kakak ya. Karena Kakak, kamu sampai sakit begini," ucapku sembari menangis menggengam tangan mungilnya.
"Ngak Kak, Kakak gak salah. Uwan yang tak hati-hati, makanya Uwan hampir tertabrak motor. Untung ada Kakak yang menyelamatkan Uwan," ucapnya tersenyum. Senyuman itu membuatku semakin merasa bersalah.
"Pah," panggilnya lagi.
"Iya, ada apa, Nak?" tanya Zydan mendekatkan diri,.
"Papa sayang Uwan, 'kan?" tanyanya.
"Iya Sayang, Papa sayang banget sama Uwan," ucap Zydan
"Uwan boleh minta sesuatu?" tanya Ridwan lagi.
"Apa Sayang? Katakan, akan Papa berikan saat ini juga," tanya Zydan penuh ketakutan ia takut bahwa putra kecilnya akan mninggalkan dia untuk selamanya.
"Ridwan mau Kakak Raina jadi mama Uwan, Pah!" pinta Ridwan, membuatku terkejut.
"Iya Nak, Kak Raina akan jadi mama Ridwan," ucap Zydan yakin.
Kenapa dia memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuan dariku dulu? Aku pun keluar, yang kemudian disusul olehnya.
"Tuan, apa-apaan ini? Kenapa Tuan mengiyakan permintaan Ridwan? Aku tidak bisa menikah dengan Tuan!" tolakku.
"Kalau kau menolak, aku akan memenjarakanmu karena apa pun yang terjadi kepada Ridwan hari ini itu adalah kecerobanmu!" ucap Zydan sinis.
"Tapi, Tuan—"
"Jika kau mau menikah denganku, aku akan membiayai operasi ibumu dan juga kuliahmu," ucapnya lagi.
Kalimat itu membuatku terdiam sejenak.
"Tuan, apa tidak ada pilihan lain selain menikah denganmu?" tanyaku lagi.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Lalu, bagaimana dengan sumsum tulang belakangku?" tanyaku lagi.
"Kita cari pendonor lain. Aku tak ingin Ridwan sedih jika dia tahu kalau kau yang mendonorkan sumsum tulang belakang untuknya. Satu lagi, minggu depan kita menikah!" putusnya yang kemudian kembali masuk ke ruangan Ridwan tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku hanya bisa menghela napas. Aku bingung, tetapi mungkin memang ini takdirku. Kalau demi Ibu, akan kulakukan apa pun itu meskipun diriku yang menjadi jaminannya, walaupun aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku nanti setelah menikah dengannya.
Ah, aku sampai lupa meceritakan kenapa aku bilang bahwa ayahku adalah orang yang pertama menyakitiku. Saat usiaku tiga belas tahun, tepatnya aku duduk di bangku SMP kelas satu, aku sempat bertemu dengan ayah yang sudah lama meninggalkanku. Dia menghampiriku dan memberiku kasih sayang—yang mana tak bisa kupungkiri kalau kekecewaan dalam hatiku sirna begitu saja ketika aku mengetahui bahwa ia masih menyayangiku—hingga Ayah mengajakku ke suatu tempat yang katanya tempat yang menyenangkan, yang bisa membuatku bahagia.
Aku pikir dia akan membawaku ke taman rekreasi, Ancol, Dufan, Ragunan, dan sebagainya—tempat yang menyenangkan bagi anak di usiaku, tetapi ternyata aku salah.
Ayah membawaku ke sebuah bar atau kafe remang-remang di mana ada banyak sekali wanita jalang dan juga laki-laki hidung belang, yang membuatku merasa takut saat beberapa pria tua menatapku dengan buas.
"Ayah, kenapa kita ke sini?" tanyaku bingung.
"Kamu sayang Ayah, 'kan, Tiara?" tanya Ayah. Ya, kedua orangtuaku memanggilku dengan sebutan Tiara yang adalah nama tengahku, tetapi setelah kejadian hari itu aku benci disebut dengan panggilan itu.
Aku hanya mengangguk, tak menjawab karena aku merasa takut.
"Kalau Tiara sayang Ayah, Tiara tunggu di sini, ya. Ayah mau ngomong sama tante itu," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku sendiri di sela-sela orang yang berlalu-lalang.
Setelah beberapa menit, dia kembali dan membawaku ke hadapan wanita yang tadi bicara dengannya.
"Ini dia anaknya, Nat. Jadi, utang gue lunas, ya!"ucap Ayah tersenyum puas menatapku.
Apa maksud Ayah lunas? Utang … apa mungkin Ayah menjualku kepada wanita ini demi membayar utangnya? Demikian pikirku, ketakutan.
"Ayah, aku tidak mau di sini," rengekku.
Namun, ayah tak menghiraukan rengekanku. Dia terus saja berjalan pergi meninggalkanku. Aku memberontak ingin pergi, tetapi kedua laki-laki ajudan sang induk musang menahanku.
"Kau sudah menjadi milikku, Gadis Kecil," katanya lalu dia
mencengram rahangku. "Bawa dia ke kamar di ujung sana, karena sudah ada yang memesannya dengan harga tinggi!" ucap si induk musang.
Aku digendong seperti karung beras oleh ajudan wanita itu dan aku dilempar begitu saja ke atas ranjang di suatu kamar.
"Kau tunggu di sini. Jangan berani-beraninya kabur, sebab laki-laki yang membeli tubuhmu akan segera datang!" ucapnya ganas, yang mana membuatku merasa sangat takut.
Selama sepuluh menit aku gusar di dalam kamar yang gelap itu dengan air mata terus saja berderai. Aku sangat takut kalau kesucianku akan hilang hari ini.
Cklek. Pintu kamar terbuka, membiarkan sedikit cahaya masuk dan menampakan sosok laki-laki besar tubuh tinggi besar dengan jas yang dipakainya. Aku semakin takut di kala kaki besarnya melangkah semakin mendekati tubuh mungilku. Aku bangkit dari ranjang dan perlahan berjalan mundur menjauhi pria yang kini malah semakin mndekatiku. Dia malah mencoba mnyentuhku dengan buas.
Entah kekuatan dari mana, aku mendapat keberanian sehingga saat dia ingin menyentuh tubuhku, aku menendang kelemahannya sekuat tenaga hingga membuatnya terjatuh terpingkal-pingkal karena kesakitan, sontak aku berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat keji itu.
Sampai saat ini ibuku belum mengetahui kejadian itu, karena aku tidak ingin memberitahunya dan membuatnya merasa sedih.
Jadi, itulah alasanku kenapa aku menyebut Ayah sebagai laki-laki pertama yang menyakitiku. Mungkin kini akan ada ayah yang baru yang siap menyakitiku ... ya, itu Tuan Muda yang akan menikahiku hanya karena permintaan anaknya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Husband (END REVISI✔️)
Romance✨Follow Dulu Sebelum Membaca❤ [Tahap Revisi] Aku harus menikah dengan pria dingin itu sama saja seperti aku dinikahi oleh es balok ~Raina Tiara Andini~ Menikah dengannya mengingatkan ku pada masalalu bersama almh istriku ~Muhammad Zydan Devanorendra...