"Pagi, Neng Raina!" sapa Mbok Imah yang melihat Raina menuruni anak tangga.
"Pagi, Mbok Imah," sapa Raina sembari tersenyum manis.
Sesaat Zydan melirik ke arah Raina dan melihat sekilas senyuman di bibirnya sebelum ia kembali fokus kepada roti yang tengah disantapnya.
"Tu-Tuan," panggil Raina ragu.
"Heemm," jawab Zydan.
"Tuan, sepertinya hari ini saya akan sedikit terlambat ke rumah sakit," ucap Raina sedikit takut.
"Kenapa?" tanya Zydan datar tanpa melihat ke arah Raina.
"Saya ada tugas kuliah yang belum selesai, sedangkan hari ini juga saya harus mengumpulkannya," tutur Raina.
Zydan menghentikan aktivitasnya dan menaruh garpu beserta pisau yang digenggamnya. Ia menatap Raina tajam dengan mata elangnya itu, membuat Raina takut untuk menatapnya.
"Berhenti kuliah jika itu akan mengganggumu mengurus Ridwan!!" jawab Zydan dingin.
"Eeuu, tidak, tidak, Tuan. Baiklah, saya akan mengerjakan tugas kuliah saya di rumah sakit saja kalau begitu," ucap Raina takut karena dia tak ingin sampai berhenti kuliah.
"Bagus, kalau begitu cepat habiskan makananmu. Kita berangkat sekarang," ucap Zydan lagi.
Raina pun dengan cepat memasukkan sisa roti di piringnya agar dia dapat menyusul langkah Zydan yang telah terlebih dahulu meninggalkannya ke dalam mobil.
Berlama-lama satu ruangan dengan Zydan membuat darah Raina terasa membeku. Dirinya selalu saja tegang dan merasa takut dengan sikap dinginnya Zydan.
Mereka pun sudah sampai di rumah sakit di mana Ridwan dirawat.
Raina pun segera turun karena dia tidak ingin berlama-lama bersama Zydan yang bisa membuatnya mati karena membeku.
"Aku akan pulang lebih awal hari ini, jadi kau bisa mengerjakan tugas kuliahmu setelahnya," ucap Zydan dari dalam mobil.
Raina yang mndengarnya hanya menghentikan langkah tanpa menoleh ke arah sumber suara.
Waktu begitu cepat. Tak terasa sudah pukul lima dan Zydan belum juga datang. Dia hanya bilang akan pulang lebih awal, nyatanya tidak.
"Ke mana Tuan Zydan?" gumam Raina, menunggu Zydan yang tak kunjung datang. "Kenapa dia sampai saat ini belum datang juga? Syukur saja tugas kuliahku sudah selesai tadi saat Ridwan tidur, kalau tidak akan kacau kuliahku!" gerutu Raina.
Clek. Pintu pun terbuka. Raina pikir itu Zydan tetapi ternyata bukan. Yang datang rupanya seorang perawat yang membawa nampan obat dan juga bubur untuk Ridwan.
"Halo, Adik Ganteng. Waktunya makan dan minum obat," ucap suster sembari tersenyum manis.
"Halo, Suster Cantik. Kenapa sih Uwan harus minum obat terus, 'kan, pait!" protes Ridwan.
"Biar Uwan cepat sembuh dan bisa cepat pulang lagi," jawab suster.
"Oiya Suster Cantik, Mama Uwan juga bakalan jadi dokter loh," ucap Ridwan dengan bangga sembari menatap Raina.
Suster pun ikut melirik ke arah Raina yang tengah duduk di dekat Ridwan.
"Wah, beruntung banget Ridwan. Punya mama yang cantik, baik, dokter pula," puji suster.
"Ahh, Suster bisa saja. Saya masih sekolah," jawab Raina malu.
"Saya salut sama Mbak dalam membagi waktu antara kuliah dan juga keluarga," ucapnya lagi.
Raina hanya membalas dengan senyuman.
"Saya permisi ya, Mbak, Ridwan. Jangan lupa ya, makan buburnya dan minum obatnya biar cepat sembuh," ucap suster lagi.
"Siap, Suster! Kata Papa, kalau Ridwan udah sembuh kami mau liburan bareng. Uwan, Mama, Papa, sama dede bayi juga," ucap Ridwan antusias dengan wajah yang begitu polos.
"Wahh, Ridwan mau punya adik, ya?" ucap suster lagi.
"Iya, Sus. Iya 'kan, Mah?" tanya Ridwan kepada Raina.
"Eeuu, iya, Sayang," jawab Raina gelagapan. "Ya udah, mending Ridwan makan buburnya, ya, Mama suapin biar Uwan cepat sembuh dan cepat pulang," ucap Raina semangat.
Raina pun dengan telaten menyuapi anak sambungnya ini.
Tiba-tiba pintu pun kembali terbuka. Kali ini, yang datang adalah orang yang sedari tadi Raina tunggu.
"Papa," ucap Ridwan gembira.
"Assalamu'alaikum anak papa yang ganteng," ucap Zydan tersenyum. Jelas, senyuman itu hanya untuk Ridwan. "Maaf ya, Sayang, Papa datangnya telat. Tiba-tiba Papa ada meeting mendadak." Mungkin penjelasan itu sebenarnya untuk Raina,karena ia hanya menjanjikan pulang cepat hanya kepada Raina.
Raina yang mndengarnya hanya terdiam, sesekali kembali menyuapi Ridwan.
"Anak papa yang banyak ya, makannya, biar cepat sembuh," ucap Zydan yang memberi belaian hangat di kepala sang anak.
"Iya Pah, Uwan pengen cepat sembuh, pengen cepat pulang, terus kita liburan bareng. Uwan, Mama, Papa, sama dede bayi. Ya 'kan, Mah?" tanya Ridwan lagi kepada Raina.
Raina hanya membalas dengan senyuman dan anggukan. Zydan beberapa kali melirik ke arah Raina. Ia tahu sebenarnya Raina belum siap untuk itu.
"Sayang, 'kan udah ada Papa, terus makannya juga udah selesai. Sekarang minum obat ya, karena Mama harus segera ke kampus. Hari ini Mama ada ujian, Sayang," ucap Raina, yang sebenarnya kata kata itu ia tujukan untuk Zydan yang telat pulang.
"Mama pergi ya, Sayang, mmuaacchhh," ucap Raina lalu mengecup pipi dan juga kening Ridwan.
"Raina, tunggu," tahan Zydan.
Raina pun berhenti melangkah.
"Kau diantar Pak Yanto saja. Kalau pakai angkutan umum kau akan telat nanti," ucap Zydan dengan pandangan masih menatap Ridwan.
"Baik, Tuan," jawab Raina singkat, sebab itu bukan ia anggap sebagai sebuah perhatian, melainkan sebuah perintah.
Raina pun pergi ke kampus diantar supir pribadi suaminya.
"Pak, Pak, stop di sini saja," ucap Raina menghentikan Pak Yanto yang mengemudi.
"Kenapa, Non? Kok di sini?" tanya Pak Yanto bingung, karena kampus Raina masih lima puluh meter jaraknya.
"Tak apa-apa, Pak, saya turun di sini saja. Saya gak mau mereka liat saya turun dari mobil mewah Tuan, nanti mereka berpikiran yang tidak-tidak lagi," ujar Riana.
"Tapi, Non, saya diamanati Tuan untuk mengantar Nona sampai kampus," ucap Pak Yanto, ragu untuk menurunkan Raina.
"Tidak apa-apa. Kalau Tuan nanya, Pak Yanto jawab saja sudah diantar sampai gerbangnya. Udah ya, Pak, saya duluan. Asssalamu'alaikum," salam Raina.
"Wa'alaikumsalam, Non," jawab Pak Yanto, yang kemudian memutar kendaraannya untuk kembali ke rumah sakit.
Seperti biasa, sepulang dari kampus Raina selalu pulang ke rumah sakit terlebih dahulu untuk memastikan Ridwan baik-baik saja.
"Mau ke mana?" tanya Zydan saat melihat Raina mendekati pintu.
"Mau bertemu Ridwan," ucap Raina.
"Ridwan sudah tidur. Sebaiknya kita pulang sekarang," ajak Zydan dingin yang kemudian melenggang pergi tanpa menunggu Raina.
Raina pun segera mengekori karena ia tahu Tuannya paling tidak suka dibantah.
"Assalamu'alikum," ucap Zydan, Raina bersamaan saat sudah berada di
depan pintu rumah mereka.
"Wa'alaikum salam," jawab Mbok Imah dari dalam rumah.
"Eh, Tuan sama Neng Raina udah pulang. Ayo ayo masuk, Simbo sudah siapkan makan malamnya di meja, Tuan," jelas Mbok Imah ramah.
"Makasih, Mbok," jawab Zydan datar.
Keduanya pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu dan memulai makan malamnya.
"Raina, mulai malam ini kau tidur di kamarku!" ucap Zydan sembari menyantap makanannya.
Raina yang mndengarnya begitu terkejut sehingga membuatnya tersedak.
"Uhukk uhuk." Raina segera meraih segelas air putih dan meneguknya hingga habis setengahnya.
"Kenapa?" tanya Zydan dingin.
"Eeeuu, tidak, Tuan, tidak usah. Saya lebih suka di kamar tamu," jawab Raina gugup.
"Saya tidak ingin ada penolakan. Saya tunggu kamu sekarang juga!"ucap Zydan yang kemudian bangkit dari duduknya.
"Ta-tapi, Tuan," ucap Raina lagi yang hanya mendapat tatapan tajam mata elang dari Zydan, yang membuat Raina tertunduk karena takut.
"I-iya, Tuan, saya akan ke kamar Tuan setelah mencuci piring-piring ini," jelas Raina.
"Tidak usah, biar Mbok Imah saja yang membereskan ini semua. Saya tunggu kamu sekarang juga," jelas Zydan lagi yang kemudian pergi menaiki anak tangga.
"I-iya, Tuan, saya akan ke kamar Tuan setelah saya mengambil beberapa buku di kamar saya," jelas Raina takut karena Raina sudah berpikiran yang macam-macam.
Dengan memeluk beberapa buku di tangannya, ia berusaha melangkahkan kaki menuju kamar Zydan.
"Ibu, tolong Raina," batinnya meronta ketakutan karena Raina berpikir malam ini adalah malam penyiksaan yang paling mutakhir baginya.
Tok tok tok. Raina Beberapa kali mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Raina pun memberanikan diri memasuki kamar Zydan yang mungkin saat ini dianggapnya tempat penyiksaan yang kejam.
"Tu-tuan," panggil Raina pelan. Ia mengedarkan pandangannya, tetapi ia tak menemukan sang pemilik kamar.
"Haahh." Raina bernapas lega karena saat ini Zydan tidak ada di kamarnya.
Ia segera bergegas mendekati meja rias dan berpura-pura membaca buku untuk menyibukkan diri agar Zydan tak mengganggunya jika ia muncul nanti.
Ceklek. Pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok seorang pria gagah dan tampan dengan setelan piyamanya, membuat Raina sangat gugup saat melihatnya. Keringat dingin mulai bercucuran selagi ia berusaha fokus kepada bukunya tanpa menghiraukan Zydan mendekati dan melewatinya hingga tiba-tiba terdengar suara yang membuat Raina terkejut.
"Naik ke tempat tidur!" ucap Zydan datar.
Raina yang mendengarnya semakin dibuat ketakuatan.
"U-untuk apa, Tuan? A-aku belum ngantuk, aku masih mau belajar," ucap Raina sangat gugup.
"Raina," ucap Zydan penuh penekanan.
Ya, setiap kata-kata Zydan itu bukan seperti permintaan, tetapi sebuah perintah yang harus selalu dituruti.
"Iya-iya, Tuan," ucap Raina segera berlari ke tempat tidur dan menutupi dirinya dengan selimut, hanya menyisakan bagian matanya saja.
"Tuan, saya belum siap untuk melakukan itu, apalagi untuk hamil. Saya takut hamil, Tuan," ucap Raina terbata-bata karena memang sepertinya dia sangat ketakutan dan hampir saja menangis karena itu.
"Kau harus hamil. Kalau dalam waktu tiga bulan kau belum hamil kita periksakan kandunganmu!" jawab Zydan masih memunggungi Raina karena dirinya masih mengganti pakaian.
Raina sudah dibuat sangat takut itu merasa akan diterkam tiba-tiba ketika ia melihat tubuh Zydan yang bertelanjang dada di hadapannya.
"Ta-tapi Tuan, saya belum siap hamil, saya masih mau kuliah," jawab Raina sembari menahan tangis.
"Kau masih bisa kuliah meski pun hamil. Jika kehamilanmu sudah lumayan, kau bisa ambil cuti, bukan?" tanya Zydan yang masih memunggungi Raina.
"Saya anak beasiswa Tuan, saya tidak bisa ambil cuti terlalu lama," jelasnya lagi.
"Kalau begitu saya yang akan membiayai kuliahmu jika kau tak mendapat beasiswa lagi," jawab Zydan enteng yang kemudian berbalik melihat Raina yang sudah sangat ketakutan.
"Kenapa kau? Kenapa kau begitu takut?" tanya Zydan bingung.
Raina hanya bisa menggeleng karena ia semakin takut saat Zydan sudah menghadap ke arahnya.
"Hei, aku menyuruhmu untuk naik ke tempat tidur agar kau segera tidur bukan untuk menidurimu," jelas Zydan yang membuat Raina bernapas sedikit lega. "Kenapa kau takut begitu? Aku menyuruhmu tidur di kamarku agar kau terbiasa nanti setelah Ridwan datang, karna tidak mungkin kita akan terus tidur terpisah seperti kemarin!" jelas Zydan yang merasa kasihan melihat Raina sangat ketakutan, ia pun kembali mengurungkan niatnya malam ini. Bagaimanapun, Raina tanggung jawabnya juga. Meski malam ini tidak terjadi apa pun di antara mereka, setidaknya mereka sudah berusaha untuk tidur bersama.
Raina segera menjejerkan bantal dan juga guling sebagai pembatas mereka lalu segera memejamkan matanya.
Entah pukul berapa Raina yang sudah terlelap kembali terbangun dan merasa ada yang menindih tubuhnya.
"Apa ini?" gumam Raina saat dadanya merasa sesak kemudian Raina merabanya, ia menemukan sebuah tangan kekar tengah memeluknya.
"Astaghfirullah, dia memelukku," ucap Raina pelan.
Kemudian ia merasakan kakinya pun susah untuk digerakan.
"Ya ampun, kakinya juga," ucap Raina saat melihat kaki Zydan sudah menindih kedua kakinya. Rupanya Zydan menjadikan tubuh mungil Raina sebagai guling yang di peluknya.
"Ke mana bantal dan guling pembatas yang kubuat tadi," gumam Raina yang merasa dirinya susah sekali untuk bergerak.
"Apa kudorong saja dia agar diriku terbebas darinya?" pikir Raina yang kemudian mendekatkan kedua tangannya di bahu Zydan berniat untuk mendorong tubuh Zydan, tetapi niatnya ia urungkan karena tiba-tiba Raina teringat dengan ucapan Mbok Imah. Dua hal yang terlarang di rumah ini, yaitu menanyakan soal istri Tuan dan juga membangunkan Tuan tidur.
Raina pun berigidik kala ia mengingat kata-kata Mbok Imah. "Kalau aku mendorongnya dan dia terbangun, bisa-bisa aku kena amuk beruang kutub," gumam Raina merinding.
"Ah, sudahlah, lebih baik aku tidur lagi saja. Anggap saja saat ini aku tengah dipeluk beruang kutub!" gumam Raina kembali yang kemudian memejamkan matanya. Perlahan deru napasnya semakin lambat, pertanda Raina sudah kembali ke alam mimpinya.
Sedangkan di sudut lain, ada senyum yang menampakkan dirinya, menandakan bahwa dirinya menang, dan kembali mempererat pelukannya.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Husband (END REVISI✔️)
Romance✨Follow Dulu Sebelum Membaca❤ [Tahap Revisi] Aku harus menikah dengan pria dingin itu sama saja seperti aku dinikahi oleh es balok ~Raina Tiara Andini~ Menikah dengannya mengingatkan ku pada masalalu bersama almh istriku ~Muhammad Zydan Devanorendra...