Part 4

4.7K 215 3
                                    

My Cold Husband

TAKDIR.

Mungkin itu kata-kata yang pas untuk Zydan dan Raina saat ini. Mereka disatukan oleh rasa sayang mereka kepada anak dan juga Mama, meskipun kini mereka harus menghadapi rasa trauma mereka.

Zydan terpaksa menikahi Raina karena anaknya yang meminta,sedangkan dia memiliki trauma akan yang namanya pernikahan—dia sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, karena ia sudah tidak punya rasa ketertarikan lagi terhadap wanita. Jangankan cinta, untuk meliriknya saja sudah enggan.

Raina dia terpaksa menerima pernikahan ini karena Zydan menjanjikan bahwa dia akan membiayai pengobatan sang mama, meskipun dia sangat takut akan pernikahan. Dia takut kalau nanti nasibnya akan seperti sang ibu, yaitu ditinggalkan suami.

Waktu berjalan begitu cepat. Satu minggu sudah berlalu, kini tibalah di mana aku harus mengahadapi masa depan yang entah akan bagaimana..

Ijab qabul pun dimulai. Sialnya suara Tuan Zydan terdengar lantang dan juga merdu saat mengucapkan kalimat sakral pernikahan yang hanya dengan satu kali tarikan napas, membuat dadaku terasa begitu sesak. Aku sudah pasrah soal hidupku, yang mana kuserahkan pada takdir saja. Yang penting Ibu sembuh,itu sudah cukup.

Pernikahan kami hanya pernikahan sederhana karena ini sangat mendadak dan kami pun tidak ingin ada banyak tamu yang membuat pusing. Terlebih lagi kami harus segera kembali ke rumah sakit untuk membawa kembali Ridwan yang sangat ingin melihat kami menikah padahal kondisi belum benar benar stabil.

"Sayang, sekarang kan kamu sudah liat Papa sama Kak Raina nikah. Kak Raina sekarang sudah jadi mama kamu, jadi kita pulang ke rumah sakit lagi, ya," pinta Zydan yang kini sudah mendorong kursi roda Ridwan.

"Mama ikut kita 'kan, Pah?" tanya Ridwan mendongak sembari menatap Zydan.

"Iya sayang, Mama akan ikut pulang ke rumah kita ya, 'kan, Raina?" tanya Zydan datar.

"Iya, Sayang, Kak Raina akan ikut kamu ko," ucap Raina tersenyum kepada Ridwan yang masih berada dihadapannya

"Ko 'Kak', sih? 'Kan udah jadi mama Uwan!" protes Ridwan.

"Oiya, maafin Mama ya, Sayang," ucap Raina yang sebenarnya masih merasa agak aneh jika harus menyebut dirinya dengan sebutan mama.

"Hati-hati ya, Sayang, jaga baik baik anak dan suami kamu," ucap Intan mengelus rambut Raina.

"Mama gak ikut?" tanya Raina.

"Gak, Sayang, Mama tidak mau meninggalkan rumah ini. Rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan. Lain waktu Mama akan mampir ke rumah kalian ko," kata Intan kembali tersenyum, memberi semangat kepada sang anak yang sepertinya terlihat begitu berat meninggalkan dirinya "Jangan nangis gitu, Mama gapapa, Mama sehat, jangan khawatir," ucap Intan.

"Yasudah, Mah, kalau begitu kami permisi ya. Kami harus kembali ke rumah sakit membawa Ridwan," ucap Zydan yang kemudian mencium pungung tangan Intan pertanda hormat kepadanya.

"Nak Zydan, Mama titip anak mama ya," ucap Intan yang menahan air mata.

Zydan hanya mengangguk kemudian menggenggam tangan Raina dan membawanya keluar rumah, mempersilakannya masuk ke dalam mobil.

Namun, sejak sebelum pernikahan dimulai, ada sepasang mata yang terus saja menatap Raina dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan dari seorang wanita, yang tak lain adalah sekretaris pribadi Zydan.

Mereka berempat pun kembali ke rumah sakit di mana Ridwan dirawat. Ridwan akan dioperasi jika kondisinya sudah stabil.

Waktu berjalan dengan cepat. Sudah dua minggu Zydan dan Raina menikah, tetapi tidak ada yang berbeda dari hubungan mreka dari yang sebelumnya. Meski mereka sudah menikah, mereka tidak satu kamar.

Raina hanya menjalani kewajibannya untuk mengurus keperluan Zydan mulai dari menyiapkan pakaian dan sarapan saja, tidak lebih dari itu. Setelah selesai mengurus Zydan, ia pun kembli kepada tugas utamanya. Ya, mengurus Ridwan di rumah sakit. Selama dua minggu menikah itu tidak ada komunikasi antara Zydan dan juga Raina. Mereka bersikap layaknya pekerja dan atasan, bicara seperlunya saja. Apalagi dengan sikap Zydan yang begitu dingin membuat Raina enggan banyak mengabiskan waktu bersamanya.

"Halo, Pak Zydan. Ada kabar baik untuk Bapak. Sebaiknya Bapak segera datang ke rumah sakit," ucap dokter di seberang telepon

Tanpa pikir panjang Zydan pun segera datang dan menanyakan kabar baik apa yang dokter ingin katakan.

"Halo, Pak Zydan," sapa seorang dokter yang baru saja masuk ke ruangan Ridwan. Dai tampangnya, sepertinya si dokter sepantaran dengan Zydan. Mereka terlihat akrab.

"Halo, Dok," sapa Zydan singkat sembari menoleh ke arah sumber suara. "Gimana? Ada perkembangan apa dari Ridwan?" tanyanya yang kemudian mengambil posisi berdiri menyejajarkan diri dengan dokter.

"Kondisi Ridwan sudah stabil dan kabar baiknya, sudah ada yang siap mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk Ridwan. Jadi, operasi bias dilakukan secepatnya," ucap dokter sumringah.

"Alhamdulilah, kapan operasinya bisa dilakukan?" tanya Zydan.

"Minggu depan kita bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu persetujuan Anda dan juga pasien," jelas dokter.

"Saya setuju, Dok. Nanti saya akan menyakinkan Ridwan untuk itu," ucap Zydan.

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi," kata dokter, lalu ia pergi.

Kini hanya ada Zydan, Raina, dan Ridwan saja.

"Sayang, anak papa, kamu mau yah dioperasi, biar nanti kita kumpul lagi di rumah? Ada Papa, ada Mama, ada Ridwan, ada Mbok Imah juga. Nanti kita jalan-jalan, main bersama lagi kaya dulu," pinta Zydan penuh harap.

Namun, Ridwan tak menjawab permintaan Zydan, membuat Zydan merasa bahwa Ridwan memilih untuk menyerah. Pikiran-pikiran buruk pun sudah bermunculan di benaknya. Ia takut bahwa dia harus kehilangan orang yang dia sayang untuk yang kedua kalinya. Zydan tertunduk lesu karena tak mendapatkan jawaban dari putra kecilnya.

"Pah," panggil Ridwan yang akhirnya membuka suara.

"Iya, ada apa, Sayang?" tanya Zydan mendongakkan kepala dan menyeka air mata yang hampir terjatuh.

"Ko cuma kita berempat sih Pah? Uwan maunya kita jalan-jalan main barengnya sama dede kecil juga," ucap Ridwan yang kemudian tersenyum.

"Haahh." Hampir saja Zydan pingsan karena rasa takutnya kehilangan anak. Ia pikir Ridwan akan menyerah.

"Iya, Sayang, nanti kita akan main bersama. Ada Ridwan, ada Papa, ada Mama, ada dede bayi yang lucu-lucu," ucap Zydan menyemangati Ridwan.

"Janji?" tanya sambil Ridwan mengangkat jari kelingkingnya antusias

"Iya, janji," ucap Zydan menautkan kelingking miliknya dengan kelingking sang anak.

"Kalau gitu, Uwan mau dioperasi," ucapnya penuh semangat

Berbeda dengan Zydan yang merasa bahagia karena Ridwan mau dioperasi, justru Raina dibuat tercengang oleh keputusan Zydan yang lagi-lagi diputuskan secara sepihak tanpa meminta izin atau persetujuan darinya dulu. Dia langsung mengiyakan saja permintaan Ridwan yang meminta seorang adik.

Raina pun keluar tanpa mengatakan apa pun. Ingin rasanya ia melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Raina meninggalkan rumah sakit, pergelangan tangannya dicekal. Siapa lagi kalau bukan Tuan Muda yang selalu mengambil keputusan secara sepihak?

"Apa-apaan ini, Tuan? Kenapa Tuan mengiyakan semua permintaan Ridwan? Apa maksudmu? Adik-adik yang lucu … apa Tuan ingin memiliki lebih dari satu anak dariku?" tanya Raina yang tak mengerti dengan jalan pikiran Zydan.

"Mungkin," jawab Zydan singkat, membuat Raina hanya bisa menganga mendengar jawaban simpel sang bos yang begitu enteng.

"Mungkin, kata Tuan? Aku tidak mau, aku belum siap untuk itu! Aku masih muda, aku masih mau kuliah," tutur Raina.

"Kau harus mau! Kalau tidak, aku akan memberhentikan biaya kuliah dan juga pengobatan mamamu!" ucap Zydan tegas dan mungkin sedikit mengancam.

"Kenapa Tuan selalu mengancamku seperti itu?" tanya Raina yang merasa geram.

"Karena itu kelemahanmu," jawab Zydan dingin, membuat Raina menghela napas kasar tak percaya.

"Apa Tuan akan membunuhku juga, jika Ridwan memintanya?" tanya Raina yang sudah merasa kesal.

"Mungkin saja, Jika dia memintanya, apa pun akan kulakukan demi membuatnya bahagia!" ucap Zydan yang kemudian masuk kembali ke ruangan Ridwan tanpa menghiraukan Raina.

Raina diam tak percaya. Sungguh, kasih sayang macam apa yang dia tunjukkan kepada Ridwan?

Raina pun pergi meninggalkan rumah sakit dan memilih untuk pulang karena dia merasa kesal kepada Zydan yang terus saja harus dituruti.

Padahal keputusan itu pun berat untuk Zydan. Jangankan untuk menyetubuhi seorang wanita, untuk menatapnya saja dia sudah malas. Namun, apalah daya jika dia harus melawan rasa traumanya demi kebahagiaan sang anak.

Malam pun tiba, Raina sudah terlelap tidur.

"Mbok, Raina mana?" tanya Zydan.

"Neng Raina sepertinya sudah tidur, Tuan," tutur Mbok Imah.

Zydan pun pergi meninggalkan Mbok Imah. Sesampainya di pintu kamar Raina, Zydan sempat terdiam cukup lama, beberapa kali menarik napas panjang.

"Huuffhhh, aku harus bisa melawan semua ini. Kamu pasti bias, Zy. Ingat, kebagaiaan Ridwan lebih penting dari dirimu sendiri," gumam Zydan meyakinkan dirinya sendiri. "Semoga saja pintunya tidak dikunci, karena aku tidak sempat membuat kunci candangan untuk kamar ini," gumam Zydan.

Ceklek. Pintu kamar Raina terbuka. "Syukurlah pintu ini tidak dikunci," ucap Zydan celingak-celinguk, memastikan bahwa Raina sudah tertidur. Ia mengendap-endap masuk seperti maling, padahal itu rumahnya sendiri. Kini, di hadapannya sudah terbaring seorang gadis yang tengah tertidur.

Cukup lama Zydan menatapnya sambil terus menarik napas kasar untuk menyingkirkan egonya. Perlahan Zydan mendekati tempat tidur dan dia membaringkan tubuhnya di sebelah tubuh Raina. Ia mengangkat kepala Raina kemudian diletakkannya di tangannya, menjadikannya sebagai bantal. Raina sempat terusik, tetapi tidak membuatnya terbangun.

Perlahan, tangannya mulai menyingirkan sedikit demi dikit rambut yang menutupi sebagian wajah Raina yang tengah terlelap.

"Gadis polos," ucap Zydan sembari menatap wajah Raina. Dia berusaha membangkitkan gairahnya agar dia bisa menghadirkan seorang adik bagi sang anak. Perlahan, dirinya kembali merasakan sesuatu; suatu kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Zydan terus saja menatap wajah Raina dalam-dalam, sehingga entah bayangan siapa yang terbesit di benak Zydan saat melihat Raina. Perlahan ia mendekati wajah Raina. Satu kecupan mendarat di bibir ranumnya. Ia tersenyum. Entah wajah siapa yang Zydan bayangkan saat ini sehingga membuatnya tersenyum. Tangan kekarnya menyentuh tubuh Raina dan memeluknya.
Zydan mencoba memejamkan mata dan berusaha untuk belajar tidur bersama Raina. Namun, saat matanya terpejam, terdengar suara seorang wanita yang menggangu pikirannya.

"Mas jahat! Mas khianati aku, Mas bohong!" Suara itu tiba-tiba terdengar, membuat Zydan kembali membelalakkan matanya. Dia terkejut saat melihat Raina berada dalam pelukannya.

Zydan segera menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh Raina dan segera beranjak dari tempat tidur dengan langkah tergesa-gesa meninggalkan Raina yang masih terlelap.

Sesampainya di kamar miliknya Zydan langsung mengambil sebuah bingkai foto yang menampilkam sebuah foto wanita cantik yang tengah tersenyum.

"Sayang, maafkan aku. Aku tidak berniat mengkhianatimu, aku tidak berniat melupakan cinta kita. Tapi apalah dayaku yang harus melakukannya demi anak kita. Aku mohon tolong maafkan aku, Sayang," ucap Zydan penuh penyesalan yang kemudian memeluk erat foto wanita itu hingga ia terlelap.

Pagi pun tiba. Raina merasa bingung dengan apa yang dilihatnya semalam. "Itu sebuah mimpi atau memang kenyataan kalau Zydan semalam keluar dari kamarku. Kalau iya, ngapain dia di kamarku?" gumam Raina.

"Akh, sudahlah. Mungkin itu hanya mimpi," ucapnya lagi.

TBC

My Cold Husband (END  REVISI✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang