Part 9

3.9K 165 4
                                    

Pukul 13.30. Lebih tepatnya selama lima setengah jam Zydan dan Raina menunggu hingga akhirnya terdengar suara pintu yang terbuka dan keluarlah dokter.
Lamunan keduanya pun pecah saat mendegar suara pintu terbuka. Zydan yang sedari tadi terlihat begitu cemas mengangkat kepalanya yang menunduk. Sekarang, ia bisa bernapaa lega karena yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi juga.
"Dok, bagaimna anak saya?" tanya Zydan panik.
"Tenang, Pak. Alhamdulilah operasinya berjalan lancar dan sebentar lagi Ridwan akan kami pindahkan ke ruang rawat biasa," jelas dokter tersenyum.
"Alhamdulilah," ucap Raina brsyukur sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Tanpa diduga, tubuh Zydan menerjang tubuh Raina dan memeluknya begitu erat.
"Raina, Ridwan selamat, Raina. Aku tidak kehilangan dirinya," ucap Zydan lirih yang. Seepertinya pria dingin ini sedang menangis.
Raina yang mendengarnya seperti tidak bisa bergerak sedikit pun, tubuhnya mnjadi kaku seperti patung. Ia masih tak percaya kalau saat ini Zydan tengah memeluk dirinya dan bahkan menangis di pundaknya. Sesekali Raina hanya mengusap-usap mata demi menetralisir perasaan yang entah kenapa tiba-tiba bergejolak dan menggebu-gebu, seakan-akan saat ini jantungnya akan meledak. Sama seperti saat pertama kali Zydan memeluk dirinya.
"Tuan, aku tidak bisa bernapas,"  ucap Raina polos.
Zydan pun tersadar dan langsung mengangkat tubuhnya dan menyeka air matanya.
"Maaf," ucap Zydan singkat.
"Apa Tuan menangis?" tanya Raina lagi.
Namun , pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban.
"Lebih baik kita ke ruangan Ridwan sekarang," ajak Zydan sedikit kikuk.
"Iya, Tuan," jawab Raina yang kemudian mengekori di belakangnya.
Seminggu sudah berlalu, keadaan Ridwan sudah semakin membaik dan sore ini sudah bisa dibawa pulang.
"Mah, malam ini Mama tidur di kamar Uwan ya, Uwan pengen ngerasain gimana tidur sambil dipeluk seorang mama, yerus dibacain cerita kaya teman-teman Uwan yang lain," pinta Ridwan dengan wajah memelas.
Raina pun langsung mnatap ke arah depan dan saat itu rupanya Zydan tengah memerhatikan mereka dari kaca yg ada di depannya. Pria itu duduk di bangku belakang.
Zydan pun mengangguk, pertanda dia memberi izin karena dia paham apa maksud tatapan Raina tadi.
"Iya, Sayang, Mama akan tidur di kaamar Ridwan dan bacain banyak dongeng untuk Ridwan," ucap Raina yang kembali memeluk putra kecilnya itu.
"Pah, ngak apa ‘kan, Mama tidur sama Uwan?" tanya Ridwan pada Zydan.
"Iya, Sayang, boleh," jawab Zydan tersenyum.
Mereka pun sudah sampai di rumah dan disambut hangat oleh Mbok Imah
"Den Ridwan, Simbo kangen banget sama Aden," ucap Mbok Imah yang mencubit pipi tembam Ridwan yang masih duduk di kursi roda.
"Uwan juga kangen sama Mbok," ucap Ridwan sumringah.
"Ya ayo, Aden masuk, jangan lama-lama di luar. Gak baik buat Aden," ajak Mbok Imah.
Raina pun mendorong Ridwan masuk sedangkan Zydan masih sibuk dengan barang-barang bawaan keperluan Ridwan nanti.
"Mbok, Papa gak nakalin Mama ‘kan saat Uwan gaj ada?" tanya bocah itu pnasaran.
Mbok Imah malah tersenyum ketika ia mengingat adegan di mana Zydan menggendong Raina dengan begitu mesranya.
"Gak ko, Sayang. Malah kayanya sebentar lagi Den Ridwan mau punya adik deh," goda Mbok Imah karena belakangan ini dia sering sekali melihat Zydan sudah semakin akrab meskipun Raina masih terlihat canggung sebab sikap Zydan yang masih sangat dingin.
"Horeee ... Uwan sebentar lagi punya ade," sorak Ridwan bahagia.
"Heehhh, Sayang, gak boleh gitu. Kamu jangan banyak gerak dulu nanti jahitannya buka lagi!" ucap Raina merasa khawatir karena Ridwan begitu antusias menaik-naikkan tanganya keatas.
"Iya, Den, jangan gitu. ‘Kan Simbo ngilu dengernya ih," ucap Mbok Imah bergidik ngeri.
"Iya, Mah, maaf. Tapi, bener ‘kan, Ridwan mau punya ade? tanya Ridwan lagi.
Raina hanya mengangguk mengiyakan agar anak ini tidak banyak bertanya lagi.
"Uwan istirahat ya, udah malam," ajak Raina.
"Iya, Mah, tapi Mama tidur di kamar Uwan ‘kan?" tanya Ridwan lagi memastikan.
Raina hanya mengangguk. Ia dengan telaten mengurus Ridwan, mulai dari mengganti perban, mengganti pakaian, dan bahkan mengganti popok Ridwan karena tidak memungkinkan jika dia harus bolak-balik kamar mandi.
“Sayang, bobo ya," ucap Raina mengelus lembut rambut Ridwan.
"Mah, Mama tak menyeselkan jadi mama Uwan?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut polos Ridwan.
"Kenapa Mama harus menyesel, Sayang?" tanya Raina menatap Ridwan.
"Uwan ‘kan selalu ngrepotin Mama," ucap Ridwan merasa tidak enak.
"Itu ‘kan memang kewajiban Mama, Sayang. Semua mama pasti ngelakuin hal itu untuk anaknya," ucap Raina sembari menatap bola mata Ridwan.
"Makasih ya  Mah. Berkat Mama, sekarang Uwan bisa ngrasain kasih sayang seorang mama," ucap Ridwan yang kemudian memeluk Raina yang tengah berbaring di sampingnya.
"Iya, Sayang. Yaudah, kamu bobo ya, Mama nyanyiin nina bobo," ucap Raina.
"Uwan bobo, oh Uwan bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk," Raina mulai bernyanyi sembari mengelus lembut rambut Ridwan hingga akhirnya Ridwan pun terlelap.
Rupanya Zydan memerhatikan mereka berdua dari ambang pintu. Kepalanya menyembul, membuatnya hanya bisa mengintip.
Dia lagi-lagi tersenyum saat melihat Raina begitu tulus merawat Ridwan.
"Haaahh ... sepertinya aku harus belajar membuka hati untuknya," ucap Zydan yang kemudian dengan perlahan menutup kembali pintu kamar Ridwan.
Hal itu setiap malam Zydan lakukan demi meyakinkan dirinya kalau Raina benar-benar mengurus Ridwan dengan baik. Hingga malam berikutnya pun Zydan diam-diam mengontrol mereka, tetapi kali ini keduanya sudah terlelap dengan Ridwan berada dalam pelukan Raina dan Ridwan pun sama dia tengah memeluk Raina, seakan-akan Ridwan ataupun Raina tidak ingin dipisahkan dan itu meyakinkan hati Zydan untuk benar-benar belajar menerima Raina.
Kecanggungan masih terlihat di antara Zydan dan Raina. Terlebih lagi saat kejadian terakhir di rumah sakit di mana Zydan memeluk Raina tiba-tiba dan itu membuat Zydan kembali menjadi berbicara kepada Raina walau hanya sedikit.
Ridwan pun sudah semakin baik dan dia tak memerlukan kursi roda lagi.
Pagi ini, Raina tengah menemani Ridwan bermain di ruang tengah. Zydan pun datang menghampiri dengan setelan yang sudah rapi, sedangkan Raina dia masih berantakan karena sejak salat subuh, dia langsung mnenemani Ridwan bermain karena Ridwan terus merengek. Alhasil, dia belum sempat untuk mandi.
"Pagi, Sayang," ucap Zydan sembari menuruni anak tangga. Raina dan Ridwan pun mendongak ke arah sumber suara.
"Pagi, Pah," sapa Ridwan.
"Pagi-pagi anak Papa kok udah main aja sih," ucap Zydan mengacak-acak rambut Ridwan.
"Uwan udah kangen, Pah, udah pengen main mobil-mobilann lagi sama Mama kaya dulu," ucap Ridwan sembari fokus pada mainannya
"Hhmmzzz ... yaudah deh, iya, iya," ucap Zydan lagi.
"Tuan," panggil Raina pelan karena ia masih sedikit ragu.
"Iya, ada apa, Raina?" tanya Zydan datar.
"Emm, saya mau minta izin, Tuan," ucap Raina ragu dan sembari menunduk karena tidak yakin ia akan diberi izin.
"Untuk?" tanya Zydan singkat.
"Mulai hari ini saya masuk kuliah pagi, Tuan. Ada praktek di salah satu rumah sakit, jadi semuanya harus masuk pagi dan tidak ada kelas malam,” jelas Raina sedikit takut. “Apa Tuan mengizinkan?" tanya Raina lagi.
Zydan terdiam sesaat. Diamnya Zydan membuat Raina hilang harapan.
"Untuk berapa lama?" tanya Zydan dengan tatapan lurus ke depan sembari menemani Ridwan bermain.
"Satu bulan, Tuan," ucap Raina gugup.
"Di rumah sakit mana?" tanya Zydan lagi.
"Fatmawati, Tuan," jawab Raina singkat dengan kepala yang terus menunduk.
"Aku janji, Tuan, sebelum aku berangkat akan aku pastikan semua kebutuhan Ridwan sudah kuselesaikan," ucap Raina meyakinkan.
"Kalau begitu kamu boleh pergi," ucap Zydan hanya menatapnya sekilas.
"Yang benar, Tuan?" tanya Raina sumringah.
"Mmmzzz," jawab Zydan berdeham.
"Aaa ... terima kasih, Tuan. Tuan emang baik," ucap Raina kegirangan hingga dia refleks memeluk Zydan yang ada di hadapannya.
"Cie, Mama peluk-peluk Papa ni ye," goda Ridwan.
"Raina, lepasin. Malu, ada Ridwan," bisik Zydan.
"Eh ... euu, maaf, Tuan," ucap Raina gelagapan dan malu.
"Cepat sana mandi! Kamu bau, belom mandi!" ucap Zydan sambil menutup hidung.
Raina hanya nyengir kuda.
Padalah bukan karena malu ada Ridwan. Alasan terbesar Zydan menyuruh Raina melepaskan pelukannya sebenarnya karena ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul saat Raina memeluknya. Terlebih lagi saat kedua gundukan kenyal milik Raina menempel sempurna di dadanya, ia merasakan ada aliran listrik yang sedikit menyengat dan mengalirkan rasa geli, membuatnya tidak bisa berlama-lama dipeluk oleh Raina. Kalau tidak, entah akan berapa lama perasaan aneh itu muncul.
Zydan sudah terlebih dahulu berangkat sedangkan Raina seperti biasa harus mengurus keperluan Ridwan terlebih dahulu agar dia bisa tenang meninggalkannya.
Pukul sepuluh pun tiba dan Raina sdh berada di rumah sakit bersama lima orang temannya untuk memulai praktek. Di sana, dia dibimbing oleh salah satu dokter terbaik.
“Perkenalkan, nama saya Ardan Dirgantara. Saya di sini sebagai pembimbing kalian. Silahkan perkenalkan nama kalian," titah Ardan.
Diyah, Dini, Safira, dan Aulia sudah memperkenalkan namanya. Kini tinggal Raina seorang yang belum memperkenalkan diri.
Raina bukanlah orang yang mudah bergaul. Apalagi kalau dengan seorang laki-laki, yang mana membuatnya teringat kalau dulu ada yang membuatnya trauma akan semua laki-laki.
"Hei, kamu. Siapa namamu?"  tanya Ardan.
"Hah, eeuu, nama saya Raina Tiara Andini, Pak. Panggil saja saya Raina," jawab Raina dengan cepat.
Ardan mengangkat alisnya karena merasa bingung kenapa Raina begitu gugup. Sepertinya tidak seperti teman-temannya yang lain yang mengangumi ketampanan dirinya. Terbalik dengan Raina yang sepertinya malah enggan untuk menatapnya.
Praktik hari pertama berjalan dengan lancar. Semuanya sudah pulang kecuali Raina yang masih menunggu angkutan kota lewat.
"Ehem," deham seseorang berhasil membuat Raina terkejut.
Raina pun menoleh. "Em, Dokter," ucap Raina gugup.
"Panggil saja saya Ardan. Ini ‘kan di puar rumah sakit," ucap Ardan tersenyum.
"Kamu mau pulang?" tanya Ardan.
"Iya, Dok, saya mau pulang. Ini lagi nunggu angkot," jawab Raina jujur.
"Rumahmu dimana?" tanya Ardan.
"Jalan Melati Kompleks Tengah No. 209," jawab Raina dengan polosnya, memberitahu alamat lengkap rumahnya.
"Wah, kebetulan kalau begitu. Mau bareng?" tanya Ardan.
"Memang dokter juga tinggal disana ya?" tanya Raina polos.
"Iya, rumah saya juga di sana dan sepertinya kita tetangga. Sepertinya rumah saya juga tak jauh dengan rumahmu," jawab Ardan sembari tersenyum.
"Wah, rupanya kita tentangga ya, Dokter," ucap Raina, sukses membuat Ardan tersenyum saat mendengar jawaban polos Raina.
"Yaudah yuk, cepat naik," ajak Ardan yang kemudian membukakan pintu untuk Raina.
"Gak apa-apa nih, Dok, saya ikut?" tanya Raina
"Iya Raina, tidak apa-apa kok. Saya malah seneng ada yang nemenin ngobrol," ucap Ardan.
Raina pun akhirnya masuk ke dalam mobil. Raina terus saja berbicara menanyakan tentang praktik-praktik yang akan datang dan menanyakan prakteknya hari ini.
Ardan yang mendengarnya hanya bisa tersenyum dengan semua tingkah polos Raina itu.

TBC Jangan lupa vote & komen  🙏

My Cold Husband (END  REVISI✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang