"Maksudnya apa?"
Wajah datar menahan amarah, Javas tengah berhadapan dengan Ismawan, ayahnya yang baru saja membuat ulah dan membuatnya dengan terpaksa pulang kerumah untuk meminta pertanggung jawaban dari ayahnya tentang dia.
Ismawan tak menjawab, dia hanya duduk di ruang tamu dengan wajah tanpa ekspresi menatap Javas, anaknya.
"Apa ?" Jawab Ismawan.
Arumi dan ibunya menatap cemas kedua orang dewasa itu saling menatap tajam layaknya musuh bebuyutan.
Satu senyuman palsu Javas hadirkan tepat di hadapan ayahnya.
"Mau berkilah dengan ucapan sendiri ?" Jawab Javas.
"Itu bukan berkilah, tapi memberitahu"
"Memberitahu kebohongan ?"
"Dimana letak kebohongan ?"
"Kata siapa aku akan menikah ?"
"Memang kamu tidak akan menikah ?"
Tangan Javas mengatup penuh emosi, wajahnya mengeras mendengar ucapan ayahnya.
"Aku harus bilang berapa kali lagi?!" Teriak Javas.
Suasana mulai memanas, Arumi dan Ibunya mulai cemas mendengar teriakan Javas.
Javas bukan tipe terpanmental
Dia hanya tidak bisa menahan emosi, apabila ada orang yang terus mengganggu hidupnya
Ini tidak bahaya, namun menegangkan
Seperti bom yang akan meledak, tidak ada yang tau kapan seorang Javas akan lepas kendali dan meledak layaknya bom
"Kapan kamu akan menikah?" Ujar Ismawan yang bahkan tak memedulikan emosi Javas.
"Masih bertanya lagi?" Sahut Javas.
"Dengar nak, apa yang pernah kamu lakukan untuk aku sebagai ayahmu dan untuk ibumu ?"
Ucapan Ismawan begitu tenang, dia berbicara dengan mata teduh yang terus menatap Javas, ucapannya mampu membuat mereka tertegun menatapnya.
"Kamu selalu pintar mendebat, membuat aku layaknya musuhmu, apa aku pernah membuat kamu menderita ?"
"Soal Arumi, apa itu salahku juga ? Kamu yang paling tau Javas"
"Kamu selalu merasa kalau ayahmu menindasmu, apa kamu sadar, siapa yang paling sering mendebatkan masalah dan menindas ?"
"Aku sering memintamu ini dan itu, tapi apa kamu pernah mengabulkannya ? Aku yakin tidak, kamu tidak pernah"
"Tapi kamu bahkan marah seolah kamu terus melakukan sesuatu karena suruhanku"
"Sekarang aku hanya minta satu permintaan, kamu ingin menjadikan aku musuhmu lagi ?"
Suasana kian hening, ucapan Ismawan begitu tenang namun entah kenapa mampu membuatnya terdiam.
Javas terdiam ditempatnya, memorinya berputar ke masa lalu, tentang dia yang pergi dari rumah, berdebat dengan ayahnya dan pergi begitu saja.
Matanya beralih menatap sang ibu yang saat ini tengah tertunduk sambil menangis, Arumi mengelus punggung ibunya juga dengan tangis di wajahnya.
"Kamu harus sadar, kamu adalah orang yang paling sering membuat kami kecewa" Ismawan kembali berujar.
Entah kenapa Javas tak berani menatap ayahnya itu, mulutnya sudah terkatup tak berani mendebat.
"Kamu yang egois, Javas" sahut ayahnya lagi.
Dadanya bergemuruh ingin berontak, rasanya dia ingin marah tapi tidak bisa, ada perasaan bersalah yang tiba-tiba muncul.