Bagian Gengsi

1.3K 171 87
                                    

"Nyatanya setiap manusia tetaplah ada rasa rindu bahkan cemburu tapi terhalang rasa gengsi"

****

Pagi ini adalah hari spesial untuk gus Fendi, setelah melewati ujian yang begitu berat. Ujian menuju masa depan, tetap nilai yang akan menentukan meski terkadang bejo menjadi bagian dari sebuah hasil yang memuaskan.

Tepat hari ini adalah acara wisuda angkatan gus Fendi, begitu juga dengan Rahma dan sahabatnya yang lain. Hari ini pula keluarga sudah pulang kecuali Nasya dan kedua orang tua gus Fendi yang masih tetap tinggal di pesantren.

Nasya, gadis itu memilih tinggal di asrama di kamar yang dulu sempat ditempati ning Ela karena kebetulan kamar tempat ning Sania sudah diisi oleh santri setelah mereka lulus dan sampai saat ini masih ditempati santri pula.

Awalnya memang tak ada niatan Nasya nyantri pasalnya kepulangannya karena libur semester, berhubung libur semester lama akhirnya dengan persetujuan kedua orang tua Nasya memilih mengaji dan memperdalam ilmu agamanya.

"Mbak yakin ngelepasin Azmi buat pertukaran pelajar?"

Saat ini Nasya dan ning Sania sedang bersama, memasak mempersiapkan menu sarapan bersama. Nasya memang santri tapi lebih sering main ke dhalem jadi sudah seperti santri dhalem kali ini.

"InsyaAllah Sya, mbak yakin. Lagipula buat kebaikan Azmi juga kan?" Nasya mengangguk setuju "Mbak cuma bisa doain biar Azmi selalu dalam lindunganNya dan yang terpenting bisa menjadi orang sukses Sya" lanjut ning Sania.

Pada dasarnya namanya orang tua pasti berat melepaskan anak meskipun dia seorang laki-laki. Tentu banyak resiko, tak tahu saja pergaulan saat ini dan entah namanya manusia pasti punya cobaannya sendiri-sendiri.

"Aamiin mbak" keduanya tersenyum dan kembali berkutat pada perkerjaan mereka. Meracik sayur dan bumbu yang akan dimasak pagi ini.

****

Sepertinya perkara grogi itu memang selalu ada di setiap manusia, sama seperti gus Fendi. Meskipun tetap bersikap jumawa namun kali ini setiap tindakan gus Fendi selalu ada yang kelewatan bahkan salah. Sama seperti tadi pagi ketika menyiapkan jas justru yang diambil malah jas almamater pesantren bukan jas yang sengaja di pakai untuk wisuda hari ini.

"Lo grogi ya gus?" Entah ini sebuah ejekan atau pertanyaan polos dari Mahesa.

"Aku deg-degan bang, serius nanti disuruh ngisi sambutan perwakilan wisudawan" jujur gus Fendi yang membuat Mahesa terbahak.

Sejak tahu jika gus Azmi dan gus Fendi adalah putra kyai pada saat itu juga Mahesa mengubah panggilannya, lebih ke mengikuti para santri yang ada disana. Meskipun dari segi bahasa masih lo gue namun tetap Mahesa menghormatinya.

"Tarik nafas gus, gue yakin lo bisa. Lo kan sebelas dua belas sama Azmi tapi bedanya lo pecicilan" ujar Mahesa apa adanya, beberapa hari tinggal bersama keluarga gus Azmi sedikit banyak tahu tentang tingkah dan kelakuan sepupu bahkan Mahesa sempat kaget dengan tingkah Nasya yang masih seperti abg.

"Bang sampean mau muji apa mau ngejatohin si kok sakit akhirnya" kedua pemuda ini tergelak. Kebetulan gus Azmi sedang pamit keluar sebentar. Entah tak memberi kejelasan akan keluar kemana yang pasti hanya gus Azmi yang tahu.

"Dua-duanya gus sekalian kan enak" lagi-lagi mereka tergelak, karena candaan garing keduanya.

Mahesa rasa tak sulit mengenal gus Fendi dari pada gus Azmi, menurut Mahesa sendiri gus Azmi adalah seorang tembok dengan pertahanan yang sulit diruntuhkan.

Terima Kasih (DALAM PROSES PENERBITAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang