Pangeran Pondok

1.4K 172 24
                                    

"Ada yang bilang jika sebuah predikat membuat seseorang akan besar kepala, namun ada beberapa yang malah lebih baik disembunyikannya"

****

Sungguh disini Mahesa seperti kucing kehilangan induknya. Bingung, banyak sekali pertanyaan yang akan di lontarkan pada sahabatnya selama di Ibu Kota itu. Ya bagaimana tidak, katanya ke pesantren dan ini masuk rumah pemilik pesantren.

"Umi bagaimana kabarnya?" Tanya gus Azmi pada sang umi.

Sebentar, umi? Berarti ini rumah gus Azmi? Ya Tuhan mimpi apa Mahesa bisa seoon ini tak tahu jika keluarga sahabatnya ini keturunan gawagis, bahkan priyayi. Ah lebih tepatnya kyai besar.

"Gila si Azmi gak bilang-bilang kalo dia anaknya pemilik pesantren mana gue gak pernah cari tau sebelumnya. Oon di pelihara lu Sa" umpat Mahesa dalam hati. Percayalah ia kesal pada sahabatnya itu tapi melihat betapa rukunnya keluarga besar gus Azmi membuat Mahesa tak jadi kesal.

"Alhamdulillah baik le, sampean bagaiman?" Balik bertanya, masih dengan belaian di pipi sang putra. Sepertinya rindu mengalihkan semua rasa yang ada.

"Alhamdulillah mi"

Berlanjut ke keluarga yang lain, dari abi hingga kakek nenek gus Azmi sudah di sapa semua. Sepertinya ini lebih dari ekspektasi gus Azmi. Ia kira tak seramai ini.

"Umi, abi semuanya saja ini Mahesa sahabat Azmi selama di Jakarta" gus Azmi mulai menperkenalkan Mahesa yang entah dari kapan sudah bersikap sesopan mungkin dengan tangan di depan dan tertaut. Dan jangan lupakan itu anak menunduk, sungguh bukan Mahesa sekali.

"MasyaAllah ini Mahesa yang sering ikutan video call sama umi itu?" Ujar ning Sania.

"Iya mi, kenapa?"

"Lebih berisi sama lebih tampan aslinya ya mas" ujarnya sedikit menggoda Mahesa yang akhirnya tersenyum dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

Berakhirlah mereka masuk ke dhalem, menikmati rindu bersama-sama.

Memang terkadang ada hal yang harus dikeluarkan, diungkapkan. Salah satunya perihal rindu dan perasaan.

"Ajmi tambah ganteng aja, btw jadi terbang buat pertukaran pelajar?" Tanya Nasya yang sedari tadi sibuk membantu menyiapkan jajanan di ruang keluarga dhalem.

Gus Azmi mengangguk sedikit bingung pasalnya namanya berubah jadi Ajmi, sejak kapan uminya mengganti namanya?

"Jadi bii InsyaAllah, doakan ya!!" Ujar gus Azmi yang mendapat anggukan dari banyak keluarganya itu.

"Perwakilan kampus kamu berapa? Pasti ndak sendiri kan?" Lagi-lagi gus Azmi mengangguk.

"Ndak bi, satu jurusan satu perwakilan" kali ini Nasya yang mengangguk. Percayalah Mahesa menjadi sangat pendiam disini.

Jujur ini pertama kalinya Mahesa berada di tempat senyaman ini. Semua keluarga terasa hangat, tak ada persaingan antara anak yang satu dan yang lain. Lebih indah lagi melihat berkumpulnya para orang tua yang lebih terlihat seperti saudara.

Mahesa tak tahu jelasnya silsilah keluarga gus Azmi, yang ia tahu baru sang kakek adalah pemilik pesantren jadi tidak salah jika bapak-bapak yang tadi dipanggil kang Usman sangat menghormati gus Azmi meskipun usianya jauh lebih muda darinya.

*****

"Gila lo gak bilang kalo lo cucu pemilik pesantren dan abi lo penerusnya" protes Mahesa saat sudah berada di kamar gus Azmi.

"Sampean ndak tanya" singkatnya.

"Lah gue kira lo tuh nyantri Az makanya gue iya iya aja pas lo bilang mau ke pesantren"

Terima Kasih (DALAM PROSES PENERBITAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang