|0 8 T E R L A L U M E W A H|

35.9K 1.2K 10
                                    

Kafka memaksa Adelia ikut pulang dengannya setelah selesai kerja. "Aku akan mengantarmu pulang!"

"Aku bisa sendiri!" tolak Adelia tegas.

Namun, Kafka tidak menyerah, ia menarik pergelangan tangan Adelia menuju parkiran. Membuka pintu mobil disamping kemudi lalu mendorong tubuh Adelia masuk. Setelah itu Kafka meyusul masuk dan duduk dikursi kemudi.

Adelia sinis, ia sudah ingin membuka pintu mobil supaya bisa keluar dari sana tetapi, Kafka sudah terlebih dulu menekan tombol central lock agar pintu mobil terkunci.

Adelia mendesah begitu tidak bisa membuka pintu mobil, ia menatap Kafka yang memberi Adelia sebuah senyum kemenangan. "Aku hanya ingin mengantarmu saja." kemudian mobil itu melaju pergi saat Kafka mengijak pedal gas.

Padahal Adelia berusaha sebisa mungkin menghindari bos-nya ini, karena Adelia yakin jika terus berlanjut ia tidak bisa menjamin perasaannya akan baik-baik saja. Adelia takut jika ia hanya akan di permainkan oleh Kafka. Jadi lebih baik diawal Adelia sudah bersikap acuh dan selalu menjaga jarak.

Tetapi tampaknya mustahil, karena Kafka adalah bos Adelia. Di tambah mereka akan terus bertemu setiap hari di kantor, apalagi Kafka menempatkan Adelia satu ruangan dengannya. Sungguh licik!

Adelia aneh begitu menyadari bahwa jalan yang ditempuh oleh Kafka bukanlah rute menuju kost-nya. "Ini kemana? Kau tidak tau alamatku?" tanya Adelia.

"Aku tau alamatmu, dan sekarang kita menuju kesana." jawab Kafka. Pria itu memutar setir memasuki sebuah perkomplekan elit yang didominasi oleh bangunan yang megah-atau semua bangunan.

"Kau salah jalan!" seru Adelia.

Kafka menyetopkan mobil tiba-tiba yang membuat dahi Adelia hampir membentur dasbor mobil. Pria itu berpaling menatap Adelia. "Sudah sampai."

"Apanya yang sampai, ini bukan alamatku!" geram Adelia.

Kafka keluar dari mobil. Adelia mengumpat, tetapi ikut keluar. Ia memperhatikan Kafka yang mendorong pagar besi salah satu rumah mewah supaya dapat masuk.

Kafka menarik Adelia membawanya masuk ke dalam pekarangan rumah bertingkat dua itu. Keadaan sangat terawat, namun tampak sepi tidak berpenghuni.

Adelia menganga melihat betapa megahnya bagian dalam rumah itu ketika Kafka membuka pintu. "Ini rumah siapa?" Adelia penasaran.

"Salah satu rumahku, sekarang aku berikan kepadamu." jawab Kafka. Ia melempar sebuah kunci yang berhasil disambut Adelia. "Itu kunci rumahnya."

Adelia syok, ia menatap kunci rumah yang ada di tangannya. Kemudian Adelia menggeleng. "Ini tidak benar, aku tidak bisa menerimanya. Terlalu mewah untukku." tolak Adelia. Ia mengembalikan kunci rumah itu.

"Aku memaksa!" tegas Kafka. "Rumah ini dekat dengan kantor, jadi kau tidak akan lagi terlambat saat pergi kerja."

"Tetap tidak bisa, aku tidak ingin berhutang budi kepadamu karena rumah ini." Adelia masih tetap pada pendiriannya. "Lagi pula aku yakin kau memberikan ini tidak cuma-cuma, pasti ada maksud." lanjut Adelia curiga.

Kafka menyeringai, pria itu maju perlahan mendekat pada Adelia. Sedangkan yang didekati mundur menjauh, hingga punggung Adelia membentur tangan sofa ruang tamu yang membuatnya terhuyung jatuh di atas benda empuk itu.

Kafka membungkukkan tubuhnya mendekati Adelia yang sudah terbaring diatas sofa. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Dan hal itu membuat jantung Adelia berdebar.

"Kau terlalu berburuk sangka kepada bos mu ini," ujar Kafka. "Ini hanya sebuah hadiah dari bos untuk sekretaris-nya, jadi kau terima saja."

Dengan jarak yang sedakat ini membuat Adelia mati kutu, sehingga ia hanya bisa mengangguk seperti orang tolol. Lalu Kafka menyodorkan bibir tipisnya mencium pipi kiri Adelia dan berganti mencium pipi sebelahnya.

"Siapa yang menyuruhmu menciumku!" Adelia mendorong dada Kafka menjauh sebelum pria itu melakukan hal yang lebih dari sekedar itu.

***

"Dia memberikan rumah mewah ini kepadamu!?" tanya Clara yang malam ini datang ke kediaman baru Adelia. Adelia mengangguk lesu.

"Andai aku jadi kau, pasti enak." Clara merasa iri. Wanita itu memperhatikan sekelilingnya, banyak perabotan rumah yang mewah tersebar ke seluruh tempat-pasti harganya fantastis.

"Terus suamimu mau kau kemanakan?" tanya Adela menaik-turunkan alisnya menggoda Clara.

"Ah, dia nanti saja urusannya." jawab Clara terkekeh.

Clara memang memilih nikah muda. Perjalanan pernikahannya sudah hampir menginjak satu tahun, dan tidak ada masalah yang timbul sampai sekarang. Mungkin karena suami Clara yang pengertian.

Clara mengeluarkan dua botol kecil yang berisi air jamu dari dalam tasnya, satu botol ia berikan kepada Adelia. "Ini jamu pelangsing yang kau pesan dari temanku kemarin." ujar Clara.

"Terima-kasih, nanti aku pesan lagi dengan temanmu itu." Adelia menatap botol digenggaman tangannya. Sebenarnya ia kurang suka minum jamu, namun demi perut yang ramping-padahal sudah langsing-Adelia rela meminum jamu.

Adelia melihat satu botol lagi yang ada ditangan Clara. "Kau minum jamu pelangsing juga?" tanya Adelia.

"Bukan, ini jamu perangsang." jawab Clara tanpa malu.

"Apa? Perangsang!?" tanya Adelia kelewat terkejut.

Clara mengagguk. "Memangnya kenapa?" Clara heran melihat Adelia yang heboh.

"Tidak, tidak apa-apa. Hanya sedikit terkejut, karena aku baru tau kalau ada juga jamu perangsang."

Clara tersenyum, memajukan wajah mendekati Adelia. "Kau memikirkan hal yang tidak-tidak kan?" tebak Clara.

"Te-tentu saja tidak!" Adelia menapik.

Clara tergelak melihat ekspresi Adelia yang tampak malu ditodong pertanyaan itu. "Sebaiknya kau jangan memikirkan hal itu, karena kau belum punya pasangan untuk melakukannya!" seru Clara menasihati-walau seperti menyindir.

"Mentang-mentang udah punya suami-"

Kalimat Adelia terpotong oleh suara ponsel Clara yang ada diatas meja, di layar ponsel ada nama pemanggil bertuliskan 'Liam' yang tidak lain suami Clara.

Clara menekan tombol hijau, lalu menempelkan ponselnya ketelinga. "Halo sayang, ah iya tunggu sebentar." Clara mengakhiri panggilan.

"Kenapa?" tanya Adelia.

"Liam sudah menuggu didepan," ujar Clara menjawab. "Kalau begitu aku pulang sekarang." Ia berdiri dari duduk.

"Oh, iya, hati-hati." pesan Adelia.

Setelah kepergian Clara, Adelia melirik botol berisi jamu yang tadi Clara berikan untuknya tergeletak di atas meja. Adelia meminumnya dan ternyata rasa jamu itu manis-sebelumnya ia kira jamu itu pahit.

Ponselnya berbunyi diatas meja samping botol jamu yang baru saja Adelia teguk isinya.

Mr. Mesum! is calling...

Adelia menaikan satu alisnya. Kenapa malam-malam begini menelepon?

"Ya, halo?" sapa Adelia setelah menekan tombol berwarna hijau.

"Anda bisa kesini sekarang? Kafka mabuk berat." sahut seorang pria dari seberang sana.

Sayup-sayup Adelia mendengar dentuman suara musik keras melalui ponselnya. Pasti pria itu sedang berada di kelab. Untunglah seorang pria yang sedang bersama Kafka sekarang. Jika perempuan...ah, Adelia tidak ingin membayangkannya!

Sejujurnya hal ini tidak ada hubungannya dengan Adelia. Dan juga sudah diluar jam kerjanya. Tapi Adelia justru menjawab. "Iya, saya segera kesana. Tolong kirim saya alamatnya." sahut Adelia. Entah kenapa Adelia seperti tidak rela membayangkan jika ada seorang perempuan yang menggoda Kafka ketika pria itu mabuk-padahal bisa saja pria itu yang menggoda para wanita.

Adelia bergegas pergi setelah mendapat SMS dari nomor Kafka yang memberikan keterangan alamat kelab tempat pria itu berada.

🌿




•Hargailah sebuah karya dengan baik dan aku yakin kalian tahu cara menghargai karya ini •

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang