|2 4 F A L L I N L O V E ?|

22.5K 796 1
                                    

"Jadi kau mengundurkan diri dari perusahaan Kafka?" tanya Clara yang datang ke kos Adelia.

Adelia yang sibuk memindahkan pakaian dari koper ke lemari menjawab dengan anggukan.

"Apa kau sebodoh itu? apa salahnya sedikit memanfaatkannya?" keluh Clara yang menganggap keputusan Adelia itu sedikit ceroboh.

"Jadi kau selama ini menikah dengan Liam hanya karena memanfaatkannya? Kau menganggap semua pria untuk dimanfaatkan saja, begitu?" Adelia menutup lemari.

"Bukan begitu, maksudku apa salahnya sedikit memanfaatkan pria semacam Kafka," tapik Clara. "Lagipula kau yang mulai bermain api dengan dia," timpal Clara.

"Aku?" Adelia menunjuk dirinya sendiri. Ia belum paham dengan kalimat Clara barusan.

"Ya, kau," Clara mengangguk. "Apa kau lupa ketika kau dan dia pertama kali bertemu di klub? Kau tiba-tiba menciumnya, padahal waktu itu kalian tidak saling mengenal," ujar Clara panjang lebar mengingatkan.

Adelia meringis. Malu sendiri karena Clara masih mengingat kejadian itu, padahal sudah lama berlalu.

"Itu karena ketidaksengajaan, lagipula salahkan saja Rio yang waktu itu selalu saja mengekoriku kemanapun aku pergi," Adelia beralasan.

"Ketidaksengajaan?" Clara sedikit tertawa. "Jelas-jelas aku melihat sendiri dengan mata kepalaku, kau sengaja mencium Kafka. Dan itu yang kau sebut ketidaksengajaan?" Clara semakin memojokkan Adelia.

Adelia menggaruk tekuknya, ingatan kejadian awal mula ia bertemu dengan kafka kembali terulang dan terlintas di pikirannya. Dan hal itu membuatnya sedikit merinding, mengingat betapa agresif dirinya waktu itu.

"Yang aku lakukan itu karena terpaksa, supaya Rio segera menjauh dariku!" tegas Adelia.

"Tetap saja kau yang salah, karena telah memulai semuanya," Clara tak ingin kalah. "Dan parahnya lagi, kau menjadikan Kafka sebagai pacar palsu didepan Rio."

Adalah cemberut. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati Clara yang duduk di ranjang tidurnya, sedikit ragu ketika ingin berucap.

"Apa?" Clara aneh melihat ekspresi wajah Adelia.

"Hm...Aku rasa jantungku sedikit bermasalah belakangan ini, apalagi jika menyangkut Kafka. Karena setiap kali mataku dan mata Kafka bertemu, pasti jantungku berdebar," keluh Adelia.

Mulut Clara menganga lebar, kemudian ia menggeleng-geleng.
"Sudah aku duga," ujar Clara takjub.

"Hah?" Adelia belum paham.

"Kau pasti jatuh cinta dengan pria yang kau bilang benci itu," cetus Clara. "Aku hampir lupa dengan pepatah, benci dan cinta itu beda tipis."

"Kau sudah pasti salah menduga," Adelia tidak percaya.

"Aku yakin kau jatuh cinta pada Kafka, buktinya jantungmu saja berdebar hanya dengan menatap matanya."

"Tidak mungkin!" kekeh Adelia. Baginya, ia tidak akan mungkin jatuh cinta kepada Kafka, sangat mustahil!

Clara frustasi sendiri menghadapi sikap jual mahal sahabatnya itu. "Tanyakan hatimu, apa yang sebenarnya dia mau. Jangan terlalu memaksakan ego," nasehat Clara.

Adelia justru menjitak kepala Clara setelah selesai mengucapkan kalimat yang menurutnya menjijikkan itu. "Ucapan bijak seperti itu sama sekali bukan dirimu!"

Clara mendengus diperlakukan seperti itu. "Kau terlalu jual mahal, itu intinya," tandas Clara.

"Aku bukannya jual mahal, hanya saja aku tidak ingin masuk ke dalam permainan Kafka. Dia itu player," tapik Adelia.

Aku tidak seperti itu lagi. Itu dulu, sekarang yang ada di hatiku hanya kau, Adelia. Adelia menggeleng ketika kepalanya mengingat kalimat yang diucapkan Kafka itu.

Pasti itu hanya omong kosong, batin adelia.

Ponsel Adelia yang berada di nakas dekat tempat tidur bergetar dan menyala, kemudian suara nada panggilan mengalun merdu di kamar kos Adelia.

Clara mengambil ponsel itu, dilayar ponsel itu tertulis nama pemanggil, 'Mr. Mesum'.

"Mr. Mesum?" gumam Clara seraya melihat Adelia.

Adelia yang sedang sibuk melipat sisa baju yang ada di kopernya, langsung merampas ponselnya di tangan Clara. Itu telepon dari Kafka.

Entah kenapa tiba-tiba saja jantung Adelia berpacu lebih cepat—berdebar tidak karuan. Adelia geser tombol merah—menolak panggilan itu.

Clara menaikkan satu alisnya. "Kenapa tidak kau angkat?" tanya Clara.

"Biarkan saja," jawab Adelia berusaha acuh.

Lagipula jika Adelia menjawab panggilan Kafka itu, ia bingung sendiri harus membicakan apa. Saat ini, Adelia masih ambigu dengan hatinya, bingung dengan perasaannya.

Apakah benar jika Adelia sudah jatuh cinta pada Kafka?

🌿

•Hargailah sebuah karya dengan baik dan aku yakin kalian tahu cara menghargai karya ini •

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang