|4 1 B E R I S T I R A H A T|

18.8K 736 7
                                    

Ada beberapa hal yang memang tidak bisa kita tolak didalam hidup ini, salah satunya adalah takdir. Kini Adelia sulit sekali tersenyum, seolah masih menolak takdirnya, menolak kejadian-kejadian buruk yang menimpanya. Tetapi apa daya? Adelia tidak bisa melakukan apa-apa, karena hidup itu bukan sebuah pilihan, namun perjalanan.

Sebagian orang memilih untuk menerima takdir dengan lapang dada, dan sebagian lagi menolak percaya dengan keadaan. Salah satunya adalah Adelia, yang menolak hal-hal buruk didalam hidupnya.

Air mata wanita itu masih belum mengering, sangat menyesal baru mengakui perasaannya pada Kafka, ketika pria itu sudah hampir diujung kematian.

Jika diberi satu kesempatan lagi, Adelia berjanji tidak akan menyia-nyiakannya, sumpah! Ia akan memperlakukan Kafka dengan baik, tidak akan mau lagi berlaku buruk pada pria itu.

Adelia segera mengelap pelupuk matanya, yang hampir saja menumpukan bulir-bulir air mata kesedihan. Memperhatikan orang-orang didalam ruangan serba putih itu, dengan suara mesin pendeteksi jantung yang tidak henti-hentinya berbunyi. Mereka memiliki tujuan yang sama dengan Adelia--menunggu Kafka terbangun dari komanya selama 3 hari.

Adelia tidak kuasa menatap wajah Alice, Anderson, ataupun adik Kafka--Thea. Rasa bersalah itu semangkin besar jika ia menatap wajah-wajah yang mirip dengan Kafka.

"Maafkan aku, semua ini salahku," lagi, hanya kalimat penuh dengan permohonan maaf yang bisa Adelia ucapkan.

Alice menggeleng, mencoba memberikan senyum pada Adelia sebagai penguat. "Ini bukan salahmu, Kafka yang memilih menyelamatkanmu," ujar Alice yang mendapat anggukan setuju dari suaminya--Anderson.

"Lagipula aku bangga dengan putraku--Kafka, karena berani mengambil keputusan paling berisiko didalam hidupnya, untuk menyelamatkan wanita yang dia cintai. Itu adalah tindakan pria sejati," sambung Anderson. Ia saat ini sedang mengenakan jas, karena ingin pergi ke kantor--menggantikan posisi Kafka di perusahaan Anderson Gruop selama putranya itu koma.

"Lebih baik kau pulang dan beristirahat, aku akan menjaga Kafka disini," kali ini Thea yang bersuara. Ia prihatin memperhatikan penampilan Adelia yang sudah tidak terawat selama 3 hari belakangan ini.

Dan, walaupun Thea adalah tipe seorang adik yang terlihat acuh pada kakaknya. Tetapi dikondisi seperti ini, Thea 'lah yang terlihat begitu khawatir diantara anggota keluarganya yang lain, bahkan gadis itu tidak memperdulikan masalah kuliahnya selama Kafka koma, banyak sekali kelas yang ia tinggalkan demi menjenguk Kafka di rumah sakit.

"Tidak, aku akan tetap disini sampai Kafka siuman," ujar Adelia menggeleng menanggapi ucapan Thea tadi.

Hingga akhirnya, Alice dan Anderson yang memilih undur diri dari ruangan itu, dengan Alice yang menarik Thea untuk pergi. "Kau, harus pergi ke kampusmu!" Alice mengingatkan. Dengan terpaksa Thea meninggalkan Kafka dan Adelia didalam ruang itu.

Adelia menatap Kafka yang menutupkan matanya, tertidur dengan nyaman diatas ranjang rumah sakit. Semoga saja pria itu sedang bermimpi indah sekarang.

Adelia menarik kursi lipat yang ada disamping ranjang, lalu duduk disana dengan menghadap ke arah Kafka. Adelia menggengam sebelah tangan Kafka yang bebas dari tusukan jarum infus,  membaringkan kepalanya yang terasa berat ke sisi ranjang, dan mulai menutupkan matanya untuk beristirahat sejenak. Ia mencoba memikirkan ulang kejadian yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini. Adelia sejujurnya, masih sedikit tidak percaya dengan Rio yang melakukan hal gila pada dirinya--terlebih pada Kafka. Sekarang Rio sudah membekap dibalik jeruji besi, bersama dengan tujuh anak buahnya.

Ternyata sebelum Kafka sampai di tempat Adelia disekap, ia sempat menelepon Arvin meminta bantuan. Menyuruh sahabatnya itu menelepon polisi jika ia belum juga kembali selama 30 menit, dan juga Kafka mengirimkan alamat pabrik tua yang ia datangi, yang menjadi tempat Adelia disekap.

Salah satu jari Kafka bergerak, Adelia merasakan itu, karena tangan Kafka sedang ia genggam. Adelia menatap wajah Kafka penuh harap, jantungnya berdebar kencang menunggu Kafka tersadar. Dan senyum itu terbit, saat ia melihat mata Kafka perlahan membuka.

Kafka juga sama, tersenyum dengan pemandangan pertama yang ia lihat ketika membuka matanya, sosok Adelia.

Adelia bingung dengan Kafka yang belum bersuara, pria itu tidak henti menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Adelia segera berdiri dari duduknya, ingin pergi keluar. "Aku akan memanggil dokter," ujarnya. Takut ada sesuatu yang salah pada Kafka.

Tetapi Kafka menggeleng, pria itu perlahan merentangkan tangannya, menuggu Adelia mendekat padanya. Dan ketika Adelia sudah mendekat, dengan cepat pria itu memeluk tubuh Adelia erat.

"Kau tidak apa-apa, Adelia?" tanya Kafka lemah. Tetapi suara itu lebih jelas dibandingkan terakhir kali Adelia mendengarnya, walaupun masih sepelan bisikan.

Mata Adelia segera berkaca-kaca, terharu mendengar kalimat yang seharusnya ia yang mengucapkannya. "Seharunya aku yang menanyakan hal itu padamu," sahut Adelia yang membalas pelukan Kafka.

"Aku tidak apa-apa, jika kau baik-baik saja," balas Kafka seraya mengelus sayang kepala Adelia.

Adelia hampir menangis mendengar kalimat lembut Kafka itu. Entah kenapa belakangan ini perasaannya sangat sensitif, mudah sekali tersentuh. Adelia melepas pelukan Kafka, menatap pria itu tajam.

"Kenapa kau tidak melawan ketika anak buah Rio memukulimu?" tanya Adelia yang menyesalkan tindakan bodoh Kafka itu.

Kafka berujar, tetapi Adelia tidak begitu mendengar suara pelan itu. Mungkin sebenarnya Kafka belum kuat mengeluarkan suaranya, karena luka tusuk di perutnya masih menyisakan rasa perih dan nyeri yang luar biasa sakit. Maka dari itu suara yang Kafka keluarkan begitu pelan, hingga tidak bisa didengar Adelia, walaupun jarak mereka dekat. Kafka berbaring di ranjang, dan Adelia berdiri disampingnya.

Hingga akhirnya Adelia membungkukkan tubuhnya mendekat pada Kafka, sedekat tadi--saat pria itu memeluknya. "Apa?" tanya Adelia meminta Kafka mengulang kalimatnya.

"Jika aku melawan, maka aku akan benar-benar kehilanganmu untuk selamanya," ujar Kafka berbisik. "Dan aku tidak ingin itu terjadi."

Tanpa diminta Adelia segera memeluk Kafka, hingga pria itu sedikit meringis karena tangan Adelia menyenggol luka yang diperban pada perutnya. "Kau bodoh!" setelah itu tangis Adelia pecah.

🌿

Btw cerita ini udah jalan 70-80% mungkin benar lagi bakalan tamat. Dan aku gak tau harus bahagia atau sedih:/

*


•Hargailah sebuah karya dengan baik dan aku yakin kalian tahu cara menghargai karya ini•

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang