|3 8 H A N Y A B E R M A I N - M A I N|

18.2K 617 4
                                    

Kaki Kafka melangkah keluar dari kantor, didepan kanopi ia bertemu dengan Arvin yang baru saja datang ingin menemuinya. Pria itu menaikan satu alisnya, melihat Kafka memasang wajah khawatir. Cara melangkah Kafka 'pun tergesa.

"Aku baru datang, dan kau sudah ingin pergi?" tanya Arvin yang menahan langkah Kafka yang ini menuju parkiran.

"Aku tidak bisa, lain kali saja kita melakukan pertemuan," sahut Kafka yang sama sekali tidak berbalik menghadap Arvin.

Setelah kalimat singkat itu, Kafka melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Arvin yang menatap heran kepergian temannya itu.

Kafka sama sekali tidak ingin membuang-buang waktu, untuk saat ini nyawa Adelia dalam bahaya. Dan itu cukup membuat rasa takut akan kehilangan bermunculan dalam diri Kafka. Ini pertama kali dalam hidupnya, merasakan takut yang begitu besar.

Setelah berhasil masuk ke dalam mobilnya, Kafka menyalakan aplikasi GPS yang dipasang di ponselnya. Lalu melaju menyusuri jalan raya dengan mengikuti rute yang ditunjukkan oleh GPS itu. Hal yang Kafka kesalkan adalah, jalanan yang begitu padat, membuatnya sulit menyelip mendahului pengemudi lain.

Akhirnya Kafka membelokkan mobilnya, melaju dijalur yang dikhususkan untuk bus. Persetan dengan aturan, Adelia lebih dari segalanya untuk saat ini--mungkin seterusnya.

"Sebentar lagi, sebentar lagi, Adelia..." rapal Kafka disepanjang jalan.

Sudah 20 menit Kafka mengemudi, tetapi belum juga sampai pada tujuan yang diinginkan. Selama itu juga, Kafka tidak perduli dengan keselamatan sendiri. Pria itu lupa cara mengemudi dengan baik dan benar--ugal-ugalan.

3 menit setelahnya, Kafka berbelok memasuki jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Lalu kaki Kafka mengijak pedal rem, saat matanya menangkap sebuah pabrik tua yang telah terbengkalai, didepan pintu masuk pabrik itu tertulis sebuah kata 'DITUTUP'.

Itu tempat yang Kafka cari, akhirnya ia menemukannya. Kafka segera keluar dari mobilnya, berjalan menuju pintu masuk pabrik itu, yang sudah berdiri dua orang penjaga dengan tubuh besar dan tegap disisi kanan dan kiri. Tetapi itu sama sekali tidak membuat Kafka ciut.

Dua penjaga berambut gondrong itu, saling tatap, melangkah mendekat pada Kafka. Lalu tiba-tiba mengunci pergelangan tangan Kafka kebelakang, menuntun Kafka berjalan masuk ke dalam pabrik itu.

Kafka menarik tangannya dengan kasar, lalu kuncian itu terlepas dengan mudah. "Aku bisa berjalan sendiri!" tegas Kafka.

Akhirnya dua pria itu menjauh dari Kafka, menuntun disamping kanan dan kiri dengan radius masing-masing 1 meter.

Kafka memperhatikan pabrik tersebut, sangat tidak layak dipakai. Dan Adelia harus disekap di tempat yang menjijikan seperti ini, membuat Kafka mengeraskan rahangnya menahan amarah membayangkan hal itu.

Kafka sampai pada sebuah pintu kayu yang sedikit terbuka, memberikan celah untuk udara masuk. Tanpa pikir panjang, Kafka mendorong pintu berdebu itu, masuk dengan tergesa.

"Adelia, dimana kau?!" teriak Kafka membuat ruangan itu seketika menjadi gaduh.

Tidak ada jawaban, hingga lampu di ruangan gelap itu menyala. Barulah, Kafka berhasil menemukan Adelia yang dibelakang wanita itu sudah banyak orang-orang yang menatapnya bengis.

Kafka tidak tahan dengan apa yang ia lihat, Adelia terikat disebuah kursi kayu dan mulut terbungkam sebuah lakban. "Siapa yang berani melakukan ini? Siapa yang menyuruh kalian, hah?!" tanya Kafka. Volume suara yang nyaring itu, sudah jelas menggambarkan kemarahan Kafka.

Tidak ada yang menjawab, 5 pria bayaran itu hanya menatap Kafka, seolah sudah menemukan mangsa. Sampai suara tepuk tangan datang dari sudut ruangan, yang luput dari mata Kafka. Disana ia melihat Rio--dalang dari semua kejadian ini.

Terkejut, tentu saja. Pasalnya setahu Kafka, Rio masih mencintai Adelia, dan tidak mungkin orang yang memiliki rasa cinta melakukan hal buruk pada orang yang benar-benar ia cintai.

Rio masih bertepuk tangan, seolah memberikan apresiasi setelah melihat sebuah pertunjukan hebat. "Lihat Adelia, si penyelamat nyawamu sudah datang," ujarnya berjalan mendekati Adelia.

Kafka ingin mengejar, mendahului Rio yang telah mendekat pada Adelia. Tetapi dua pria yang tadi menuntunnya menuju ruangan itu, menahan Kafka--kali ini dengan kekuatan penuh. Sehingga Kafka sulit melepasnya.

"Apa yang kau lakukan pada Adelia?" geram Kafka.

Rio tersenyum, karena rencana yang ia susun hampir tercapai. "Hanya bermain-main," jawabnya dengan santai. "Lagi pula, khawatirkan saja nyawamu sekarang," timpalnya mengingatkan. Karena tujuan dari semua ini bukan untuk mencelakai Adelia, tetapi Kafka. Adelia hanya umpan.

Kafka menatap Rio yang sudah berdiri didepan Adelia, membuka lakban yang menempel di mulut Adelia, masih dengan cara yang kasar.

Adelia yang sedari tadi memang ingin bersuara akhirnya meneriaki Kafka yang berdiri didepannya dengan mata berkaca, seakan tahu kejadian selanjutnya. "Bodoh! Kenapa kau datang? Mereka mengingatmu, bukan aku!"

Perasaan Kafka tiba-tiba menghangat mendengar suara Adelia, ia tahu jika Adelia khawatir saat ini padanya. Hal itu cukup untuk Kafka, bahwa Adelia memang sudah menaruh keperdulian padanya.

Kafka melempar tersenyum untuk Adelia. "Aku tidak apa-apa," sahut Kafka.

Adelia menggeleng kuat, berusaha tidak mendengar suara Kafka. Kali ini ada yang aneh, Adelia merasakan perasaan yang sedih, hanya dengan mendengar suara Kafka. "Pria bodoh!" masih dengan umpatan yang sama.

Rio tertawa menyaksikan itu, sebagian dalam dirinya menolak kenyataan bahwa Adelia mengkhawatirkan Kafka. Ia iri dengan itu. "Sudah cukup basa-basi," ujar Rio mengakhiri drama pendek yang ia tonton barusan.

Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari kantung celananya, lalu ia todongkan pisau itu tepat didepan leher Adelia. Hingga tetesan darah berhasil menetes dari sana, karena bagian leher Adelia sedikit tergores.

Kafka memberontak melihat itu, mencoba melepaskan kekangan dua anak buah Rio itu. Tetapi gagal. "Berani kau melukainya lebih dari itu, kau akan dapat balasan seribu kali!!!" teriak Kafka. Kesabarannya sudah hilang.

Rio tersenyum miring melihat reaksi Kafka, kentara sekali dengan kekhawatiran. Walau sebenarnya ia tidak sengaja melukai leher Adelia, tetapi melihat Kafka yang begitu ketakutan, membuatnya tidak menyesali perbuatannya itu. "Kenapa? Kau takut kehilangan dia?" tanya Rio menguji.

Kafka tidak menganggapi, karena tidak seharusnya musuh tahu kelemahannya.

"Lihat aku baik-baik, apa kau memang benar-benar sudah melupakanku?" tanya Rio lagi. Memastikan.

Kafka tentu bingung ditanya seperti itu. Yang ia tahu pria itu adalah Rio. "Siapa kau sebenarnya?" Kafka penasan.

"Ternyata kau melupakanku semudah itu," desah Rio. "Padahal aku sama sekali tidak bisa melupakanmu," timpalnya.

Pria itu lalu mengacak-acak rambutnya, merubah gaya rambutnya menjadi berponi menutupi dahi. Sebuah kacamata bulat Rio keluarkan dari kantungnya, kemudian ia kenakan kacamata minus itu. "Bagaimana?"

Kafka memperhatikan Rio yang kini penampilan sudah berubah menjelma menjadi seorang pria yang culun. Kafka tidak yakin dengan ingatannya, tetapi penampilan Rio saat ini membuatnya mengingat seseorang dari masalalunya.

"Mario?" tanya Kafka ragu-ragu.

Rio mengangguk kuat. "Akhirnya kau mengingatku, Kafka," sahut Rio dengan senyum menyeringai.

Membuat Kafka memasang wajah penyesalan. Ternyata perbuatan di masalalunya, membuat orang yang ia cinta dalam bahaya.

🌿

Note:
Maaf kalau fell-nya gak dapat, karena aku gak jago bikin cerita yang kayak beginian:(

Next bakalan lebih panjang deh(mungkin😊) dan sekitar 2-3 chapter lagi, nih kasus penculikan bakalan selesai--gak bisa aku nulis yang tegang-tegang kayak begini.

*


•Hargailah sebuah karya dengan baik dan aku yakin kalian tahu cara menghargai karya ini•

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang