|4 5 M O M M Y I N G I N C U C U|

22.6K 672 3
                                    

Dua hari berada di Prancis, akhirnya Kafka memutuskan mengajak Adelia pulang, karena begitu banyak pekerjaan yang menuggu Kafka di perusahaan. Dan di hari kedua, akhirnya Kafka menuruti keinginan Adelia yang ingin berkunjung ke The Louvre Museum.

Tentu saja Adelia senang bukan main melihat lukisan Mona Lisa karya fenomenal Leonardo da Vinci itu, bahkan Adelia memotret lukisan itu melalui kamera ponselnya, puluhan kali. Tetapi bukan itu yang paling Adelia ingat, ada kejadian lebih menarik--mungkin memalukan. Sangat! Yang memuat pikiran Adelia selalu mengingatnya, terus terbayang bahkan.

Hal memalukan itu terjadi, ketika Adelia melihat patung Dying Slave yang merupakan sebuah patung pria yang tak mengenakan sehelai benangpun--telanjang. Bodohnya, pandangan Adelia malah jatuh pada bagian bawah patung itu, tepat di selangkangannya. Dan itu berhasil membuat mata Adelia tak berkedip sama sekali.

Kafka yang berdiri disampingnya, langsung menutup mata Adelia dengan satu telapak tangannya. "Nanti ketika kita sudah menikah, kau lihat milikku saja, yang jauh lebih besar dan panjang daripada milik patung itu."

Mendengar ucapan Kafka itu berhasil membuat pipi Adelia memanas menahan malu. Adelia sudah terlihat seperti seorang dengan pikiran mesum saja. Adelia menggelengkan kepalanya, membuang pikiran tentang kejadian itu. Mengingat itu kembali membuatnya jadi malu sendiri.

Setelah pulang dari Prancis, Kafka dan Adelia tidak langsung bekerja, mereka beristirahat beberapa hari. Tetapi Adelia tidak berada di kost-nya, melainkan berada di kediaman Anderson--Alice yang memaksa Kafka agar membawa Adelia ke rumahnya sepulang dari Paris, Prancis. Dan disinilah Adelia sekarang berada, di meja makan yang diisi oleh keluarga Kafka--kecuali dirinya.

"Jadi kapan kalian berdua akan menikah?" tanya Alice ditengah-tengah semua orang menyantap makanan.

Tentu saja keluarga Kafka sudah mengetahui pria itu melamar Adelia saat berada di Prancis.

"Dalam minggu ini," jawab Kafka tanpa berpikir. Dan Adelia membulatkan matanya mendengar itu, bahkan hampir tersedak makanannya.

"Secepat itu?" Anderson menyahut.

"Apa Kafka menghamilimu, Adelia? Hingga ia ingin cepat-cepat melaksanakan pernikahan?" sambung Thea yang bertanya terang-terangan.

Adelia terkejut mendengar pertanyaan Thea yang sangat sensitif itu. Tetapi Thea biasa saja membahas hal itu. "Tidak, aku sama sekali tidak hamil!" jawab Adelia. Ada tanda seru dibelakang kalimat itu, yang berarti penegasan.

Alice malah dibuat bingung oleh jawaban Adelia. "Kenapa?"

"Bagaimana Adelia bisa hamil, sedangkan kami tidak pernah melakukan hal itu," sahut Kafka. Adelia mengagguk.

"Aku tidak yakin," Anderson menatap Kafka. "Wajahmu itu melambangkan seorang yang mesum. Mana mungkin kau belum pernah melakukan hal itu dengan Adelia." Anderson justru tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri.

Alice mengangguk setuju dengan penuturan suaminya. "Bukankah saat di kantor kemarin kalimat melakukannya?" tanya Alice yang mengingat saat ia memergoki Kafka dan Adelia sedang bercumbu didalam ruang kerja Kafka.

Adelia jadi malu dan bingung sendiri, malu karena Alice masih mengingat dengan jelas kejadian itu, dan bingung harus bagaimana menjelaskannya. Otaknya bekerja keras mencari jawaban yang tepat. Namun tak dapat hasil. Apa keluarga Kafka memang selalu terang-terangan seperti ini saat membahas hal yang bahkan begitu intim untuk dibahas?

"Aku tidak melakukannya, mom." Akhirnya Kafka yang menjawab.

Alice mendesah kecewa. "Padahal mommy ingin sekali segera memiliki cucu darimu," ujar Alice menatap Kafka dan Adelia bergantian.

Kemudian wajah itu kembali cerah begitu mendapat sebuah ide yang tiba-tiba saja datang menghampiri otaknya. "Kalau begitu mommy setuju, kau menikah dengan Adelia dalam minggu ini." Alice menyetujui ucapan Kafka tadi.

Dan Adelia kembali membulatkan matanya, kali ini lebih lebar. "Kurasa ini terlalu cepat," sambung Adelia yang kurang setuju.

"Bukannya lebih cepat lebih baik?" tanya Thea. Dan seluruh yang ada disana mengangguk--terkecuali Adelia. "Supaya kau bisa menutupi skandal yang Kafka ciptakan--menghamilimu diluar nikah," sambungnya. Thea yang masih meyakini bahwa Adelia sudah hamil.

"Thea!" seru Adelia yang telinganya sudah memanas. "Sudah kubilang, aku tidak hamil." Untunglah Thea adalah calon adik iparnya. Jika tidak, mungkin Adelia tanpa pikir panjang merobek mulut asalnya.

Thea tertawa, tangannya terangkat membentuk peace sebagai tanda damai. "Aku hanya bercanda."

Setelah itu kembali hening, mereka kembali berfokus pada makanan masing-masing. Sampai semuanya selesai menyantap makanan yang tersaji, barulah Alice kembali berujar.

"Jadi kau ingin menikah kapan, Adelia?"

Sebelum menjawab Alice, Adelia sempatkan menegak air putih terlebih dulu. "Entahlah, tapi menurutku jika dalam minggu ini, itu terlalu cepat."

Alice mengangguk. "Ini adalah hubunganmu dan Kafka, jadi kalian saja yang menetapkan waktunya. Tapi..." Alice menggantungkan kalimatnya yang belum sepenuhnya selesai. "Setelah kalian menikah nanti, mommy ingin dalam waktu satu minggu sudah mendapat berita, bahkan Adelia mengandung. Titik."

"APA?" Adelia refleksi berteriak. Namun lain dengan Kafka.

"Mom tenang saja, waktu satu minggu sudah cukup untukku membuat anak bersama Adelia. Bukan begitu sweetie?" Kafka menatap Adelia yang duduk disebelahnya. Pria itu memberikan senyum menggoda pada Adelia.

Adelia menggeleng keras. Bukan obrolan tentang membuat anak yang Adelia inginkan menjadi sebuah topik. Apalagi meraka seolah biasa saja membahasnya, sedangkan Adelia begitu risih dibuat. Bukankah ombrolan ini begitu memalukan? Seseorang tolong Adelia!

🌿

Tau kok pendek, wleek😝

*




•Hargailah sebuah karya dengan baik dan aku yakin kalian tahu cara menghargai karya ini•

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang