|3 7 M E N G H I L A N G|

16.2K 664 4
                                    

Adelia membuka matanya perlahan, pandangannya berkunang-kunang, mencoba menyesuaikan matanya dengan ruangan redup yang ia tempati saat ini.

Ruangan redup itu membuatnya bingung membedakan waktu antara siang dan malam. Tetapi Adelia baru sadar, jika waktu saat ini adalah siang, begitu matanya menemukan jendela kecil disebelah kirinya yang membiaskan cahaya matahari dari luar. Adelia merasakan hawa sekiranya sejuk--mungkin masih pagi hari, bukan siang.

Ia meringis ketika merasakan nyeri pada pergelangan tangan dan kakinya, seperti ada sebuah benda yang melilit begitu erat dibagian itu. Dan Adelia menyadari tangan dan kakinya terikat oleh sebuah tali.

Adelia memutar ingatannya, yang dapat ia ingat hanya kejadian ketika ia dihadang oleh dua orang pria bertubuh besar, di jalan sepi menuju minimarket dekat kost-nya. Selain dari itu, nihil. Ingatannya hanya sampai disitu saja.

Padahal Adelia berharap bahwa kejadian itu hanya mimpi buruknya, dan ketika terbangun, semuanya kembali baik-baik saja. Ia terbangun dari tidurnya yang berbaring di kasur empuk, lalu beranjak menuju kamar mandi. Bukan seperti ini, terbangun dari tidurnya dengan posisi yang terduduk di kursi kayu keras dengan tangan dan kaki yang terikat pada tiang kursi itu.

Sayup-sayup Adelia mendengar derap langkah seseorang, mendekat kearahnya. Yang ia dapat adalah seorang pria yang berdiri tepat didepannya, dengan pakaian serba hitam.

Adelia masih belum bisa mengenalinya, sebab pria itu mengenakan topi untuk menutupi wajahnya. Tetapi Adelia yakin, jika pria itu bukan salah satu dari dua pria yang menculiknya kemarin.

Adelia ingin sekali bersuara atau memaki pria yang berdiri didepannya ini. Hanya saja ada sebuah lakban hitam yang begitu kuat merekat menutupi mulutnya.

Pria itu membuka topinya, dan tersenyum menyeringai menatap Adelia. "Sudah sadar, Adelia?" ujarnya seolah itu adalah sapaan selamat pagi.

Adelia tidak asing dengan wajah itu, tidak asing juga dengan suara bariton itu, sudah hapal diluar kepala! Dan hal yang makin membuatnya mengenali pria itu adalah senyuman menyebalkan itu, senyum yang sama sekali tidak ia harapkan.

Pria itu kembali melangkah mendekat pada Adelia. Ketika jarak mereka sudah tidak ada lagi, pria itu berjongkok didepan Adelia yang duduk terikat di kursi. Mendongakkan kepalanya menatap Adelia yang kini lebih tinggi darinya. Dan, tersenyum menyeringai lagi.

"Kenapa? Terkejut?" matanya meneliti raut wajah Adelia yang kentara sekali dengan tanda tanya.

"Au," ringisan keluar dari mulut Adelia ketika pria itu membuka lakban yang membekap mulut Adelia dengan sedikit kasar.

Adelia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya. Menatap pria itu dengan penuh amarah. "Maksud semua ini apa? Kau gila?!" teriak Adelia didepan pria itu.

Pria itu tertawa--kencang sekali. "Anggap saja begitu, lagipula tidak ada yang tau," sahutnya.

Adelia menatap pria itu, yang sampai sekarang tawanya belum reda. Persis seperti orang yang tak waras. Kemudian Adelia terpikir maksud dari semua ini, alasan pria itu menculiknya. "Apa kau ingin balas dendam padaku, karena aku mencampakkanmu?" tanya Adelia memastikan.

Rio yang tadi tertawa, seketika menghentikannya. Menatap Adelia, yang memasang tampang was-was. "Kau takut?"

"Ti-tidak," Adelia menggeleng, sebisa mungkin menetralkan ketakutannya.

Rio mengacungkan jari telunjuknya didepan wajah Adelia. Menggoyang-goyangkan jari itu ke kanan dan kiri sebagai ungkapan dari kata tidak. "Aku hanya ingin membalas dendam pada pria yang merebutmu, bukan kau," ujarnya. "Kau hanya umpan," timpalnya berbisik disamping telinga Adelia.

My Bad Bo(y)ssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang