12. ɴᴇꜱᴛᴀᴘᴀ

7.1K 819 46
                                    

"Telah ku cabut jangkar luka yang sudah terlalu lama membusuk bersiap meninggalkan rumah yang tidak lagi senyaman dulu."

***

"Eh, Pak Joko," ucap Adara sambil tersenyum canggung.

"Kenapa lama sekali? Saya sudah nunggu kamu dari tadi."

Adara hanya menyengir saat di tatap Pak Joko, lalu ia mengekori Pak Joko untuk menuju ke ruangannya. Adara merasa sangat gelisah, rasa takut apabila Pak Joko bertanya tentang pembayaran sekolah menyelimutinya.

"Duduk."

"Baik, Pak."

Pak Joko menatap Adara serius. "Kamu tau kenapa saya panggil ke sini?"

Adara hanya menggeleng lugu. Adara tahu betul apa yang akan di sampaikan Pak Joko padanya, tapi ia pura-pura tidak tahu. Dalam posisi seperti ini, rasanya ingin sekali Adara marah kepada orang tuanya. Namun, Adara juga sadar bahwa mencari uang tidak semudah memetik daun.

"Seharusnya kamu tau ulangan tinggal seminggu lagi, senin depan sudah mulai dilaksanakan. Lalu? Bagaimana kewajibanmu?" tanya Pak Joko kepada Adara.

"Kewajiban? Kewajiban apa, Pak?"

"Tanggungan sekolahmu, Adara," jawab Pak Joko sambil menghela napas pelan.

"Namun ... bukan, kah, itu urusan orang tua? Mengapa Bapak bertanya kepada saya? Kewajiban membayar adalah milik orang tua saya, tugas saya belajar di sini."

"Bukannya begitu, tapi bapak hanya menyampaikan. Soalnya Bapak telepon orang tuamu tapi tidak di angkat."

Adara menundukkan kepalanya, apa yang harus ia jawab? Apa yang harus ia jelaskan kepada Pak Joko? Apakah Adara harus bilang bahwa orang tuanya sengaja mengabaikan telepon Pak Joko?

"Semester satu sudah mau selesai di kelas sembilan ini, tapi keuanganmu dari kelas delapan belum dicicil sama sekali. Bapak hanya tidak ingin di bilang pilih kasih. Bapak menyuruh murid yang lain membayar, sedangkan kamu? Bahkan belum sama sekali."

Sesaat, napas yang Adara hirup terasa sangat berat, dirinya merasa tercekik di setiap tarikan napas. Ingin rasanya Adara menangis saat ini, tetapi ia merasa malu apabila mengeluarkan air mata.

"Orang tuamu sedang di rumah, kan? Atau nomer teleponnya sudah berganti?" tanya Pak Joko.

"Nomernya masih sama kok, Pak. Cuma papaku---"

"Mengapa tidak diangkat bila nomer itu masih sama? Bapak hanya tidak ingin jumlah uang yang harus dibayar semakin menumpuk, Adara."

Adara memalingkan pelan wajahnya ke samping. Matanya sudah berkaca-kaca, ia berusaha sebisa mungkin agar tidak menangis saat itu.

"Bapak beri kamu waktu sampai besok, jika kamu memang mau mengikuti ulangan," ucap Pak Joko yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Adara. Gadis itu ingin segera pergi dari ruangan terkutuk ini.

"Permisi, Pak. Saya keluar dulu."

Adara keluar dari ruangan Pak Joko dan memutuskan untuk mencari tempat sepi, ia ingin melampiaskan semua kekesalan hatinya. Sebab, air matanya sudah tidak dapat terbendung lagi.

Adara berlari kecil menuju ruang musik, tempat dimana ia selalu merasa tenang. Tempat di mana jiwanya berada, tempat ternyaman setelah kamarnya. Ia melangkah masuk menuju ke dalam dan menutup pintu. Menyandarkan tubuhnya ke belakang pintu, Adara meluruhkan badannya ke lantai dan terisak.

Adara menangis, melampiaskan semua yang dirasa melalui air mata. Sesaat, ia mulai sedikit tenang. Mengusap matanya pelan, ia berjalan menuju piano yang tersedia di pojok kanan ruangan.

𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang