"Jangan dengerin, kita itu harus benar di mata agama dan negara. Bukan, di mata tetangga."
***
Rama dan Faya.
Dalam kehidupan sosial, kehadiran tetangga memang menjadi hal yang tak bisa terpisahkan. Apa yang kita lakukan, kerap menjadi bahan perbincangan mereka.Perbincangan yang mereka obrolkan, kerap membuat kita sakit hati. Atau bahkan, membenci. Adara juga manusia seperti yang lainnya, ia pun bisa merasa sakit hati dan juga membenci. Namun ... apa yang diperbincangkan tetangga kerap kali benar, walau banyak salahnya.
"Kemarin nih, Bu. Masa, si Rama pulang malem banget."
"Baru tau, Bu? Rama sering mabuk malah."
"Ya Allah ... kok kelakuannya sudah punya anak seperti itu, ya?"
Ibu tersebut menggeleng pelan. "Kalo besok mabuk lagi, panggil aja warga, biar dia digebukin!" ucapnya dengan nada yang berapi-api.
"Benar," timpal ibu di sebelahnya. "Jangan sampai mempermalukan desa."
"Mana saya liat, dia enggak pernah kerja."
"Sudah tua saja nakal ya, Bu."
Ibu tersbut menganggukan kepalanya. "Betul!"
Adara hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia sedang berjalan di belakang ibu-ibu yang memang satu desa dengannya. Papanya sudah se-terkenal itu, Adara merasa sangat malu. Ibu-ibu tersebut, tidak menyadari bahwa mereka sedang membicarakan Ayah seorang anak yang sedang berjalan di belakang mereka.
Adara memilih berhenti di depan gang dan berjalan, ia tidak ingin merepotkan kaka kelasnya. Namun, pilihannya salah. Ia malah mendengar obrolan tetangga yang sedang membicarakan papanya.
Mengusap air mata yang telah jatuh membasahi pipinya, Adara mengeratkan pegangan tangan pada tasnya, dan menguatkan hatinya untuk melanjutkan perjalanan ke rumah.
Membuka pintu dengan perlahan, ia mulai melangkah memasuki rumah dengan berjalan pelan. Sepi yang Adara rasakan, dingin, bahkan perasaan tak nyaman. Entahlah, runahnya memang tak sehangat dahulu, semuanya telah berubah. Atau mungkin ... rumahnya memang tidak pernah menghangat, hanya ada keributan di dalamnya.
Menghentikan langkahnya, Adara mendengar suara adiknya yang sedang menangis. Tangisan adiknya berasal dari kamar kedua orang tuanya, Adara pun menuju kamar orang tuanya.
"Ibu!" Pekiknya.
"Ibu kenapa?" Adara memegang dahi ibunya. "Ssstt ... panas," desis Adara.
Bulir air mata kembali mengalir di pipi tirusnya, hatinya tak berdaya melihat ibunya terbaring lemah di ranjang. "Ib-bu ... sakit. Adara bakal cariin ibu obat, ibu tunggu sebentar, ya. Adara mau ganti baju."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃}
Teen FictionBroken Home tidak harus selalu tentang perceraian, 'kan? Semua orang pasti menginginkan kehidupan nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Entah dari mana semua bermula, seorang ibu yang terus bersabar menghadapi cobaan yang...