66. ᴘᴜɴᴄᴀᴋ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʟɪᴋ

4.4K 473 78
                                    

"Beberapa anak dilahirkan di keluarga yang beruntung. Sisanya, diberi tulang dan hati yang kuat untuk menjalani hidup."

***

Senja di penghujung bulan memancarkan warna jingga terangnya. Warna yang semula terang, kini meredup. Tergantikan oleh malam yang kelam, Gelap, dan dingin. suasana yang semula hangat kini terasa mencekam.

Adara merenung di dalam kamar. Ia berbaring, menatap langit kamar sambil berpikir. Menghayati setiap detik yang dilalui. Menyayangkan setiap pikiran masa lalu yang datang menghantui.

"Huft ...." Adara menghela napas pelan sambil mengacak rambutnya kasar. "Freak! Semua aneh!" serunya.

Ia mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap. "Udah sebulan, kenapa sikap ibu gini terus? Kenapa ibu malah diemin Ara sama Adelio? Apa ... apa ibu cape ngurus anak?" Adara bertanya sendiri seperti orang yang tidak waras.

Bulir air mata jatuh membasahi sprei kasur. Adara menunduk, ia terisak meratapi nasibnya yang benar-benar tidak menguntungkan. Kasih sayang ibu yang semula menjadi kekuatannya, kini telah hilang. Adara merasa hilang harapan.

"Ibu ...," gumamnya. Ia membenamkan wajahnya di bantal sambil menggerakan kakinya memukul-mukul kasur.

Adara tak mau menerima fakta pahit tentang ketidakperdulian ibunya. Tapi, mau tak mau ia harus menerima. Walau ia tahu, luka tersebut tak terkirakan perihnya. Mencabik, hingga memporak-porandakan suasana hati Adara.

Dunianya menjadi hancur, dirinya menjadi rapuh, perasaanya semakin melemah. Semua harapan yang berusaha ia pertahankan, kini telah pupus.

"OUH ... JADI KAMU MAU AKU PERGI DARI RUMAH, HA?!"

Adara tersentak dari lamunanya. Suaranya teriakan ibunya terdengar keras, menggema dalam setiap sudut rumah. Nadanya menyiratkan kemarahan yang luar biasa.

Menghapus air matanya kasar, Adara lalu bangkit dari tidurnya dan bergerak menuju tempat asal suara. Ia memelankan langkahnya saat jaraknya sudah semakin dekat.

"Ibu ...." Adara bergumam di balik tembok. Melihat ibu dan papanya saling menatap tajam satu sama lain.

Bulir air mata mengalir deras, Adara sudah tidak sanggup menahan isak tangisnya. Mereka kembali beradu argumen, saling menunjuk satu sama lain, saling menyalahkan satu sama lain.

Mata Adara terbelalak, ia melihat Adelio keluar dari kamar. Penampilannya terlihat sehabis bangun tidur. Adelio mengusap matanya, dan menguap. Ia lalu terdiam menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar.

"Makanya, kalo ada suami, baru pulang ... bikinin kopi! Bukan cuma diem sambil main HP!" seru Rama. Ia mengepalkan tangannya menatap Faya.

Kerutan di dahi Faya semakin terlihat. Napasnya memburu, wajahnya sudah memerah menahan amarah. "Aku bakal bikinin kamu minuman, kalo kamu sendiri mau kerja! Mau usaha buat keluarga! Tapi ini, tapi ini apa? Kamu cuma main nggak jelas pulang-pulang minta dilayani!"

"KAMU KALO NGOMONG DI JAGA! JANGAN BIKIN AKU TAMBAH MARAH, FAYA!" Rama berucap penuh penekanan.

Mata Faya berkaca-kaca, ia sudak tidak tahan akan kelakuan suaminya. Semakin hari suaminya semakin menjadi-jadi. Ia tak habis pikir akan jalan pikiran suaminya.

"Kamu tau, Mas? Aku udah cape sama kamu! Kamu enggak pernah ngertiin aku! Kamu selalu kasar sama aku. Aku ini juga butuh cinta dan kasih sayang suami. Status aku itu istri kamu, Mas!" Bulir bening air mata mengalir. Faya terisak, ia menangis dengan hebat.

Adara memalingkan wajahnya ketika melihat ibunya menangis. Isakannya terdengar pilu dan menyayat hati Adara. Ia memegangi dadanya yang seketika sesak. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi apa?

𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang