"Bencilah kelakuannya, bukan orangnya."
***
Hari yang paling Adara benci, akan tiba esok. Hari di mana ... orang tuanya selalu tidak bisa meluangkan waktu. Sepertinya bukan hanya besok, namun setiap Adara butuh, orang tuanya memang selalu tidak ada waktu.
Adara menghela napasnya pelan, ia meluruhkan bahunya ke bawah. Memijat pelan pelipisnya, ia merasa pening. Kapan dirinya bisa beristirahat? Selalu saja ada pikiran berat yang menghantuinya.
Tanpa salam, ia membuka pintu rumahnya. Ia baru saja pulang sekolah, tubuhnya terasa sangat lelah. Melangkah pelan menuju kamar, ia berniat untuk segera membersihkan badannya dengan cara mandi agar badannya lebih terasa fresh.
Setelah mandi, Adara memakai baju santai. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk. Saat dirasa sedikit kering, ia sisir rambutnya dengan pelan. Menatap pantulan dirinya di depan cermin, Adara tertawa pelan sembari menyisir.
Ia menertawakan hidup, hidup yang selalu tidak adil dan tidak berpihak padanya. Tanpa Adara sadari, setetes air mata jatuh membasahi pipi tirusnya. Adara mengulum bibir dan menghapus air matanya dengan pelan. Ia lalu menghela napas agar hatinya sedikit tenang.
"Apa aku harus bilang sama ibu? Atau ... kedua orang tuaku?" gumam Adara. Ia merasa bingung harus mengatakan apa dan kepada siapa.
Menutup matanya, pikiran Adara berkelana. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk ke kamar ibunya. Berjalan dengan hati yang berdebar-debar, Adara mengigit bibir bawahnya. Ia merasa takut, cemas, dan gelisah. Dalam lubuk hati yang terdalam, ia sebenarnya enggan untuk menambah beban pikiran orang tuanya. Namun apa daya? Ini memang harus di bicarakan.
"Ib-bu ...." Suara Adara perlahan mengecil ketika melihat ibunya sedang menunduk dan memijat pelipisnya.
Adara tersenyum kecil, ia lalu melangkahkan kaki ke dalam kamar. Terlihat ibunya yang sedang merasa kelelahan dan adiknya yang sedang bermain ponsel. Adelio sedang memainkan game kesukaanya. Yaitu, Subway Surf.
"Ibu ...."
Faya menghentikan aktifitasnya, ia lalu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Ia tersenyum lembut, lalu memerintah Adara untuk mendekat dengan gerakan tangan.
"Kenapa, Sayang?"
"Ibu cape, kan? Ara pijitin, ya."
Faya mengangguk dan tersenyum manis. "Boleh."
Adara mendekat ke arah ranjang, ia lalu duduk di belakang ibunya. Adara menyentuh pundak ibunya dengan perlahan, ada getaran saat ia menyentuh bahu ibunya yang sudah menua setiap harinya.
"Kamu pulang sekolah, kok, nggak ngucap salam?"
"Adara kira ... di rumah enggak ada orang," jawab Adara.
Faya mengangguk pelan. Ia lalu memejamkan matanya menikmati pijitan Adara. Tubuhnya memang sedang pegal-pegal, beruntung ... putrinya sungguh pengertian. Ia sudah lelah, hampir seharian ini bekerja tiada henti.
"Ibu ... ada nggak? Kerjaan buat anak SMA?"
Faya membuka pelan matanya. Ia terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Dan tidak mengerti, mengapa anaknya bertanya hal seperti ini?
"Kenapa? Cerita sama Ibu, kenapa kamu tanya hal yang beginian."
Adara mengigit bibir bawahnya. "Ara cuma tanya, kok." Ada nada gugup di kalimat yang Adara ucapkan.
Faya berbalik badan, ia menatap Adara dengan lekat. "Bilang sama Ibu, kamu ada masalah apa di sekolah? Kenapa tanya kerjaan?"
"Enggak ada kok, Bu." Adara menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃}
Fiksi RemajaBroken Home tidak harus selalu tentang perceraian, 'kan? Semua orang pasti menginginkan kehidupan nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Entah dari mana semua bermula, seorang ibu yang terus bersabar menghadapi cobaan yang...