"Rasanya sedih, namun hampa. Seperti mati rasa, karena terlalu biasa dibuat patah."
***
Angin berhempus pelan, Adara memejamkan matanya menikmati kesunyian di keramaian. Terasa penuh, sesak, namun hatinya merasa hampa. Kelopak matanya terbuka, ia menatap kerumunan dengan pandangan kosong.
Waktunya selama satu jam terbuang sia-sia. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang. Dirinya yang membuat janji, namun orang tersebut yang tak menepatinya. Duduk di kursi taman sendiri, dan dilihat oleh beberapa orang yang melintas, membuat Adara kerap malu, karena terlihat menyedihkan dengan duduk sendirian.
Adara menundukkan kepalanya, netranya menatap sendu ke bawah, namun penuh amarah. Menggertakan giginya, napasnya memburu. Adara semakin menguatkan kepalan tangannya, dadanya bergemuruh. Ia ingin marah dan melampiaskannya, namun pada siapa?
Sinar matahari yang terik, membuat hati Adara semakin memanas. Pertahananya runtuh, ia sudah tidak tahan lagi menunggu. Adara sudah mengorbankan waktunya hanya dengan menunggu angin lalu, membuatnya dilanda amarah.
"Ck, kesel banget gue ...!" Adara bergumam, namun setiap kata yang ia gumamkan penuh penekanan.
Ia merasa marah, kesal, dan sedih. Harusnya saat ini ia sedang berada di kursi penonton, duduk dengan tenang sambil melihat sahabatnya bermain basket. Namun, ia memilih pilihan yang salah.
Bayang raut wajah Geovano yang sedang bersedih melintas di pikirannya. Ia menyesal, sangat menyesal. Adara menyenderkan tubuh lemasnya, ia mengacak rambutnya dengan kesar.
"Masih ada waktu," ucap Adara melihat jam yang bertengger manis di lengannya.
Berjalan dengan terburu-buru, Adara berniat menuju SMA Nusa Bakti, tempat di mana pertandingan dilaksanakan. Ia berhenti di sebuah halte, ia memutuskan untuk menunggu bus. Adara mondar-mandir di tempatnya, bus yang ia tunggu tak kunjung datang membuat hatinya resah.
Ia memutuskan untuk berlari, walau tempat yang ia tuju tentu jauh. Butuh waktu yang lama untuk sampai ke tempat tersebut. Adara berlari pelan di trotoar, menyusuri jalan raya yang di penuhi kendaraan berlalu-lalang.
Ia kembali melihat jam tangannya, sudah pukul 11.35, sebentar lagi pertandingan akan selesai. Adara berhenti di tengah jalan, napasnya memburu, ia sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Setelah satu menit berhenti, Adara memutuskan untuk kembali berjalan pelan sambil mengusap peluh di dahinya.
Dua puluh menit berlalu, Adara tersenyum senang saat atap sekolah sudah terlihat. 500 meter lagi, ia akan sampai. Ia kembali memacu kecepatan berlarinya, namun, Adara terjatuh. Terlalu bersemangat berlari, membuat ia tidak menyadari sebush batu kecil yang berada di tengah trotoar.
Adara terduduk di trotoar, ia meniup pelan luka yang berada di lututnya. "Shh ... perih."
Langit yang cerah, kini tertutup awan hitam. Langit yang mendung, seolah mengerti sedih yang Adara rasakan. Air matanya menetes, entah mengapa ia ingin menumpahkan air matanya. Adara menangis, ia terisak di pinggir trotoar sambil memeluk lututnya sendiri.
"Geo ... Ara jatuh," rancau Adara.
Di lain sisi, pertandingan bola basket semakin memanas. Kedua kubu tidak ingin mengalah, mereka terobsesi untuk menjebol ring lawan satu sama lain.
"Vano! Fokus, dong!"
Geovano terkena teguran oleh pelatih, jika ia tadi tidak melamun, pasti basket yang ia pegang tidak diambil oleh lawan. Entah mengapa, hatinya menjadi resah, ia merasa ada seseorang yang memanggil namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃}
Novela JuvenilBroken Home tidak harus selalu tentang perceraian, 'kan? Semua orang pasti menginginkan kehidupan nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Entah dari mana semua bermula, seorang ibu yang terus bersabar menghadapi cobaan yang...