14. ᴛᴇʟᴀᴛ ʙᴇʀꜱᴀᴍᴀ

7K 767 70
                                    

"Jauh di dalam lubuk hati kita tahu hal yang diketahui semua terapis, masalah kedua orang tua akan menjadi masalah anak juga."

-RogerGould

***

Pagi yang indah telah kembali, menghempas mimpi meraih bergantinya hari. Adara membuka mata ketika sinar mentari menyoroti tubuhnya, ia menguap pelan dan memandang kosong langit kamar. Merasa nyawanya sudah terkumpul, Adara langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk menjalankan ritual pagi.

Setelah memakai seragam sekolah, Adara melihat pantulan dirinya di depan cermin. Adara memutar tubuhnya dan bergaya layaknya seorang model ternama.

"Gue nggak jelek, kok! Manis gini." Adara masih memandang dirinya di cermin.

Adara menyudahi aksi bercerminnya dan mengambil uang hasil menjual laptopnya semalam, ia memandang nanar uang tersebut sambil tersenyum kecut. Tak ingin berlarut meratapi nasib laptopnya, Adara memasukan uang tersebut ke dalam tas.

Adara tersentak kaget saat berhadapan dengan ibunya di pintu kamar, ia mengelus dadanya pelan agar lebih rileks.

"Eh, kamu udah mau berangkat, ya?"

"Hmm ... iya."

Faya menatap putrinya dengan tatapan terluka, ia berpikir Adara masih kecewa akan kejadian semalam. Adara yang melihat raut wajah ibunya berubah, menjadi tak enak hati. Adara sadar di sini ibunya juga merasa kecewa, sebagai anak seharusnya ia tidak menambah beban orang yang telah melahirkannya.

Adara memejamkan mata dan menghela napas pelan. Ia memegang telapak tangan ibunya dan berniat pamit untuk berangkat sekolah. "Aku mau berangkat, Bu."

"Eh, tunggu! Terus masalah bayarnya gimana?" tanya Faya dengan nada lesu.

Adara menghela napas lalu tersenyum kecil. "Emm ... itu ... aku udah jual laptop hadiah dari papa dulu," jawab Adara.

Faya menatap sendu anaknya, ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Adara tak kuasa melihat ibunya merasa bersedih, ia lalu memeluk ibunya. "Ibu tenang aja, yang penting hari ini aku bisa bayar. Ya ... walau cuma sebagian."

Faya mendekap Adara tak kalah erat. "Maafin papa sama Ibu, ya."

"Nggak ada yang perlu dimaafin. Mungkin ini rencana Tuhan agar kita bisa lebih tabah melewati masalah keluarga. Apapun yang terjadi tetap utuhin rumah tangga, ya, Bu." Adara semakin memeluk erat ibunya.

Faya tidak kuasa menahan air matanya, ia sangat bangga melihat anaknya tumbuh dewasa dan berpikir positif. Kini, Faya menangis tanpa suara. Namun hanya sebentar, sebab ia tidak ingin Adara melihatnya meneteskan air mata.

Adara melepas pelukannya. "Ara emang pernah mikir buat Ibu sama papa untuk cerai aja. Tapi setelah Adara berpikir lagi, cerai juga bukan cara efektif buat nyelesain masalah."

Faya tersenyum hangat dan mengusap rambut Adara dengan penuh kasih sayang. "Makasih udah ngertiin keadaan keluarga. Kamu yang tabah, ya."

"Harusnya Ara yang bilang ke Ibu, Ibu harus tahan sama kelakuan papa." Adara tertawa pelan ketika mengucapkan kalimat tersebut.

"Ara pamit, ya, Bu." Adara mencium tangan ibunya.

"Hati-hati, Sayang."

***

"Eh?"

Adara dan Leon berdesakan saat akan memasuki kelas, mereka saling bertatapan saat tangan mereka memegang gagang pintu secara bersamaan. Tak lama setelah itu, mereka berdua tersentak saat mendengar suara perempuan berteriak.

𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang