6. ᴍᴀꜱᴀʟᴀʜ ᴇᴋᴏɴᴏᴍɪ

11.3K 1.1K 192
                                    

"Disaat orang lain menangis karena kisah cinta dengan pasangannya. Saya selalu menangis tentang kisah cinta keluarga saya."

***

Gelap yang kelam telah tiba dengan sendirinya, kibasan angin malam menusuk menampar kesunyian. Adara menatap kosong bangunan yang menjulang di hadapannya, ia masih berdiam diri di depan pintu rumahnya.

Membuka pintu rumah, hawa dingin meresap memasuki jiwa Adara. Matanya menyisir melihat rumahnya seperti tak berpenghuni.

Tetesan air membasahi lantai, tetesan tersebut keluar dari baju Adara yang basah akibat terkena air hujan. Berjalan memasuki kamar, Adara berniat membersihkan badannya. Ia tak ingin sakit karena kedinginan.

Adara mengeringkan rambut hitam sepunggungnya dengan handuk, ia menengok ke arah jendela, ternyata hujan masih setia terjun bebas. Karena harus membicarakan hal penting dengan ibunya, setelah mengeringkan rambut Adara melangkahkan kakinya keluar kamar untuk mencari ibunya.

Adara melihat ibunya duduk disamping kasur dan menundukkan kepalanya. Merasa ada seseorang yang memperhatikannya, Faya menolehkan kepala ke arah pintu.

"Sudah pulang? Sini duduk disamping Ibu."

Adara duduk disamping ibunya. Baru saja dirinya akan berbicara masalah biaya sekolah, ibunya terlebih dahulu mengatakan sesuatu yang membuat Adara terdiam seketika.

"Ibu bingung ... besok kita mau makan pake apa, ya? Uang tabungan kita udah mau habis. Kamu tau, 'kan? Semenjak papamu udah di PHK, dia jarang kasih nafkah keluarga," ucap Faya sambil menatap putri sulungnya.

Papa Adara memang di PHK oleh tempat perusahaannya bekerja lantaran perusahaannya bangkrut, sehingga harus mengurangi pegawainya. Semenjak itulah papanya sering pergi dan kerap pulang pada saat tengah malam. Papanya juga sering mabuk-mabukan bersama teman-temannya.

Melihat mata ibunya yang hampir berkaca-kaca, Adara sungguh tak tega. Adara merasa ibunya pasti sangat kecewa terhadap papanya.

"Kamu ... sepertinya mau bilang sesuatu tadi?"

Adara menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Enggak jadi, Bu."

Adara mengurungkan niat untuk mengatakan masalah biaya sekolahnya. Sebenarnya dirinya juga takut menghadapi Pak Joko nantinya, Adara takut disuruh melunasi keuangan sekolah sedangkan ia belum diberi uang oleh orang tuanya.

"Adara ke kamar dulu, ya, Bu."

"Ya sudah, kamu istirahat sana."

Mereka saling berpelukan sebentar untuk melepas semua beban yang dirasakan, membuang semua kekecewaan yang mereka rasakan dan berusaha merajut kembali sisa-sisa harap yang tersangkut pekatnya malam.

Adara kembali ke kamar, dirinya berjalan ke arah meja belajarnya. Ia mengambil buku dan pena yang tersimpan apik di dalam laci.

Hujan menabur di kesunyian malam, jemari yang getar menari mengotori lembaran kertas kosong nan putih. Menuliskan semua rasa yang sudah lama terpedam menjadi rangkaian kata-kata yang menyakitkan.

Tetesan air mata membasahi lembaran kertas, Adara meluapkan semua emosinya ke dalam sebuah tulisan. Ditemani jarum jam yang berdetak manandakan waktu terus berjalan.

Lagi dan lagi dirinya harus mencari alasan kepada Pak Joko agar tidak menagihnya. Adara hanya takut Pak Joko menagih di depan teman-temanya, ia akan sangat malu nantinya. Saat dirinya tengah menangis, suara ibunya yang menggema mengalihkan perhatiannya.

"YA AMPUN, MAS! Kamu kenapa?!"

"Jadi, Anda istrinya?" tanya seorang lelaki yang berperawakan tinggi, yaitu Ujang.

𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang