"Terima kasih Tuhan, kau telah memberikan hadiah yang luar biasa. Mereka yang ku sebut sebagai keluarga."
***
Aku tersenyum menatap pantulan diriku di depan cermin besar. Hatiku menghangat melihat senyuman ibu di depan kaca. Ibu sedang di belakangku, menata rambutku dengan rapih.
"Kebayanya bagus, 'kan, Sayang?" Suara lembut ibu menyapa pendengaranku.
Aku tersenyum, kebaya yang ku pakai memang sangat cantik. Kebaya dengan perpaduan warna merah dan putih melekat di tubuhku. Ibu yang memilihkannya langsung untukku.
"Ibu ...," ucapku. Aku melihat ibu meneteskan air mata. Dan itu membuat diriku sangat bingung.
"Ibu enggak papa, kok. Ibu cuma seneng, kamu udah lulus SMA." Ibu mencium dahiku dengan penuh kasih sayang.
Ibu menuntunku untuk berdiri, ia tersenyum lalu membawaku untuk keluar dari kamar. Aku dan ibu berjalan menuju pintu rumah, kami akan menuju ke sekolah. Dimana aku akan melaksanakan perpisahan sekolah.
Begitu keluar dari rumah, aku sudah di sambut dengan mobil berwarna hitam milik papa. Kerja keras papa membuahkan hasil. Papa bisa membeli rumah baru, mobil dan dua sepeda motor.
Papa membukakan pintu mobil untukku dan ibu. Aku segera masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, sudah ada Adelio yang sedang memakan permen sambil bermain game.
Adelio terlihat sangat tampan dengan kemeja putih dan celana jeans hitam. Di usianya yang sudah berumur delapan tahun, ia sudah semakin pintar untuk memilih pakaian dan tampil keren.
"Lio ...," panggilku.
Mata Adelio berbinar melihatku. "Wih ... Kaka jelek banget!" Seperti biasa, dia memang tidak akan pernah berhenti meledekku.
Aku menggerutu di dalam hati, berusaha tidak menjewer telinga adikku. Adelio memang semakin mengesalkan.
"Kita berangkat, ya." Papa mulai menyalakan mobil dan mengendarainya.
Kami menempuh perjalanan kurang lebih selama 15 menit. Jarak sekolahku dengan rumah memang tidak terlalu jauh. Papa lalu memarkirkan mobilnya di tempat parkir.
Aku dan keluargaku berjalan menuju ke dalam sekolah. Di lapangan tengah sudah di sediakan panggung yang sangat besar. Kursi-kursi untuk para wali murid juga sudah di tata serapih mungkin.
"Ibu, Papa ... Ara ke teman-teman dulu, ya."
Papa menepuk puncak kepalaku pelan. "Ya sudah, kamu harus senyum terus nanti!"
Aku menampilkan cengiran khasku di depan papa lalu setelah itu aku berjalan menuju tempat di mana teman-temanku berkumpul. Aku tersenyum saat melihat Lyly Dan Aileen, mereka terlihat cantik memakai kebaya.
"Chaca!" Aku merasakan bahuku ditepuk oleh seseorang.
Aku berbalik, ternyata Geovano yang memanggilku. "Hai." Aku menyapanya.
Geovano terlihat sangat tampan memakai jas hitam. Aku mengerutkan dahi ketika Geovano maju dua langkah ke depan. "Kamu cantik," bisiknya.
Aku merasakan pipiku memanas. Aku yakin, pasti saat ini pipiku sedang memerah. Aku mencubit bahu Geovano dengan gemas.
"Aduh!" pekiknya. "Sakit tau, Cha." Geovano mengusap bahunya.
Aku memutar bola mata dengan malas. "Dramatis banget!" cibirku.
Suara microphone terdengar, membuat aku dan teman-teman segera duduk di kursi yang telah disediakan. Geovano duduk di sebelahku, ia sengaja menoel dagu untuk menggodaku.
"Nggak usah mulai," peringatku. Aku menatapnya dengan tajam.
"Karena aku sudah memulai, maka aku akan melaksanakannya sampai akhir hayat." Geovano tersenyum manis lalu menatap ke depan panggung.
"Sial. Malah ngegombal," batinku.
Acara perpisahan dimulai dengan salam dan sambutan-sambutan, setelah itu acara inti. Satu-persatu murid maju ke depan untuk mendapatkan kenang-kenangan berupa mendali. Lalu acara setelahnya adalah penampilan-penampilan menyanyi.
"Cha! Foto, yuk!"
Geovano memanggil Tante Nina lalu meminta ibunya untuk menjadi seorang photographer dadakan. Geovano merangkul pundakku sembari tersenyum saat pandangan kita beradu.
"Satu ... dua ... tiga!" Terdengar suara kamera berbunyi.
Tante Nina menyerahkan ponsel Geovano kepadaku. Aku melihat foto tersebut dengan binar mata bahagia. Terlihat pose Geovano yang sedang merangkul sambil menatapku.
Aku memandang pria yang aku sukai, ia terlihat sangat tampan dan manis di saat yang bersamaan. Aku tersentak saat jemari Geovano menggenggam tanganku.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Aku menggeleng. "Aku hanya tidak menyangka. Ternyata ... kita sudah bersama 12 tahun lamanya. Kamu dan aku, sudah melewati waktu yang begitu lama."
Geovano membelai pipiku. "Bukan hanya 12 tahun, Cha. Tapi selamanya."
Aku tersentuh mendengar ucapanya. Aku berharap ucapan Geovano akan terbukti nantinya. Geovano yang selalu ada untukku sedari kecil bahkan ketika masa-masa terpurukku.
Geovano memajukan tubuhnya kedekatku. "Love you," bisiknya di telingaku.
Aku bisa merasakan deru napasnya yang hangat membelai leherku. Aroma tubuhnya juga sudah menjadi canduku. Semua yang ada pada Geovano, aku sangat menyukainya.
"I love you more." Aku menjawab pernyataan cintanya.
Kami saling berpandangan, saling menyalurkan kekuatan cinta melalui tatapan mata. Geovano merapihkan anak rambutku ke belakang telinga, ia lalu mengelus rambutku perlahan.
Aku memejamkan mata menikmati usapannya yang lembut. Hatiku berdebar dengan sangat kencang. Aku menginginkan waktu berhenti saat ini juga, aku tidak ingin berpisah dari pria dihadapanku ini.
"Woy!" Suara teriakan Dion menganggu waktuku dengan Geovano.
Aku menatap tajam Dion, perasaanku sangat kesal karena Dion menganggu momen romantis yang sedang terjalin antara aku dengan Geovano. Aku mengerucutkan bibir sambil mengepalkan tangan.
Geovano membelai pipiku. "Jangan marah. Ayo kesana." Ia menggenggam tanganku dan membawaku ke tempat teman-temanku berada.
Dion memanggilku dan Geovano untuk sesi foto kelas. Aku tersenyum saat kemera mengarah. Setelah sesi foto, aku berjalan menuju kedua orang tuaku berada.
"Papa, Ibu."
Papa dan ibu yang tadinya sedang mengobrol menatap ke arahku. Ibu berdiri dari duduknya dan memelukku, aku bisa merasakan kehangatan ibu melalui pelukan. Ibu meneteskan air mata dan mencium keningku lembut.
Aku menghambur ke pelukan papa saat papa merentangkan tangannya. Aku memejamkan mata, mencoba menikmati momen istimewa ini. Aku mengeratkan pelukan, air mataku yang sedari tadi ku tahan akhirnya menetes.
Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang sedang aku rasakan, rasanya sangat senang papa dan ibu datang di hari kelulusanku.
"Kaka." Adelio menyodorkan sebuket bunga padaku.
Aku menerimanya dengan senang hati. Aku berjongkok lalu mencium pipi adikku sembari mengacak-acak rambutnya dengan kasar, hingga membuat Adelio mengerucutkan bibirnya.
"Sayang. Ayo kita foto bareng," ucap ibu.
Aku berdiri di tengah-tengah ibu dan papa sedangkan Adelio berada di depanku. Aku tersenyum saat papa dan ibu memelukku, photographer tersebut lalu memotret kami.
"Ini akan menjadi foto pertama keluarga kami," batinku.
Foto terakhir adalah papa dan ibu mencium pipiku. Aku meneteskan air mata, hatiku sangat senang. Hal yang aku damba-dambakan akhirnya tercapai.
"I love you, Mom. I love you, Dad."
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃}
Fiksi RemajaBroken Home tidak harus selalu tentang perceraian, 'kan? Semua orang pasti menginginkan kehidupan nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Entah dari mana semua bermula, seorang ibu yang terus bersabar menghadapi cobaan yang...