"Aku benci hati ini. Sudah kesekian kali disakiti, namun tak bosan jatuh cinta kembali."
***
Pagi yang muram, mentari menyapa dengan hangat, sepeninggal malam yang sunyi berlalu pergi. Sehelai daun melayang, gugur, jatuh di atas tanah. Sepasang burung berkicau, suaranya yang indah menenangkan hati, menyambut pagi yang cerah nan benderang.
Geovano menjalankan sepeda motornya ke arah rumah Adara. Ia bertekad, ingin menjaga Adara dari apapun. Ia rela menjemput dan mengantar Adara pulang, demi memastikan keselamatannya.
Melangkah santai menuju pintu rumah, ia berjalan sambil sesekali bersiul ringan. Ia membenarkan tatanan rambutnya dan tersenyum simpul. Saat hendak mengetok pintu, Geovano mendengar suara ricuh dari dalam rumah.
Karena kalut akan kondisi Adara, Geovano menggedor pintu sedikit keras. Tak lama, muncul sosok perempuan baya yang matanya sedikit membengkak. Menggertakan giginya, Geovano mengatur deru napasnya yang memburu.
"Adara mana, Bu?"
Faya menundukkan kepalanya, ia kembali meneteskan air mata. Bahunya bergetar, hatinya terasa sakit, pikirannya kacau. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Menghela napas panjang, Faya menghembuskannya perlahan. Ia lalu menghapus air matanya dengan perlahan.
"Ara sudah berangkat." Faya menjawab pelan, lebih tepatnya seperti bisikan.
"Kapan?"
"Tadi, pagi-pagi sekali. Ia berangkat bersama Adelio," jawab Faya seraya menundukkan kepalanya, ia menatap kosong ke bawah.
Geovano berdecak pelan, ia mengacak sedikit rambutnya. Ia sangat mengkhawatirkan gadis yang ia cintai. Melihat kondisi Faya, Geovano yakin, pasti terjadi pertengkaran yang hebat.
"Bu, Geovano mau berangkat sekolah dulu. Vano pamit, ya."
Setelah mencium tangan Faya, Geovano menaikki motor dan melajukan kendaraanya dengan cepat. Ia ingin segera sampai di sekolahnya. Hatinya tak tenang, ia merasa ... Adara pasti sangat terpuruk saat ini.
Berjalan dengan pandangan kosong ke depan. Adara melangkah dengan separuh raga yang tak lagi utuh. Hatinya hancur, remuk, menyisakan keping kekecewaan. Melangkah dengan lambat, Adara merasa beribu ton benda berat menimpa tubuhnya, ia merasa berat untuk berjalan ke depan.
Rasa lelah yang dideritanya, pelan-pelan menggerogotinya. Depresi yang ia rasakan selama ini, membuatnya nyaris gila direnggut derita. Nelangsa, berurai air mata.
"Kamu mau kemana, Ci?"
Menyilangkan tangannya, Cici bersedekap dada. "Aku tu aslinya enggak mau jadi ketua osis. Kaka, sih ... malah nyalonin aku jadi ketua."
Naufal menggeleng pelan akan kelakuan gadis dihadapannya. "Kamu yakin ngga mau? Ini organisasi yang berguna buat masa depan kamu, loh. Sekalian kamu bersosialisasi."
"Udah, lah, males." Cici berbalik badan dan berhendak pergi meninggalkan Naufal.
Memegang erat tangan Cici, Naufal menarik tubuh Cici jatuh kepelukannya. Saat Cici hendak protes, Naufal terlebih dahulu membekab mulutnya.
"Diem makanya. Tuh liat, kalau kamu tadi enggak aku tarik ... pasti kamu udah nabrak dia."
Cici mengikuti arah pandang kaka kelasnya ini, ia melihat Adara yang sedang melangkah mendekat. Namun, lebih tepatnya berjalan sambil melamun. Arah koridor ini memang arah menuju kelas Adara, dan ruang osis hanya berjarak beberapa ratus meter dari kelasnya.
Naufal dan Cici terdiam saat Adara hanya melewati mereka. Yang dipikirkan Adara sekarang adalah keluargannya. Masalah yang ia alami tadi pagi, membuat dirinya menjadi seperti saat ini. Ia ingin menangis, tapi air matanya sudah bosan untuk turun berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐇𝐨𝐦𝐞? {𝐄𝐍𝐃}
Roman pour AdolescentsBroken Home tidak harus selalu tentang perceraian, 'kan? Semua orang pasti menginginkan kehidupan nyaman, harmonis, dan juga mendapat kasih sayang dari orang tua. Entah dari mana semua bermula, seorang ibu yang terus bersabar menghadapi cobaan yang...