Hari ini cuaca terlihat cerah. Di atas sana, matahari bersinar dengan terang. Langit berwarna biru sejauh mata memandang, bertemankan gumpalan awan putih yang nampak bagaikan kapas. Bisa dipastikan sepanjang hari ini tidak akan turun hujan.
Angin bertiup dengan lembut, memainkan poni milik Lalice. Gadis itu mendengus samar, tangan kanannya segera bergerak untuk merapikan kembali poni tersebut. Sedangkan kedua kaki jenjangnya terus melangkah disepanjang trotoar bersama Minnie.
Hari Minggu ini mereka berdua tidak kuliah, jadwal libur. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang sering mereka kunjungi sejak satu tahun yang lalu. Tidak setiap hari, hanya diakhir pekan. Itupun jika mereka tidak disibukkan oleh tugas kuliah yang menumpuk.
Minnie yang berjalan disamping Lalice bersenandung dengan riang. Kedua tangannya masing-masing membawa satu kantong plastik besar yang berisikan aneka cokelat dan permen. Pemberian Minnie untuk kunjungan kali ini. Kunjungan sebelumnya Minnie membawa banyak alat-alat tulis.
Lalice melirik Minnie setelah selesai merapikan poninya, lalu tersenyum tipis menatap sahabatnya itu. Setiap pergi melakukan kunjungan Lalice selalu terkagum akan sifat baik sahabatnya itu. Padahal Minnie bisa saja menggunakan uang itu untuk keperluannya, dibandingkan hal yang dia lakukan saat ini.
Tetapi Minnie tetap melakukannya meski Lalice telah melarangnya, karena merasa tidak enak. Setiap kunjungan hanya Minnie yang terus membawakan sesuatu, sedangkan Lalice hanya membawa tangan kosong. Padahal dialah yang paling mengenal tempat yang akan mereka kunjungi tersebut.
"Aku tidak merasa terbebani sedikit pun, Lalice-ya." Ucap Minnie ketika kunjungan mereka beberapa bulan yang lalu. Tersenyum tulus ke arah Lalice. "Nan gwaenchana."
"Lagipula aku merasa sangat senang ketika berbagi kebahagiaan dengan sesama. Senyuman mereka sangat berarti bagiku." Sambung Minnie sambil memeriksa kembali buku cerita yang akan dia bawa.
Ketika itu Lalice tertegun saat mendengar jawaban dari Minnie. Tapi tidak lama setelah itu dia tersenyum. Menatap sahabatnya tersebut dengan tatapan penuh penghargaan.
"Aish... appo!!" Lalice berseru kesakitan ketika Minnie menarik pipinya dengan kuat. Membuat lamunannya tadi buyar seketika.
"Padahal kau tidak sendirian lagi, tapi kenapa masih bisa melamun?!" Ketus Minnie semakin menarik-narik pipi Lalice.
"Arasseo! Arasseo! Aku memang melamun, tetapi aku tidak--aish! YA! Lepaskan!"
"Tidak akan aku lepaskan sebelum kau berjanji untuk tidak melamun lagi, terutama jika sedang bersamaku!" Ancam Minnie semakin menguatkan cubitan jarinya pada pipi Lalice.
"Ne! Ne! Aku berjanji!!" Seru Lalice terpaksa sebelum pipinya berakhir tragis akibat cubitan Minnie.
Minnie tersenyum dengan puas, kemudian melepas cubitannya, dan beralih mengacak-acak poni Lalice dengan gemas. "Anak pintar~"
Setelah itu Minnie segera berlari menghindari amukan Lalice dengan memasuki sebuah gerbang bangunan yang besar dan luas. Bangunan itulah tempat yang sering mereka kunjungi.
"Ya! Minnie mouse!!" Teriak Lalice ikut berlari memasuki gerbang tersebut.
Diatas gerbang tersebut terpampang sebuah papan nama yang menjadi identitas bangunan tersebut.
'Panti Asuhan Song'
***
Sebuah mobil Hyundai Grandeur berwarna hitam terlihat memasuki perkarangan panti asuhan. Melaju dengan perlahan, lalu berhenti tepat di area parkir. Dari dalam mobil tersebut keluar seorang wanita cantik yang diketahui sang pemilik panti asuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory (DISCONTINUED)
FanfictionAkibat kecelakaan yang menimpanya pada masa lalu, membuat Lisa harus kehilangan semua ingatannya. Semua memori yang ada dikepalanya terhapus total. Tidak ada yang tersisa, walau hanya sedikit. Namun, pada suatu hari Lisa dihadapkan dengan rentetan k...