Mohon dipersilakan membaca dengan santai. Setiap geser bab, tinggalkan vote dan komen, ya! Minimal vote. Makasih, selamat membaca!
***
Nursam gelisah menunggu kedua orang tuanya tidur. Kedatangan Yono berkunjung dengan membawakan martabak telur, membuatnya kesal. Namun, kedua orang tuanya begitu antusias hingga tengah malam masih saja asyik mengobrol. Mereka tampak bahagia dengan calon menantunya itu. Walau Nursam belum memberikan pilihan tetapi kedua orang tuanya telah memutuskan menerima Yono saja, anak Pak Camat.
Setelah pukul 12 malam, akhirnya Yono pamit.
"Kita pinta jujuran berapa ya, Pak?" ujar Wati seraya membereskan meja tamu.
"Yang jelas jangan sampai kalah sama anak Haji Katar. Kalau perlu kita pemecah rekor jujuran termahal di kampung ini." Jujuran artinya mahar dalam bahasa Kalimantan setempat.
"Yo, berapa pak'e? Aku menurut saja soalnya di adatku ndak ada soal lamaran mesti mahal-mahal. Sing penting suka sama suka, ya, dinikahkan."
"Ya, setiap daerah adatnya pasti berbeda, Wat. Harga diri kami terletak dari jujuran," ujar Sadikin.
Sadikin sendiri adalah orang Banjar. Di mana jujuran atau mahar bila mahal dianggap sudah menjadi hal yang biasa. Apalagi jika tinggal di lingkungan yang notebennya saling ingin pamer seperti di Kampung Gandang.
"Bagaimana kalau 100 juta? Anak Si Haji Katar, kan, 65 juta?"
"Apa ndak kebanyakan, pak'e?"
"Yo, ndak to, Sudarno, kan, wong sugeh?"
"Jangan lupa pak'e kalau Sudarno itu sama kaya aku, wong Jowo. Lamaran terlalu mahal kami ndak terbiasa."
"Ya, kalau menolak, kita terima saja anak Pak Dewan, beres!"
Di balik kamar, Nursam mendengarkan obrolan Bapak dan ibunya. Bukannya ia peduli dengan pembahasan itu tapi justru ingin cepat usai.
Ia mondar-mondar di kamarnya, gelisah karena diburu rindu kepada Rukiman.
Tak lama kemudian, kedua orang tuanya telah meninggalkan ruang tamu.
Nursam membuka pintu kamarnya perlahan memastikan bahwa keadaan benar-benar aman. Dilihatnya kamar Bapak-ibunya yang berseberangan dengan kamarnya tampak hening begitu pun kamar adik-adiknya.
Nursam kembali keluar lewat jendela kamarnya dan lari ke hutan menuju gubuk Rukiman.
"Lama betul baru datang?" ujar Rukiman agak merajuk. Nursam mendekat dan membelai pundak lelaki itu.
"Maaf, Bang, soalnya tadi ada Mas Yono berkunjung dan lama sekali."
"Yono yang melamarmu itu? Anaknya pak camat?"
"Iya, Bang."
"Kau terima lamarannya?" Nursam menggeleng.
"Tampaknya Bapak dan Ibu mau menerimanya, Bang."
"Terus kamu mau?" Nursam menggeleng.
"Kalau kamu mau, ya, enggak papa Dik, Abang hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu." Lagipula sudah kuambil manisnya, batin Rukiman.
"Tidak, Bang, Nursam enggak mau. Nursam maunya sama Abang. Hidup dan mati."
"Mana mungkin kamu bisa denganku, kedua orang tuamu telah menolak lamaranku."
"Maka dari itu, ayo, kita kawin lari, Bang!" Wajah Nursam tampak memohon. Rukiman menekur.
"Bang, hanya tiga hari lagi, tiga hari lagi, Bang, aku harus menerima lamarannya. Aku enggak bisa, hatiku hanya untuk Abang." Nursam bercucuran air mata. Rukiman tersenyum bangga dalam tekurnya karena peletnya benar-benar membuat Nursam keranjingan.

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
Algemene fictie~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...