Kilau rembulan menerpa malam dan menyusup di sela-sela pentelasi jendela kamar.
Gelisah Nursam menunggui suaminya belum juga pulang yang pergi ke kota bersama Yudi-karyawan toko yang membantunya.
Suaminya pergi ke kota untuk mengambil stok beras dan bahan lainnya untuk toko mereka. Biasanya, Rukiman hanya membutuhkan waktu beberapa jam ke kota itu. Namun, kini sudah malam belum saja tampak batang hidungnya bahkan suara Pick Up-nya pun belum terdengar.
Sementara anaknya yang baru berusia 40 hari itu terus menangis sejak bakda magrib.
Malam begitu dingin menyesap seluruh tubuhnya, mengerutkan kulit dan sendi-sendi tulang. Dirangkulnya anaknya dalam dekapan. Hari telah jam sepuluh malam, lelah sudah ia menunggui suaminya.
Anaknya yang menangis ia susui, namun masih saja menangis. Dalam keadaan seperti itu ia hanya inginkan suaminya atau jika dekat mungkin bisa mengadu kepada ibunya. Namun, apalah daya. Rumah yang jauh bertetangga, tidak ada orang yang mudah membantunya.
"Cepatlah pulang, Bang!" batinnya. Ia terus menggendong anaknya yang menangis sembari melihat ke arah luar rumahnya.
Nursam teringat kepada adiknya Yansah dan Yandi yang dahulu terus menangis. Ia pun bergegas ke dapur menuju keran lalu ia basahi tangannya dan ia usapkan ke ubun-ubun anaknya. Digendongnya anaknya ke bahunya lalu ia tepuk-tepuk punggung anaknya. Tak lama kemudian, si anak berhenti menangis. Ia pun lega. Rupaya anaknya itu masuk angin.
Ia menuju kamarnya kembali, tiba-tiba ia dikejutkan dengan bayangan lewat seperti baru saja keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. Cepat ia memastikan siapakah orang yang baru saja lewat itu?
Nursam memeriksa sosok yang baru saja lewat. Ia berjalan menuju kamarnya, namun takada orang. Beberapa detik kemudian, ia merasa ada sesuatu di belakangnya. Sekejap ia menoleh ke belakang, kosong.
Tiba-tiba, terdengar suara mobil Pick Up miliknya. Ia bergegas ke depan. Anaknya sudah tidur di dalam kelambu bayi.
Ia berdiri di depan pintu menunggu suaminya keluar dari Pick Up itu, tetapi tak keluar-keluar. Penasaran, ia pun bergegas turun ke halaman rumah.
"Bang?" Panggilnya seraya mengetuk jendela Pick Up, namun takada balasan, lalu ia pun membuka jendela mobil itu ternyata takada siapa pun di dalam.
Tiba-tiba anaknya menangis. Nursam bergegas naik ke atas. Cepat berlari ke kamar. Setelah dibukanya pintu kamar, dilihatnya suaminya tengah menggendong anaknya. Ia pun tersenyum lega, ternyata suaminya lebih dulu tanggap menenangkan anaknya yang menangis.
"Kenapa pulangnya malam sekali, sih, Bang?" ujarnya sembari menutup pintu kamarnya.
"Bang, kupikir tadi Abang belum keluar dari mobil ternyata sudah. Oyah, Abang sudah makan belum?" Suaminya masih diam menggendong anaknya menghadap jendela kamar--posisi membelakanginya.
"Bang?" ujarnya menepuk pundak suaminya yang acuh saja.
"Bang?" ia menarik bahu suaminya agar menoleh padanya. Tiba-tiba dilihatnya wajah suaminya hitam bercampur darah begitu pun anaknya.
"Aaaaaaaaaaa!"
"Dik, Dik, hei, bangun!" suaminya menepuk kaki kanannya. Ia pun terperanjat.
"Bang?" ujarnya dengan wajah pias. Dilihatnya suaminya baik-baik saja.
"Anakku?" ia menoleh ke sana kemari mencari anaknya. Ternyata dalam gendongan suaminya. Lekas ia ambil anaknya.
"Aku mimpi buruk, Bang."
"Kau ini, tidur, sih, seperti orang mati. Makanya kalau tidur itu baca doa!"
"Abang tadi jam berapa pulang?"
"Lupa, pokoknya kamu dan Laila sudah pulas," ujar Rukiman sembari menggantung jaketnya yang ia letakkan di tepi ranjang. Sementara Nursam menyusui Laila.
Nursam menengok jam dinding kamarnya, sudah menunjukkan pukul tujuh. Ia bergegas menyiapkan sarapan ke dapur.
Setelah selesai memasak, ia memanggil suaminya untuk sarapan. Laila telah ditidurkan oleh suaminya. Mereka pun sarapan bersama-sama.
"Bang, aku kok ngerasa aneh, ya?" ujarnya sembari menelungkupkan sendok makannya.
"Aneh gimana, Dik?" Rukiman menyalakan rokoknya. Bagi perokok setelah makan lalu merokok adalah kenikmatan sempurna.
"Ya, aneh saja. Aku merasa rumah ini tidak cocok untuk kita, tampaknya ada aura buruk."
"Jangan suka berhalusinasi, Dik! Enggak baik."
Tanpa melanjutkan pembicaraan lebih lanjut, Rukiman beranjak untuk membuka kedai.
Nursam kembali ke kamar untuk memandikan anaknya dengan air hangat.
Dengan hati yang bahagia sembari menyanyi lirih, ia menuju kamar. Dibukanya kelambu anaknya dan tiba-tiba, ia terperanjat.
"Bang?!" ia berteriak. Rukiman pun yang baru saja hendak membuka kedai di halaman rumahnya kembali naik ke rumah.
"Ada apa, Dik?"
"Bang, kenapa anak kita? Badannya kok gini, penuh memar? ia juga tidak bergerak." Nursam ketakutan. Matanya berlinang air mata.
"Astaghfirullah." Cepat Rukiman memeriksa denyut jantungnya. ia geleng-geleng.
"Kenapa, Bang?" Nursam mengguncang tubuhsuaminya yang terkagok dengan keadaan itu.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
General Fiction~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...