Rukiman termenung duduk di kamarnya. Bukan karena memikirkan istri yang jauh darinya melainkan keindahan sosok aduhai di ruang dapurnya sana. Peluh mulai bercucuran, membasahi sekujur tubuh. Beberapa kali ia menyeka dahinya, menggosok-gosok telapak tangannya yang basah. Percikan-percikan cinta yang menyelimutinya semakin bergejolak. Api asmara telah membara. Siap membakar jiwanya.
Berselang waktu kemudian, terdengar Yati mengetuk pintu kamarnya. Rukiman terkejut bukan kepalang. Ia bingung harus bersikap seperti apa untuk menemui pembantunya itu. Perlahan beranjak membuka sedikit pintunya.
Berselang waktu kemudian, terdengar Yati mengetuk pintu.
"Tuan, sarapan sudah siap," ujar Yati. Rukiman memandangi wanita itu dari ujung kaki hingga kepala. Kembali terbayang olehnya apa yang ia lihat di kamar mandi tadi.
Kini di hadapannya hanyalah seorang pembantu dengan penampilan biasa dan berdaster saja.
"Tuan?" panggil Yati lagi, Rukiman pun terbuyar.
"Eh, iya, terima kasih."
Dengan senyum dan sopan Yati permisi kembali ke dapur. Mata Rukiman mulai detail memperhatikan gerak-geriknya. Dilihatnya langkah kaki pembantunya itu. Tampak tumit yang merah bagai darah keluar dari setiap pijakannya, pinggul berlenggok bagai gitar spanyol, kedua bokong bagai dua biji labu besar yang menempel sempurna.
Rukiman menggidikkan wajahnya untuk menyadarkan pikirannya yang melayang ke angkasa aneh.
Ia pun segera menuju dapur.
Yati terlihat menatakan piring untuknya. Dimasukkannya nasi dan lauk pauk ke piring majikannya. Nasi pecel kesukaan Rukiman.
Setelah selesai menatakan makanan, ia pun segera berlalu hendak membuka kedai, namun Rukiman menyanggahnya untuk sarapan bersama.
"Tidak, Tuan, terima kasih."
"Ayolah, sarapan dulu! Lagi pula saya tidak terbiasa makan tanpa ditemani."
"Tapi, Tuan, kedai..."
"Ah, sudahlah, kedai nanti saja diurus. Temani dulu saya sarapan!" Atas permintaan majikannya itu, ia pun menurut.
Di sela-sela makan, Rukiman melayangkan pertanyaan kepadanya.
"Mengapa tidak seperti kemarin malam?"
"Maaf, maksud Tuan?" ujarnya lembut dan penuh kehati-hatian.
"Berhias."
"Maaf, Tuan." Yati menunduk tak nyaman.
"Kenapa minta maaf. Justru sangat kusayangkan kecantikan seperti itu disembunyikan." Seketika itu Yati jadi tersipu. Pipinya merah merona.
"Tidak, Tuan. Kemarin malam saya hanya coba-coba."
"Jangan coba-coba saja, teruskan! Saya lebih suka dengan kamu yang seperti kemarin malam, " ujar Rukiman lalu minum menyudahi sarapannya. Sementara Yati masih memegang sendok makan. Cara makannya sungguh lamban.
"Tidak Tuan, sungguh tidak pantas saya melakukan itu saat bekerja. Saya hanya kuli di sini. Sejak pertama Nyonya sudah memberikan arahan supaya berias seadanya saja. Tidak perlu mempercantik diri. Sebenarnya saya mengerti maksud Nyonya, buat apa saya berias, toh saya juga kerja reweuh."
"Lalu, jika saya jadikan kamu Tuan di rumah ini, apa kamu baru merasa pantas?"
"M-m-maksud Tuan?"
Rukiman beranjak lalu menghampiri Yati yang duduk di seberangnya. Ia berdiri di belakang Yati. Tangannya memegang kedua pundak pembantunya yang berbodi bohai bak gitar spanyol itu. Rukiman mulai memberikan bisikan mautnya kepada Yati.
"Apa kau tidak mau berhias setiap hari, memakai pakaian-pakaian bagus lalu berkalung, cincin, dan bergelang emas?"
"Tuan?" ujarnya menoleh ke belakang. Dilepasnya sendok dan garpu di tangannya. Kini ia berhadapan dengan majikannya itu. Tiba-tiba Rukiman bersungkur di bawahnya. Kedua tangan Yati digenggam erat oleh Rukiman.
"Yati, oh Yati, jangan panggil aku Tuan, mulai sekarang panggil aku Abang!" Yati masih diam. Wajahnya tampak terkejut dengan pernyataan tuannya.
"A-a-abang?" ujarnya terbata lagi.
"Iya, Yati, Abang. Panggil aku Abang atau kalau mau panggil sayang, bebas!"
"Tapi kenapa, Tuan?" Rukiman pun menggenggam erat kedua tangannya lalu melayangkan kata mautnya.
"Yati, kalau boleh jujur, sebenarnya aku jatuh cinta padamu, entah sejak kapan? Yang pasti aku selalu memikirkanku. Yati kau tahu, kan, bahwa hati tidak bertanya siapa yang membuatnya jatuh cinta? Tapi dia akan selalu bertanya bagaimana caranya menunjukkan cintanya?" kata-kata itu melayang begitu lancar dari mulut Rukiman seolah sudah disiapkan sejak jauh hari.
Maklumlah Rukiman memang handal soal mengakali. Sebaik-baiknya kata-kata manis itu terucap, kebusukan dalam hati takdapat tersimpan rapat bagi Yati.
Yati bukanlah wanita polos seperti Nursam. Yang setiap melihat kebaikan dan kata-kata manis orang dianggapnya seperti pantulan cermin.
Bagi Yati, semua itu hanyalah seperti buih di lautan, cepat terhapus ombak. Jika kata-kata seperti buih maka hati orang lain dianggapnya pula seperti lautan. Boleh saja dari jauh tampak berwarna biru, setelah diarungi, diselami, tampaklah segala yang buruk. Ombak dan angin kencang mengembus menenggelamkan kapal jika tidak waspada.
Yati cepat menyusun rencana setelah suami majikannya itu masuk dalam jebakannya.
Begitulah dua insan memiliki hati kotor. Pantaslah mereka bertemu, sama-sama memiki hati busuk dan picik.
Yati menyapu sudut matanya karena terharu.
"Sebenarnya, Yati pun juga mencintai Abang," ujarnya dengan nada bersedih.
"Tapi, Yati sadar siapalah diri ini? Yati hanya seperti ungguk yang merindukan bulan. Sungguh, rasanya untuk memiliki Abang itu tidak mungkin."
Demikianlah perempuan, jika menghendaki segala sesuatu boleh jadi ia memamerkan air matanya. Bahkan untuk tipu daya sekalipun. Air mata yang lembut itu kadang harus menjadi ombak yang akan menenggelamkan sesama kaumnya.
"Benarkah, Yati?" ujar Rukiman semringah.
"Kini bukan hanya bulan yang kau rindukan, andai aku ini alam semesta, aku adalah bumi yang siap memelukmu. Kau bisa tinggal di mana pun kau mau."
"Tapi, bagaimana dengan Nyonya?" ujar Yati setelah kesepakatan itu berlangsung.
Rukiman terdiam sejenak.
***
Jangan lupa vote, komen sebanyak-banyaknya ya. Thank you!🤗

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
Fiction générale~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...