Nursam hampir pingsan ketika melihat apa dilakukan bapaknya di kelambu kuning itu.
Ia hanya dapat menutup mulutnya rapat dengan kedua tangannya.
Dengan kekuatan tersisa, ia pun berlari ke luar. Ditariknya lengan Yudi untuk pergi dari rumah itu.
"Ada apa, Dek?" ujar Yudi dengan wajah bingung.
"Sudah, diam. Nanti kujelaskan, yang pasti kita harus pergi dari sini." Ada delman lewat, ia langsung stop.
"Kemana kita, Dek?"
"Pulang ke Ulin."
"Hah, ke Ulin, bukankah kita baru sampai?"
"Sudahlah Kak Yudi, jangan banyak bertanya, pokoknya ikuti saja apa kataku!"
Delman pun berjalan cepat seolah mengerti keinginan Nursam yang hendak cepat sampai ke pelabuhan.
Cepat ia meminta Yudi segera memesan tiket kapal sebelum kehabisan. Bertepatan saat itu juga, Daud pun memesan tiket.
Ketika sama-sama di loket, mereka hanya saling melempar senyum. Daud lebih dulu antre dari Yudi maka ia lebih dulu mendapatkan tiket itu.
Daud pun berlalu dari loket itu menuju awak kapal untuk menyerahkan tiket. Ketika ia melewati Nursam yang berdiri menunggu Yudi tampak gelisah sembari menenteng tasnya, Daud merasa ada aura sangat kuat di dalam tubuh Nursam. Namun, Daud tidak mungkin memberitahukan kepada orang yang tidak ia kenal, kecuali orang tersebut datang padanya. Sebagai seorang santri dan juga mahir dalam merukiah. Ia tentu dapat melihat aura negatif itu.
Akhirnya Daud naik ke kapal. Tak lama kemudian, Yudi dan Nursam pun juga naik.
"Lho kok balik, Mbak, bukannya baru sampai?" tanya awak kapal yang menerima tiket.
"Bukan urusan Anda, yang penting, kan, saya beli tiket jua?" ujar Nursam judes lalu masuk ke dalam.
Daud yang masih duduk di haluan menyaksikan itu hanya sedikit tersenyum. Bukan karena perkataan Nursam yang judes tetapi karena awak kapal yang kalah telak.
Jam menunjukkan pukul sepuluh. Peluit kapal kembali berbunyi artinya segera berjalan. Nahkoda pun berganti dengan nahkoda yang tidur semalam. Ganti shift.
Kapal baru saja menjauh dari dermaga. Sadikin terlambat, ia kehilangan jejak anaknya.
"Sial!" ia mengumpat sembari menendang kerikil di dermaga itu.
***
Nursam termenung duduk di gerbong kapal. Area yang dilewati kapal masih sungai muara, sehingga duduk di atas gerbong tidak terlalu berbahaya. Orang-orang biasanya memilih duduk di gerbong untuk menikmati semilir angin.
Tak jauh dari keberadaan Nursam, juga ada Daud yang saat itu duduk sembari memperhatikan Nursam. Ia menerka-nerka apa yang terjadi kepada perempuan cantik itu? Meski di raut wajahnya tiada senyum yang mengembang, wajah cantik itu tetaplah cantik. Apalagi rambut panjangnya yang lurus tersibak angin membuat Nursam semakin mempesona, Daud menundukkan pandangannya sembari mengucap istifar.
Sementara Yudi mencari-cari Nursam di dalam kapal tapi takada, kecuali para Ibu dan anak-anak. Ia pun naik ke atas gerbong. Setelah di atas, ia melihat istri majikannya itu duduk di tepi gerbong. Yudi menghela napas lega.
Nursam yang melamun tak sadarkan diri, matanya tiba-tiba mengantuk dan tubuhnya melemah. Daud yang melihat itu, langsung bergegas menolong Nursam, namun sedetik lebih dulu, Yudi menopang tubuh Nursam. Daud pun mundur.
"Dek, kau mengantuk?"
"Iya, Yudi. Aku mengantuk."
"Ayo kita turun, sebaiknya Dek Nurul istirahat." Nursam mengangguk setuju. Ia pun berjalan dibopong Yudi melewati Daud.
Keesokan harinya, sore sekitar pukul sembilan, kapal pun merapat di dermaga Ulin.
Mata Nursam bengkak menangis. Semalaman ia takdapat tidur karena teringat akan perbuatan bapaknya.
Ia berusaha menguatkan dirinya, harapannya hanya satu sekarang yaitu suaminya.
"Kak, kita berpisah dari sini," ujarnya kepada Yudi saat di dermaga.
"Biar saya antar sampai ke rumah Dek."
"Tidak, usah, pulanglah! Istri dan anakmu pasti menunggu. Katakan pada Sumi bahwa kita hanya sebentar saja ke sana."
Yudi terdiam saat majikannya itu meninggalkannya. Belum juga ia tahu alasan mengapa majikannya itu tiba-tiba berubah dan tampak murung sekali setelah keluar dari rumah orang tuanya. Ia merasa benar-benar aneh. Tetapi, bukan haknya untuk mengetahui lebih jauh. Meski hendak sekali ia tahu.
Daud yang menyaksikan tingkah laku Nursam. Wanita itu terlihat sangat memprihatinkan dan seperti tengah memendam masalah sangat berat. Ada pula di hatinya terbesit ingin menolong tapi lagi-lagi ia tak kenal dan tak berhak ikut campur. Kedua orang tuanya berpesan, apapun dalam pengetahuannya mengenai hal-hal mistis, kecuali orang tersebut atau keluarganya yang meminta bantu barulah ia boleh bertindak.
Nursam naik ojek pulang ke rumahnya yang cukup jauh itu, sekitar sepuluh kilometer. Setelah sampai rumah, ia pun membayar ongkos ojek. Ia pun lekas menaiki tangga rumahnya.
"Bang? Yati?" Panggilnya sembari naik. Pintu tak dikunci, ia pikir Yati pasti sibuk di dapur. Suaminya sendiri mungkin sedang pergi ke kota seperti yang di dengarnya kemarin sebelum berangkat ke Gandang.
Tas jinjingnya ia taruh di meja tamu. Dilepasnya syal yang melilit lehernya. Ia pun pergi ke kamarnya dan membuka gagang pintu itu. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan dua manusia bergulat di ranjangnya sendiri.
"Apa yang kalian lakukan?!"
....

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
General Fiction~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...