EXTRA PART 2

3K 416 16
                                    

"Baiklah. Tantangannya adalah...."

Mbah Sutah melirik Uwak Gimun. Terbesit di hatinya tak mau kalah. Sementara Uwak Gimun, masih duduk tawadu di hadapan gurunya. Ia pasrahkan semuanya kepada Allah.

Kyai Haji Hasanuddin Bakrie memberikan dua ekor ayam jago dan diberikan satu kepada masing-masing. Ia meminta kedua muridnya untuk segera memberikan ayam jago itu kepada buaya yang ada di sungai padepokan. Buaya itu berwarna kuning, peliharaan Kyai Haji Hasanuddin Bakrie.

"Siapa paling cepat ayamnya dimakan maka itulah yang menang."

Uwak Gimun dan Mbah Sutah berangkat ke sungai. Mereka pergi dikawal dua pengawal Kyai Haji Hasanuddin Bakrie.

Sesampai di sungai, buaya kuning sudah ada bertengger di tebing seberang sungai. Pada saat itu kebetulan air sungai sedang surut.

Melihat itu, Mbah Sutah yang berdiri di tepian dan memamerkan ayam jago miliknya yang berkokok. Melihat itu sang Buaya bergelayut turun ke air. Menuju ke seberang di mana Mbah Sutah berada. Mbah Sutah melempar ayam itu ke tengah sungai. Melihat ayam jago berkeciprat di air, sang buaya mempercepat jalannya.

Sementara Uwak Gimun–saat Mbah Sutah melempar ayamnya–ia sembelih terlebih dahulu ayam jagonya. Setelah disembelih baru ia lempar. Sang buaya berpaling arah menuju ayam Gimun. Melihat itu, Mbah Sutah tak mau kalah, ia pun mengambil panah dan memanah ayamnya yang masih hidup di air. Ayam itu seketika mati dan menyemburkan darah, sang buaya pun melahap ayamnya. Lalu kemudian, ayam Uwak Gimun.

Dua pengawal menceritakan kejadian itu kepada Kyai Haji Hasanuddin Bakrie. Dengan senyum, Kyai Haji Hasanuddin Bakrie mengangguk-angguk.

"Jadi ayamnya Sutah yang lebih dulu dimakan?"

"Benar, Eyang Guru," jawab salah satu pengawal.

"Mengapa kau memanahnya, Sutah? Ayam itu, kan, pasti mati juga dimakan buaya?"

"Awalnya saya pikir begitu, Eyang Guru, tetapi Gimun menyembelih ayamnya agar sang buaya tertarik dengan ayamnya karena mencium aroma darah. Makanya saya pun melakukan hal yang sma memanah ayam itu terlebih dahulu agar mengeluarkan darah," jelas Sutah. Kya Haji Hasanuddin Bakrie mangguk-mangguk.

"Mengapa kau sembelih, Gimun? Ayam itu, kan, pasti mati juga dimakan buaya?"

"Maaf Eyang Guru, saya tidak akan melupakan ajaran guru. Jika hewan halal dimakan, mereka sangat menginginkan mati dalam keadaan disembelih. Karena dengan disembelih mereka mati dalam keadaan terhormat."

"Apa bedanya, hewan disembelih atau tidak, toh, mereka pasti mati juga?" sanggah Mbah Sutah.

"Tentu beda, Sutah," jawab Kyai Haji Hasanuddin Bakrie.

"Gimun menyembelih ayamnya untuk menghalalkan daging itu. Sementara kau membunuhnya. Daging ayam itu tidak halal dimakan. Ini jelas berbeda."

Mbah Sutah melirik Uwak Gimun dengan tatapan sinis.

"Tapi Eyang, tantangan ini, kan, hanya untuk siapa yang lebih dulu ayamnya dimakan. Jadi, itu tidak terlalu penting, kan? Ayam saya lebih dulu dimakan buaya itu, maka artinya sayalah pemenangnya, bukan begitu Eyang?"

"Tidak Sutah. Pemenangnya adalah Gimun." Sutah membeliak tak percaya.

"Bagaimana mungkin Eyang Guru. Gimun sudah menyalahi aturan dan dia bercurang."

"Tidak Sutah, kaulah yang bercurang. Gimun sudah melakukan hal yang benar. Bahkan demi menyembelih ayamnya, ia rela ketinggalan memberikan ayam itu. Kalau saja tidak kau panah ayam milikmu tentu ayam Gimunlah yang dimakan lebih dulu oleh buaya itu." Mbah Sutah semakin iri hatinya.

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang