Wajah Yati langsung berubah malu karena dilihat orang-orang yang belanja. Ia tak percaya mengapa madu tuanya berani padanya.
"Cepat kreseknya mana?" ujar Rukiman sudah memegang sayur terong yang hendak dimasukkannya. Pembeli juga sudah menunggu.
"Suruh tuh Nurul yang ambil!" ujar Yati dengan wajah pongah.
"Heh, ular, itu kresek dekatmu makanya Bang Kiman minta ambilkan sama kamu. Aneh-aneh saja, dasar ular, perebut suami orang!" Nursam pun pergi ke dalam rumah. Para pembeli pun memandang sinis ke arah Yati. Rukiman merasa aneh dengan sikap istrinya itu.
Apakah peletku berkurang? batinnya.
Yati ngedumel hatinya gara-gara ucapan Nursam barusan. Ia pun naik cepat ke atas.
Sementara Yudi, hanya tersenyum senang dengan perlawanan yang diberikan Nursam.
Alhamdulillah, sepertinya pelet dalam dirinya telah lenyap, batin Yudi.
Dengan bodi bohainya dan lebih besar dari Nursam yang hanya ramping sekacak malang, Yati bergegas naik ke rumah.
"Dasar perempuan jalang, awak kau!" ujar Yati marah sembari mempercepat langkahnya menapaki tangga.
Dengan keras Yati menobrak pintu utama, ia bertolak pinggang dengan mata menyolot di hadapan Nursam. Nursam santai saja duduk di sofa, ruang tamu.
Sengaja ia duduk di ruang tamu itu biar orang-orang mendengar perkelahian yang pasti terjadi dengan madunya itu. Kaki diselonjorkan Nursam di meja, duduk menyender santai sembari minum kopi hitam milik suaminya.
"Cuih, terlalu pahit. Biasanya Bang Kiman protes kalo minumannya tidak pas takaran gulanya, kok bisa ya, mau saja dia!" gumam Nursam sembari mencibir.
"Maksud kau, apa, hah?" ujar Yati meninggi.
"Tidak ada maksud apa-apa? Aku hanya komen buatan kopimu ini."
"Apa hakmu komen?"
"Tentu saja ada, aku istri tua di sini. Akulah yang berperan penting dalam rumah tangga ini."
"Cisss, peran penting mbahmu. Sudah tua, payah lagi. Aku inilah yang paling berperan di rumah ini. Boleh saja usiamu lebih muda dariku tapi ibarat baju kamu itu sudah usang dan bosan dipakai. Sedang aku, aku istri muda, aku lebih cantik, lebih bisa memuaskan, suamiku senang denganku."
"Jadi kau pikir, dengan memuaskannya kau dapat mengendalikannya begitu, terus dia mau saja menuruti apa katamu," balas Nursam seraya beranjak. Kini ia juga bertolak pinggang tak mau kalah seperti Yati. Bedanya, ia lebih kecil dari Yati yang bohai dan besar. Ibarat Mentimun Vs Labu.
"Aku tidak mengendalikan Bang Kiman, dia sendiri saja memang sangat mencintaiku. Wajar saja jika laki-laki mencintai istrinya mau melakukan apapun. Memangnya kamu yang mengejar dia. Bang Kiman tidak mencintaimu, kaulah yang mengejarnya. Perbedaan itu jelas terlihat. Wajar saja Bang Kiman menuruti semua apa kataku karena dia memang yang mencintaiku."
"Tentu saja dia mencintaimu karena kamu pelet dia, cuih, wanita murahan." Kini Nursam sudah punya nyali untuk mengatakan itu yang cukup lama ia pendam.
Yati marah dikatakan murahan, ia pun menjambak rambut Nursam dan Nursam tidak mau kalah lebih kuat menjambak rambut Yati. Mereka saling menjambak.
Rukiman yang mendengar keributan itu cepat naik dan melerai kedua istrinya. Yudi pun turut naik dan menutup kedai. Ia meminta semua orang kembali ke rumah masing-masing.
"Tolong Bapak, Ibu, silakan pulang. Maaf hari ini kedai tutup dulu." Orang-orang pun pergi. Yudi naik ke atas, tetapi pintu terkunci. Ia pun berdiri mendengarkan perdebatan dari luar.
Rukiman menarik pinggang Nursam agar terlerai dari Yati. Sebelum terlerai, Nursam menjambak dada Yati yang menyembul itu, hingga berdarah kena kuku tajamnya.
Yati meraung kesakitan.
"Awwww, payudaraku, Bang, atiitttt!"
Melihat itu, Rukiman yang diperdaya oleh Yati bak panglima yang marah karena rajanya dilukai. Kakinya menendang perut Nursam hingga istri tuanya itu terpelanting ke pintu.
"Dasar wanita iblis, pergi kau dari rumah ini!"
"Jika seorang istri dikatakan iblis, lalu bagaimana suaminya, Dajjal?!"
Mendengar Dajjal, Rukiman teringat akan masa lalunya.
"Rupanya Bapak dan Anak sama saja, dulu waktu kecil bapaknyalah yang menyebar berita bahwa aku tetesan Dajjal. Kini anaknya pula mengatakan aku Dajjal. Baiklah, aku memang Dajjal. Lalu, apa maumu?"
"Jadi, apakah karena itu kau memeletku?"
"Ya, karena aku benci akan bapakmu, gara-gara dia aku dicap anak Dajjal sejak kecil. Dan bapakku mati terbunuh gara-gara dia. Bapakmu itu seorang iblis!"
"Tidak mungkin." Nursam memekik.
"Tentu saja kau tak kan percaya, karena waktu itu kau masih kecil dan aku telah beranjak remaja. Di depan mataku ini, kulihat orang-orang yang disuruh bapakmu itu telah membakar rumah dan bapakku hidup-hidup!"
"Tidak, tidak, tidak mungkin." Nursam histeris.
"Apa kau puas sekarang Nursaaaaamm?!"
"Cukup! Hentikan!" Nursam menutup telinganya dan berlari ke kamar.
Yudi yang mendengarkan semua itu di balik pintu tercengang. Ia telah mengetahui rahasia itu.
***
Suasana menjadi hening. Malam itu Rukiman duduk di kamar Yati. Lama terdiam. Sedangkan Nursam menangis di kamarnya dengan mengunci diri.
"Sudahlah Bang, jika memang kenyataannya begini sebaiknya abang lekas cerai saja Si Nursam dan pulangkan ia ke rumah orang tuanya!"
"Tidak Yati. Jika Abang lakukan itu maka dendam Abang tidak akan tuntas."
"Lalu, apa rencana, Abang."
"Ada, Yati. Kau jaga Nursam jangan sampai keluar dari rumah ini. Aku hendak keluar sebentar."
Keluarlah malam itu, Rukiman untuk menemui seseorang bernama Mahmud atau lebih dikenal dengan panggilan, "Madam Meli."
Dengan gayanya lemah gemulai, Madam Meli menemui Rukiman di samping gang rumahnya.
Rukiman panjang lebar berbicara dengan Madam Meli.
"Ai, itu gampang Bang, bisa diatur. Besok jam enam, sudah ada di sini. Jangan sampai telat, okay,Bang?" Madam Meli mengkerlingkan matanya.
"Okay," ujar Rukiman mantab.
Rukiman semringah karena telah berhasil mengatur rencananya. Dendamnya harus tuntas pikirnya.
bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
General Fiction~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...