DUA PULUH SATU

3.2K 496 50
                                        

Daud hanya bisa menggeleng tak percaya ketika mengetahui bibinya menjadi orang gila. Ia melihat Lina sedang berbicara dengan boneka beruang Nurul yang sebesar manusia itu. Boneka beruang itu disandarkan di kasur. Diintipnya sekitar kamar banyak ayam-ayam mati membusuk.

"Malang sekali kau, Bi," ujarnya dalam hati. Kemudian, ia langsung keluar saja dari rumah tanpa pamit.

Hari itu, Daud tak langsung pulang. Masih ada satu tujuan tersisa. Namun, sebelum pergi ke tempat itu, ia hendak salat zuhur dahulu.

Selesai salat zuhur, Daud mengayuh pedal sepedanya. Sepeda itu cukup berkarat karena sudah lama tapi masih berfungsi. Dari cerita bibinya, sepeda itu ditemukan Udal di pinggir sawah. Takada yang mengaku, Udal pun memberikan sepeda itu kepada bibinya, Rukayah.

Daud menghentikan kayuhannya tepat di sebuah gerbang. Gerbang itu bertuliskan wisata gunung meranti.

Dahulu waktu ia masih anak-anak, gunung meranti memang sebuah tempat wisata, namun beberapa tahun kemudian tersiar kabar bahwa gunung meranti tempatnya banyak setan bersarang. Banyak orang-orang kecelakaan terutama pada saat mendaki ke atas gunung. Jadilah cerita itu tersebar ke seluruh kampung bahwa gunung meranti adalah tempat yang paling angker di Kampung Gandang.

Hanya ada satu yang berani tinggal di sana, siapa lagi kalau bukan Uwak Gimun?

Mengucap basmalah, Daud masuk ke dalam gerbang. Sepedanya ia senderkan di dekat gerbang itu.

Suasana bawah gunung itu penuh dengan pohon meranti yang tinggi-tinggi. Udaranya sangat dingin, berkabut, lebih dari puncak Jakarta atau pegunungan Bandung. Karena wilayah ini ada di Kalimantan, tahu sendiri, kan, bagaimana Kalimantan? Hutan belangkara masih banyak.

Ada jalan setapak menuju ke atas. Jalan itu dibuat oleh pemerintah seperti tangga sehingga siapa pun yang naik lebih mudah. Namun, tetap saja, itu sangat melelahkan.

Sesekali Daud menengadah ke atas, ujung pohon meranti itu seperti memeluknya. Ia seperti dalam dekapan. Banyak burung gagak beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain.

Tiba-tiba, ia melihat sosok bayangan putih di samping salah satu pohon meranti. Sosok itu seperti sedang mengintipnya, tak jauh dari keberadaaanya, kira-kira seratus meter. Bayangan itu tidak begitu jelas, pikir Daud itu hanyalah kuntialanak biasa. Ia pun abai.

Daud terus berjalan menapaki tangga tanah itu, seketika ia terperanjat lagi, hampir kakinya menginjak ular yang lewat. Ular berwarna hitam, kata orang Kalimantan, ular itu namanya Tadung Sambur. Ia menghela napas. Tiba-tiba terasa sangat dekat, ada suara menggelegar di atas keberadaannya.

"Buahahahaha!" begitu suaranya. Daud tahu bahwa suara itu adalah genderuwo. Lalu, suara yang lain ikut menyahut. Bercampur, ada suara kuntilanak, wewe gombel, tuyul. Ia pun berucap, "aku hamba Allah, kalian pun hamba Allah. Maaf jika tadi aku masuk lupa permisi. Oleh karena itu, maafkan aku, aku hendak bersilaturahmi dengan pamanku. Pergilah jangan ganggu aku!" Sejenak kemudian suasana menjadi hening. Dipercepatnya langkah ke atas.

Setelah menaiki tangga begitu payah dan gangguan-gangguan di bawah tadi, ia pun akhirnya berada juga di atas.

Di atas itu, sudah ada gubuk yang selalu sama. Dan tentu, seorang Uwak Gimun seperti biasanya. Terlihat gila.

Kala itu, ia duduk minum air nira di buluh bambu sambil berbicara sendiri, duduk menjuntai di beranda gubuknya yang menghadap ke bawah gunung.

"Assalammualaikum?"

"Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh," jawabnya.

"Lama tidak berjumpa, Paman," ujar Daud lalu mencium tangan pamannya itu.

"Raga boleh lama tak bertemu tetapi batin selalu berjumpa."

"Oleh sebab itu, saya kemari, Paman."

"Sudah kukatakan, kau tak perlu datang kemari. Bukankah kau sudah tahu kemana harus pergi?"

"Iya, Paman. Seperti yang paman katakan, saya harus menolongnya, bukan?"

"Tentu saja kau harus menolongnya."

"Insyaallah, besok saya berangkat."

Keesokan harinya, Daud siap berangkat. Ia pun berpamitan dengan Bibi Rukayah untuk pergi ke Ulin. Di sana ia sudah ditunggu orang-orang untuk memimpin pengajian.

"Sering-seringlah datang ke sini, ya, Nak. Salam untuk kedua orang tuamu di Dukuh."

"Baik, Bi."

"Jangan lupa juga, salam buat bibimu di Ulin. Dia tak pernah mau datang ke sini, kalau saja aku ini masih muda, sudah pasti ikut denganmu ke Ulin, biar aku bisa memarahinya. Selain di Dukuh, kan, dia masih punya kakaknya di Gandang." Bibi Rukayah tampak jengkel. Daud hanya tersenyum mendengar ocehan bibinya. Ia maklum jika adik ayahnya itu merindukan adik bungsunya di Ulin.

"Nanti sampai di Ulin, katakan padanya kejengkelanku ini."

"Baik, Bi," ujar Daud seraya tersenyum.

"Oyah, kau sudah ziarah ke makam pamanmu Jali, kan?"

"Alhamdulillah, sudah, Bi."

"Pasti ibumu sangat terpukul dengan kepergian adik satu-satunya itu."

Bersambung....

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang