Rukiman dan Nursam pergi jauh dari Kampung Gandang menuju Kampung Ulin. Di sanalah mereka memulai kehidupan.
Suasana di Kampung Ulin sedikit berbeda dengan Kampung Gandang yang masih penuh dengan hutan.
Kampung Ulin jauh lebih maju. Pembagunan sudah banyak. Jalan saja sudah aspal. Mayoritas orang-orang di sana bekerja sebagai nelayan karena mereka tinggal di pesisir.
Mula-mula mereka bertanya-tanya di mana ada rumah sewa yang murah. Salah satu warga menyarankan untuk mendatangi rumah Tuti terkenal sebagai orang yang punya kontrakan banyak di kampung itu.
"Permisi Bu, apa benar dengan ibu Tuti?" ujar Rukiman ketika wanita bertumbuh gendut itu membuka pintu.
"Iya, saya sendiri. Ada apa,ya?" tanyanya sedikit judes.
"Apakah masih ada rumah kontrakan yang kosong, Bu?"
"Oh, ada. Mas dan mbaknya mau ngontrak?" Wajah wanita itu berubah menjadi semringah.
"Iya tapi bolehkah kami lihat dulu, Bu."
"Oh, boleh, mari!" Wanita itu membawa mereka ke belakang rumahnya. Tak jauh sekitar seratus meter. Berjejerlah rumah kontrakan berwarna jingga. Wanita itu membuka pintu rumah kontrakan yang masih kosong.
Nursam senang dengan rumah itu. Ia beberapa kali memeluk lengan Rukiman dan tersenyum. Rukiman paham jika Nursam menginginkan rumah sebagus itu.
Rumah kontrakan yang sederhana. Kamar satu buah, ruang tamu, dapur. Kamar mandi dan toilet terpisah. Ada sedikit halaman pekarangan. Namun, setelah negoisasi tentang harga. Rukiman mulai buyar.
"Apa bisa lebih miring lagi Bu harganya?"
"Itu sudah kasih diskon Mas, maaf tidak bisa lagi."
"Tolonglah, Bu, kami hanya sebatang kara dan sangat membutuhkan rumah. Kami berjanji bulan selanjutnya akan kami bayar sesuai harga."
"Maaf Mas, tidak bisa."
Rukiman dan Nursam saling pandang. Karena tidak ada kesepakatan, mereka pun undur diri.
"Kenapa tidak diterima saja, Bang?"
"Terlalu mahal, Dik."
"Pakailah kalung ini," ujar Nursam sembari meneteng mata kalung berbentuk N itu. Kalung emas pol.
"Jangan Dik, kita cari kontrakan yang lebih murah saja. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan kita selanjutnya di sini, tak perlulah kita mengorbankan banyak demi kontrakan mahal begitu." Nursam mafhum. Rukiman menonton tangannya untuk meneruskan pencarian.
Masih belum begitu jauh dari kontrakan mahal itu, kembali Tuti memanggil.
"Kalau kalian mau, saya ada rumah terbengkalai di ujung sana tapi...." Dua sejoli itu semringah.
Dekat pantai, di paling ujung berdirilah sebuah rumah panggung milik Tuti. Tampak rumah itu sudah tua dan daun-daun kering berserakan di terasnya. Tiang-tiangnya penuh dengan rumput belaran.
"Kalau kalian berani tempati saja, tidak usah bayar." Nursam menggeleng, ia teramat takut. Kata Tuti, rumahnya itu dulunya pernah ada orang tapi mati gantung diri.
"Tidak apa, Bu. Saya terima. Terima kasih atas bantuan ini, saya tidak akan pernah lupakan."
"Baiklah. Selamat datang, ya. Kalau ada perlu apa kalian bisa datang ke rumah saya. Dengan senang hati saya akan membantu tapi maaf terpaksa kalian harus membersihkannya dulu dan saya tidak bisa membantu."
"Tidak masalah, Bu. Sekali lagi, terima kasih banyak."
"Oyah, ada KTP kalian?"
"Ada, Bu, tapi masih dipinjam sama Pak RT."
![](https://img.wattpad.com/cover/233190473-288-k567600.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
Ficción General~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...