DUA PULUH

3.3K 482 33
                                    

Hari telah pagi. Daud duduk di beranda rumah panggung bibinya. Ia tersenyum senang menghirup udara pagi yang sejuk. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling rumah itu. Penuh dengan pohon buah, ada buah mangga, rambutan, jeruk, bahkan ada pohon kelingking. Bibinya memang suka bercocok tanam. Wajar saja udara di rumah itu sangat dingin yang dirasanya. Padahal hari sudah pagi, tampak matahari terlihat menyemburat di ufuk timur, namun ia masih merekatkan sweater-nya.

Tak lama kemudian, datanglah dari dalam seorang wanita yang sudah tua lebih separuh baya membawa nampan berisi kopi hitam dan ubi rebus-keduanya mengepul.

"Bagaimana, sudah puas kangen-kangenannya dengan suasana kampung?"

"Ndak ada puasnya, Bi. Suasana desa yang begitu damai jauh dari hiruk pikuk selalu membuat jiwa dan hati ini tenang."

"Tapi dingin, kan?" tanya bibinya bernama Rukayah.

"Huh, dingin sekali, Bi," ujar Daud bergindik lalu turut duduk di kursi sebelah bibinya. Di beranda itu disedikan dua kursi yang menghadap ke halaman dan satu meja kecil. Mereka sama-sama menikmati kopi dan ubi rebus yang ada di meja itu.

"Ke mana rencanamu hari ini, Nak?" tanya bibinya. Daud terdiam memikirkan rencananya hari itu. Sebenarnya, Daud datang ke Gandang untuk tausiah sekalian mengunjungi bibinya Rukayah-adik ayahnya.

Kampung Gandang adalah tempat kelahirannya, namun setelah ia lulus SMP, kedua orang tuanya membawanya pindah ke Dukuh, masih satu kecamatan dengan Gandang tetapi agak jauh. Sesampai di Dukuh, orang tuanya mengirimnya ke kota untuk melanjutkan pendidikan SMA tapi ia memilih masuk pesantren. Kedua orang tuanya pun setuju.

Waktu pun berlalu, setelah dua belas tahun kemudian, akhirnya ia lulus dari pendidikannya di pesantren.

Setahun terakhir, ia sudah berkiprah dalam dunia keagamaan. Ke sana kemari dipanggil-panggil orang untuk tausiah. Seminggu yang lalu ia diminta diundang tausiah ke kampung Gandang. Mendengar itu, lekaslah ia setuju sebab, kerinduan akan kampung halaman sudah tak tertahan.

Daud pun berangkat naik kapal. Setiba di Gandang, alangkah senang hatinya karena kampung kelahirannya itu tak banyak berubah hanya saja kabar yang tak mengenakan hati adalah banyak kejadian memilukan.

Pagi itu, bibinya kembali bercerita mengenai keadaan Kampung Gandang. Termasuk kejadian-kejadian masa lampau.

"Jadi, Paman Juman meninggal karena di demo?" tanyanya kaget kepada bibinya Rukayah.

"Iya, Nak. Tapi anaknya alhamdulillah selamat karena lari ke Gunung Meranti."

"Lalu, Nurul?" ia pun menanyakan teman sekelasnya dulu.

"Kalau itu sebaiknya kau berkunjung ke rumahnya langsung. Bibi tidak mau menceritakan segala sesuatu yang belum pasti kuketahui."

"Baiklah, Bi."

Pagi itu kira-kira sudah pukul sepuluh, Daud pun berkunjung ke rumah Jali. Kedatangannya adalah hendak memastikan bahwa apa yang ia lihat di belakang Tiwi hanyalah ilusi belaka. Bagaimana mungkin wajah mirip Nurul, sepupunya sekeligus teman SMP-nya dulu bisa diserupai oleh jin?

Dari rumah bibinya, ia menggunakan sepeda ontel. Pakaiannya masih mengenakan sweater tebal dengan celana hitam dan berbaju piyama di dalamnya. Sekitar satu kilometer menuju rumah Jali.

Tibalah ia di rumah itu. Dan berjalan dengan membawa sepedanya, ia berjalan santai menuju rumah itu yang hanya tinggal puluhan meter saja. Namun, kakinya tertahan cukup lama memandangi rumah itu. Seingatnya dulu, rumah itu bersih dan rapi. Penuh dengan bunga-bunga di halamannya. Kini, tersisalah hanya remputan yang menjadi. Cat warna hijau rumah itu telah pudar.

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang