Nursam adalah gadis primadona di desanya bernama Kampung Gandang. Waktu itu usianya masih belia, 18 tahun. Baru saja tamat SMA.
Tinggal di kampung Gandang-pelosok Kalimantan-tidak menjamin lulusan SMA dapat langsung bekerja. Sementara, sebagian besar teman-teman lulusannya, memilih pergi ke kota melanjutkan pendidikan atau sekadar kursus. Nursam sebenarnya ingin juga kuliah atau setidaknya kursus menjahit, namun kedua orang tuanya tak mengizinkan dengan alasan tidak baik anak gadis jauh dari orang tua.
Mendengar Nursam sang primadona hanya berdiam di rumah, banyaklah pemuda berdatangan melamarnya. Dari anak kepala desa, anak camat, sampai anak dewan.
"Si Yono, anak Pak Camat, tampaknya baik, Nduk," ujar ibunya seraya meletakkan kopi hitam untuk bapaknya yang tengah menikmati siaran televisi pagi.
"Sebaiknya kamu terima saja lamaran salah satu dari mereka. Kalau kamu kawin dengan orang berada siapa tau kamu dikuliahkan," tambah ibunya.
"Yang pasti terjamin kehidupanmu. Kalau sudah menikah tidak perlu kuliah-kuliah lagi, untuk apa? Yang penting layani lakimu dengan baik, beres," timpal bapaknya.
Nursam menekur. Ia tahu jika kedua orang tuanya hendak menikahkannya dengan pemuda berduit. Maklum kedua orang tuanya masih menyekolahkan dua adiknya dan perlu biaya untuk memperbaiki rumah. Mereka berharap Nursam menikah dengan orang sugih supaya dapat membantu.
Namun, ada yang aneh pada perasaan Nursam meski deretan yang melamarnya itu orang berada bahkan soal paras tak diragukan, mereka semua tampan. Anehnya, ia tidak tertarik sama sekali bahkan hatinya benci.
Sudah tiga hari ini pikirannya tertuju kepada Rukiman. Pemuda dari golongan orang biasa, pekerjaannya hanya petani, tinggal di hutan sendirian. Lumayan jauh dari orang-orang.
Seminggu yang lalu, Rukiman datang melamar Nursam dengan seorang diri tapi ditolak mentah-mentah kedua orang tuanya. Sebab, Rukiman hanya pemuda miskin dan sebatang kara.
Awalnya Nursam juga tidak tertarik sama sekali dengan Rukiman tapi entah mengapa sekarang ia begitu kepikiran?
***
Rukiman menghempas topi purunnya. Ia menghela napas. Cukup sudah ia merasa dihina orang-orang kampung Gandang selama ini. Ada yang mengatakan ia anak malang, anak dukun, si Miskin, ia masih terima, tetapi jika dihina oleh kedua orang tua gadis pujaannya, ia tak terima.
Ia menekur duduk menjuntai di tangga gubuknya, sore itu. Ia teringat perkataan bapaknya Nursam kemarin malam.
"Maaf, Nak Kiman, gadis kami si Nursam sudah dipingit anak camat, sama-sama bujangan, dan yang pasti masa depannya takkan terbengkalai." Perkataan itu terdengar seperti belati yang dilemparkan sengaja ke dada Rukiman.
"Akan kukerjakan malam ini," batinnya. Rukiman membuka peti harta peninggalan kedua orang tuanya.
Dulu bapaknya adalah seorang tabib di kampung. Terkenal orang berilmu gaib.
Peti berisi kain hitam, keris, jarum akupuntur, batu, dan beberapa benda yang ia tidak terlalu mengerti apa fungsinya. Benda-benda itu dulu digunakan bapaknya untuk menyembuhkan berbagai keluhan atau penyakit orang-orang yang datang berobat.
Namun, ada salah satu diantara kumpulan benda itu, yang terlihat berbeda minyak pelet.
Rukiman membeli minyak itu pada seseorang pedagang di pasar tempo hari. Awalnya pedagang itu hanya menawarkan obat jamu seperti penumbuh rambut, jamu perkasa, hajar jahanam, jamu rapet, dan banyak lagi tentang perjamuan.
Waktu itu Rukiman hanya iseng bertanya, "Apa ada jamu yang bisa membuat wanita mencintai saya?"
"Hehehe ... jomlo ya, Mas?"

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
General Fiction~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...