LIMA

4.6K 598 42
                                    

Pernikahan Nurul dilaksanakan sesuai kesepakatan. Acara pun diadakan begitu meriah.

Dengan mata yang teramat sedih, Nurul harus menerima kenyataan bahawa ia menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya.

Reza dengan bangga telah menaklukan wanita pujaannya. Sementara, Rukiman, seperti orang sakit setahun saja. Makan tak bisa, tidur tak bisa, ia jatuh sakit. Bapaknya tak bisa berbuat apapun kecuali berdoa agar Rukiman dapat melalui masa kecewanya.

Banyak orang-orang berdatangan di acara itu. Rukiman dan bapaknya juga diundang. Awalnya Jali tak mau mengundang, ia tak enak hati sebab, penolakan lamaran itu membuatya serba salah.

"Justru tidak diundang mereka akan berpikir kau tak menyukainya," ujar Sadikin. Maka atas saran itu, dibuatlah undangan.

Rasakan bagaimana sakitnya kehilangan orang yang kau cintai, seperti itulah aku dulu, batin Sadikin tersenyum simpul.

Juman memandangi undangan pernikahan itu, dilihatnya Rukiman, anak satu-satunya itu tak dapat beranjak dari tempat tidur. Rukiman jatuh sakit sejak gagalnya menikah dengan Nurul. Badannya semakin kurus seperti orang gizi buruk dan matanya sendu seperti kehilangan semangat hidup.

Melihat Rukiman semakin hari semakin memburuk, ia berniat membawa anaknya itu ke gunung meranti. Sudah saatnya ia harus menurunkan segala kemampuannya untuk Rukiman.

Singkat cerita, Nurul telah menikah dengan Reza dan ikut suaminya pindah ke kota. Awalnya, Nurul sangat dingin kepada Reza tetapi seiring waktu lelaki berpengalaman dalam bidang percintaan itu sangat mudah menaklukan hati seorang wanita.

Dengan berbagai keromantisan, akhirnya Nurul menerima pernikahan itu. Begitulah perempuan, sangat mudah berubah hatinya. Jika saja dilihatnya pria begitu baik dan perhatian maka ia pasti merasa sungkan dan tak enak hati.

Dari perasaan-perasaan seperti itu lama-lama muncul simpati dan jatuh hati. Begitu pun Nurul, lupa sudah dirinya dengan kenangan indah bersama Rukiman. Tentang bulan dan bintang, tentang gunung nan tinggi, udara sejuk di pantai. Kini berganti dengan pemandangan Kota yang jauh lebih menarik baginya. Maklum, baru pertama kali ia ke kota.

Kemana-mana, selalu bersama suaminya. Naik mobil, makan di restoran, bahkan pergi ke luar Kota dengan naik pesawat. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara.

Namun, kebahagiaan itu tak membuahkan hasil bahkan sudah enam bulan usia pernikahan, Nurul belum juga hamil. Sadikin makin khawatir. Maka itu, ia memberikan kepad Reza sebuah obat herbal dan jamu penyubur hormon.

"Maaf, Nak, mohon jangan tersinggung, ini saya ada obat herbal biar cepat punya anak. Ah, maksud saya, bukannya saya mengatakan Nak Reza itu tidak subur lho, ya? Maksud saya ini adalah membantu meningkatkan. Ya, sebagaimana sesama lelaki yang sudah berkeluarga, ya, kan?"

"Ah, tentu saja, Paman. Sama sekali tidak tersinggung, malah saya senang. Obat seperti apa ini, Paman?"

"Ini, terimalah, Nak. Cobalah dulu. Wati, istri saya, baru menikah satu bulan, langsung positif, karena saya, ehem, mainnya luar biasa men. Selain hormon tambah subur, kejantanan kita nambah beberapa senti."

"Serius, Paman?!"

"Ai, untuk apa aku bohong."

"Ah, Paman, terima kasih sudah repot-repot. Obat ini pasti saya minum. Apalagi jika sudah ada buktinya." Reza mengkerlingkan matanya. Sadikin senang.

Sebulan kemudian, pucuk dicinta ulam pun tiba. Nurul positif hamil. Tak terkira bahagianya kabar ini. Mertuanya dan kedua orang tuanya turut senang. Mereka menginginkan Nurul pulang kampung. Tersampaikanlah keinginan itu, Reza membawa istrinya kembali ke Gandang.

Sementara Rukiman, ia kurus kering karena merindukan Nurul. Namun, ketika melihat Nurul tengah mengandung tua, saat itulah, hatinya mulai tabah. Wanita yang mencintainya itu dulu, kini telah berbalik hati darinya. Ia begitu sadar sekarang. Pandangan Nurul padanya telah berbeda.

"Sembuhkan aku, Bapak!"

"Memangnya kau sakit apa?"

"Sakit karena menahan cinta yang tak pernah bisa kumiliki. Aku ingin melupakan Nurul."

"Kau tak bisa."

"Saya bisa. Saya ingin melupakannya. Tapi, bantulah saya, Pak!" Uman menarik napas sejenak.

"Hanya ada satu orang yang dapat membantumu."

"Siapa?"

"Uwak Gimun."

Mereka berangkat hari itu juga.

***

Bertepatan keberangkatan itu, Nurul mulai kontraksi. Tanda-tanda melahirkan telah tiba. Para tetangga mulai ramai berkunjung ke rumah Jali.

Cukup lama menunggu, Nurul belum juga melahirkan, sampai malam hari. Dukun beranak stanbai menunggu, begitu pun Reza setia menemaninya.

Sementara orang-orang di luar kamar turut berjaga. Begitulah kebiasaan orang kampung, jika ada yang mau melahirkan, mereka pasti berkumpul dengan minum kopi dan main domino. Kebiasaan itu harus didukung oleh tuan rumah. Mereka tertawa bersuka ria sembari menunggu kabar kelahiran. Mereka tak tahu bagaimana seorang wanita tengah berjuang kesakitan dalam melahirkan.

"Di mana, Sadikin?" tanya Tamami. Sembari menyeruput kopi hitamnya.

"Ndak tau juga, kemana lagi, tuh, anak," gerutu Jali. Sesekali tersenyum kepada bapak-bapak yang ricuh main domino.

Bagamaina Sadikin bisa bergabung jika sedang bersama Dewi Ular. Jangankan acara kelahiran keponakannya, kelahiran istrinya saja ia takada.

Lagi-lagi setiap malam pertemuan Sadikin dengan Dewi Ular, ia pulangkan istrinya ke rumah mertuanya. Bahkan istrinya hapal bahwa setiap tiga bulan sekali suaminya pasti memintanya pulang ke Dukuh sebagai bakti kepada orang tua, katanya.

"Jadi, wanita itu akan melahirkan malam ini?" Suaranya serak dan menakutkan. Terdengar seperti suara nenek-nenek. Sesekali mendesis.

"Benar, Nyai."

"Baiklah. Jalankanlah rencanamu mulai besok malam."

"Baik, Nyai."

Lalu, Dewi Ular itu makan sesajen sementara Sadikin seperti biasa, berpejam menunggi siluman itu selesai makan dan berubah wujud.

"Kakanda?" Suara itulah yang Sadikin tunggu-tunggu. Ia buka matanya. Di depannya, seorang wanita sangat cantik duduk di depannya. Kini wujudnya seperti gadis India. Sadikin berpikir, apa Dewi Ular tahu jika akhir-akhir ini ia sangat suka sekali menonton film india.

"Dewiku, kau semakin cantik saja."

"Apa yang kamu inginkan, Kakanda?" ujarnya sembari membelai dada Sadikin yang bidang.

"Aku ingin menang lomba saung minggu depan."

"Baiklah. Apa lagi?" ujarnya lalu merebahkan kepalanya di dada itu.

"Buatlah anakku Nursam menjadi gadis tercantik di kampung ini sehingga suatu hari ia bisa kunikahkan dengan pemuda kaya."

"Itu urusan kecil. Sekarang ayo kita masuk ke kelambu!" Sadikin mafhum.

Bersambung....

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang