TIGA BELAS

3.4K 489 5
                                    

Nursam takdapat fokus melayani pembeli. Beberapa kali salah memberikan harga. Untung ada Yudi yang tanggap dalam hal itu. Tak bosan-bosannya ia mengingatkan nyonyanya.

Menyaksikan keteledoran istrinya, Rukiman pun segera meminta Nursam untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, mereka pun berbincang.

"Kamu itu bagaimana sih, Dik? Kalau begini caranya rugi kita. Harga barang sepuluh ribu kau jual lima ribu."

"Maaf, Bang. Konsentrasiku lagi buyar, aku selalu terpikir akan anak kita. Empat kali aku melahirkan, Bang, takada satu pun yang hidup." Nursam menutup wajahnya dengan telapak tangan. Takdapat ia menahan air mata.

Setelah kematian anak pertama, Nursam mencoba hamil lagi. Namun, anaknya kembali meninggal dalam keadaaan yang sama. Nursam kehilangan semangat hidup, terlebih suaminya acuh saja atas kesedihan yang ia alami. Suaminya, Rukiman, hanya peduli dengan kesuksesan bisnis kedainya.

"Terus saja kau bahas itu, terus saja!" ujar Rukiman. Nursam merasa bahwa rumah yangditempati merekalah yang menyebabkan anak mereka jatuh sakit dan meninggal.

"Pokoknya aku mau hamil lagi tapi kita harus pindah dari rumah ini!" ujar Nursam kepada suaminya dengan merengek.

"Percuma, kau takbisa punya anak."

"Mengapa Abang bicara begitu? Teganya kau, Bang!"

"Aku sudah tanya tabib, tampaknya takada tanda-tanda kita punya anak lagi."

"Memangnya tabib itu Tuhan? Seenaknya menentukan nasib orang lain."

"Sudahlah, Nursam! Siang begini masih saja kau bahas."

"Pokoknya kita pindah, titik!" Nursam pergi berlalu ke kamarnya.

Rukiman memijit kepalanya yang pusing. Perkara mencari rumah lagi memang mudah baginya, namun usaha yang mereka bangun di rumah itu letaknya strategis karena para pembeli adalah orang-orang yang datang dari pasar ikan yang kebetulan pasti melewati rumah itu.

Ia menghela napas. Dari balik kaca ruang tamunya, terlihat kedainya yang lumayan besar di halaman rumahnya itu mulai dipadati orang-orang belanja sayur dan beras.

Diambilnya sebatang rokok untuk berpikir sejenak. Tiba-tiba, Yudi mengetuk pintu. Rukiman mempersilakan masuk. Rupanya pekerjanya yang kurus tinggi dan berambut cepak itu meminta izin untuk menemani istrinya periksa kandungan, karena beberapa hari lagi diperkirakan akan melahirkan.

"Oh, begitu, baiklah, biar aku yang jaga." Yudi pun pergi. Tinggallah Rukiman yang turun ke bawah menuju kedainya.

Gesit tangannya melayani orang-orang yang membeli dagangannya. Beberapa orang pergi setelah berbelanja dan beberapa lagi datang. Ada dua wanita paru baya dan satu laki-laki tua dengan membawa jaring ikannya yang baru saja datang. Ketiga orang itu pun pergi setelah selesai berbelanja.

"Mbaknya mau beli apa?" tanyanya pada seorang wanita yang sedari awal hanya berdiri di pojokan. Wanita itu hanya diam saja melihatnya. Penampilannya terlihat lusuh dan wajahnya pucat.

"Mas saya beli sayur kol seperempat, terus beras dua kilo," ujar seorang wanita yang baru datang. Wanita itu mengenakan baju daster ungu dan kerudung kuning, tidak matching sama sekali, alisnya diukir seperti arit melengkung, matanya melirik sinis ke arah wanita di pojok.

"Siapa dia, saya baru lihat?" tanyanya kepada Rukiman pelan.

"Saya juga tidak tahu, Bu, mungkin pengemis," jawab Rukiman pun pelan.

"Hati-hati! Jangan-jangan maling berkedok pengemis?" bisiknya.

Setelah selesai, pembeli itu pun pergi, tinggallah seorang wanita di pojokkan itu.

Hari telah sore, pembeli pun telah sepi. Rukiman segera menutup kedainya. Ketika ia hendak menutup pintu, wanita yang di pojok itu mendekat.

"Tuan, tolong saya!" ujarnya mengatup kedua tangannya. Rukiman mengambil selembar uang sepuluh ribu dan memberikannya ke wanita itu, namun wanita itu menolak. Ia menjadi bingung.

"Bukan uang yang saya maksud, Tuan?"

"Lalu?"

"Sebelumnya maaf telah membuat Tuan merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya di dekat kedai tadi, pasti Tuan merasa jijik dengan saya."

"Ah, tidak, tidak masalah. Apa yang bisa saya bantu?"

"Sebenarnya, Tuan...."

"Tunggu! Saya menutup kedai dulu." Rukiman cepat menutup kedainya lalu mengajak wanita itu naik ke rumah panggungnya dan mempersilakan duduk.

Rukiman memanggil Nursam. Keluarlah ia dari kamar, namun agak sedikit kaget ia dengan kehadiran seorang tamu wanita yang terlihat sangat memperihatinkan. Pakaiannya lusuh, wajahnya pucat, dan rambutnya diikat tetapi berantakan.

Di hadapan Rukiman dan istrinya, wanita itu duduk bersungkur di hadapan mereka.

"Tuan, Nyonya, tolonglah saya!" ujarnya mengatup kedua tangan.

"Tolong duduk di atas saja!" ujar Rukiman meminta duduk di sofa. Wanita itu pun menurut. Kini mereka berhadapan.

"Coba perkenalkan dulu namamu siapa? Dari mana dan keperluan apa?" kata Rukiman.

"Nama saya Yati, saya datang dari kota. Sebenarnya, dulu saya pernah tinggal di sini, namun hanya sebentar karena bekerja sebagai buruh ikan asing di ujung sana." Wanita itu menunjuk ke arah pasar ikan.

"Oh, iya, ya, saya tahu, lalu?" ujar Rukiman.

"Lalu, saya pun ke kembali ke kota, ke rumah paman saya, namun... " wanita bernama Yati itu terisak. Rukiman dan Nursam saling bertatapan bingung. Cepat Nursam mengambilkan tisu dan memberikan ke wanita itu.

"Saya diusir oleh paman saya dan keluarganya, mereka memaksa saya menjadi biduan sebagai penyanyi bayaran. Saya tidak mau makanya saya memilih diusir. Saya sebatang kara Tuan, Nyonya, sehingga tidak ada tempat saya berlari, kecuali Kampung Ulin ini. Di sini saya mengenal beberapa orang, saya pun datang kepada mereka untuk meminta bantuan, namun mereka pun enggan menolong saya. Lalu, saya teringat dengan seorang teman, ia menyarankan kepada saya untuk datang ke sini."

"Siapakah orang itu?" tanya Rukiman.

Bersambung...

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang