SEPULUH

3.8K 517 12
                                    

Seminggu kemudian, Nursam menerima surat balasan ibunya dengan perasaan yang teramat bahagia, ia berlari kecil kepada suaminya yang duduk di kursi kayu di ruang tengah sembari menikmati kopi hitam dan kacang rebus.

"Bang, lihat ini, ibu memberikan balasan suratku, dan mereka telah memaafkan kita." Rukiman tersedak karena mendengar itu.

"Jadi kau saling berkirim surat dengan ibu?"

"Iya, Bang, maaf."

"Goooublook!" ujar Rukiman. Nursam tersentak.

"Jadi kau ingin kita mati, hah?" ujar Rukiman memangut dagu Nursam dengan erat.

"Kalau sampai anak buah bapakmu menemukan keberadaan kita maka kaulah yang menanggungnya." Disentaknya tangannya dengan kuat hingga wajah Nursam terasa sakit.

"Bang, dengarlah dulu!" Rukiman membuang mukanya.

"Aku memang berbalasan surat dengan Ibu tapi itu hanya dua kali saja. Pertama ketika engkau memintaku mengembalikan perhiasan itu. Aku tidak mencantumkan alamat kita tetapi Ibu diam-diam mencari tahu alamat kita, ia pun membalas suratku tanpa sepengetahuan bapak. Setelah sebulan, tidak ada yang mencari kita maka aku pun percaya dengan apa yang dikatakan Ibu bahwa takada satu pun yang tahu, kecuali dia. Maka kemarin aku kembali mengirim surat untuk mengabari kehamilanku ini. Apa salahku, Bang? Aku seorang anak yang sedang mengandung membutuhkan seorang Ibu. Aku membutuhkan segala perhatiannya. Kau tahu sendiri, aku mengandung anak pertama, banyak hal yang tidak aku ketahui. Tapi kau, kau tega memerlakukanku seperti ini." Nursam berlari ke kamarnya dengan tangis. Surat dari ibunya jatuh ke lantai. Rukiman memungut surat itu dan membacanya.

Di kamar, Nursam sesunggukan menangis. Terasa mengkal dadanya atas perlakukan suaminya itu.

"Dik, maafkan, Abang?" ujar Rukiman membujuknya. Nursam menindih wajahnya dengan bantal sehingga suaminya hanya dapat mengelus kedua lengannya yang memeluk bantal. Ia masih menangis.

"Maaf, Abang gegabah. Abang melakukan itu agar kau jera, karena kalau mereka menemukan kita, habislah riwayat kita, Dik. Betapa abang ini khawatir, Dik. Kita baru saja mengarungi bahtera rumah tangga. Jika kita tenggelam di tengah laut maka tak sampailah tujuan kita." Rukiman lalu berbaring di samping Nursam. Nursam sekejap membelakanginya. Melihat itu, Rukiman langsung memeluk dari belakang.

"Nursam sayangku, maafkankah Abang ini! Bukankah manusia tidak ada yang sempurna, Sayang?" Rukiman mengecup punggung leher Nursam.

"Maafkan, Dik, Abang benar-benar menyesal, bersumpah tak mengulangi lagi." Suara dibuatnya seperti hendak menangis. Luluh hati Nursam.

"Benarkah Abang tidak mengulanginya lagi?" Nursam membalik badannya.

"Iya, sayangku." Nursam tersenyum lalu memeluk suaminya.

"Abang sudah baca suratnya?" tanyanya dalam pelukan.

"Sudah," ujar Rukiman seraya membelai rambutnya.

"Apakah kita sebaiknya kembali saja?"

"Tidak, Dik. Rumah dan usaha kita sudah di sini. Kita tinggal di sini saja. Lagi pula rasanya aku belum siap bertemu dengan keluargamu."

"Baiklah. Tapi, Bang?"

"Apa pula?"

"Dik kepingin makan tahu campur, dingin begini pasti maknyus."

"Baiklah, Abang carikan."

"Ayam penyet, bebek goreng, dan kentaki juga ya, Bang?"

"Iya." Sadikin beranjak hendak pergi.

"Jangan lupa, rawon juga, ya?!"teriak Nursam.

Hari demi hari, Nursam melalui masa-masa kehamilan yang cukup berat. Jauh dari orang tua di kehamilan pertama sangat membuat perasaannya ditindih dilema. Di satu sisi, suaminya sangat keras hati tak mau pulang. Ia tak mau mengecewakan suaminya.

"Kata Ibu, Bapak sudah memaafkan kita, Bang. Lalu, apa pula hal yang membuat Abang tak mau pulang?" ujar Nursam suatu ketika.

Rukiman hanya diam tak menjawab. Baginya, untuk apa memberikan alasan yang bertele-tele.

"Sudahlah, Dik! Sebaiknya kita pikirkan masa depan saja di sini. Bagaimana kehidupan kita selanjutnya bersama anak-anak? Kau, kan, sudah tahu mengapa aku tak ingin pulang?"

"Karena takut sama Bapak, kan?"

"Bukan cuma itu tapi ...."

"Tapi, Abang?"

"Tidak, ada. Sudahlah kita tidur saja."

Berbeda dengan yang ada dalam pikiran Rukiman. Tentu perihal lain sudah ada dalam benaknya.

Aku tidak peduli, Nursam. Kau harus tetap berada di sini.

***

Lima bulan kemudian, tibalah Nursam melahirkan. Kabar melalui surat tersampaikan kembali.

Ibu, aku melahirkan seorang anak perempuan.

Wati melonjak kegirangan. Begitu pun Sadikin.

"Katakan padanya, segeralah pulang dan lakukan akikah di sini saja. Lagi pula rumah kita, kan baru."

"Iya, juga, ya, pak'e."

Surat pun kembali melayang ke Ulin. Sampai pulalah kepada Nursam. Ia mengabarkan kepada suaminya. Lagi-lagi, Rukiman tidak setuju. Ia tidak mau kembali lagi ke Gandang.

Bersambung...

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang