DUA PULUH ENAM

3.1K 500 20
                                        

Sekitar pukul sepuluh, Yudi membawa Nursam ke rumah Tuti ditemani Ningsih. Sesampai di rumah itu, mereka pun masuk.

Ningsih dan Yudi mengutarakan niat kedatangannya. Mendengar itu, Bu Tuti mafhum.

"Keponakan saya ada di surau, sebentar saya panggilkan," kata Bu Tuti beranjak pergi.

Surau yang dimaksud Tuti adalah tempat pengajian dan rukiah yang dilakukan keponakannya. Berada di belakang rumahnya.

Sementara Yudi, Nursam, dan Ningsih duduk di ruang tamu yang serba warna hijau itu. Dinding penuh kaligrafi, ada pula gambar-gambar wali dan ulama. Maklumlah keluarga Tuti berlatar belakang pendidikan pesantren.

Tak lama kemudian, datanglah Tuti dan keponakannya. Yudi, Nursam, dan Ningsih berdiri. Sontak Yudi terkejut melihat keponakan Tuti begitu pun sebaliknya. Lelaki berbolang dan tampan itu adalah Daud.

"Jadi, Anda ini keponakan Bu Tuti?" ujar Yudi semringah. Lantaran sempat juga ia ngobrol sepatah dua patah saat di kapal kemarin.

"Benar sekali, Mas. Dunia benar-benar sempit. Kita bertemu lagi."

Setelah saling berkenalan dan basa-basi tentang satu kapalnya waktu itu. Daud pun menanyakan perihal apakah yang membuat ketiga tamunya itu kemari.

Yudi pun menceritakan secara detail mengenai nasib rumah tangga majikannya. Sesekali Daud melempar tatapan ke arah Nursam. Dari cerita Yudi, ia hanya tersenyum.

Sejak pertama melihat Nursam di pelabuhan Gandang, ia sudah mencurigai bahwa perempuan cantik rupawan itu dalam kendali aura jahat dari orang terdekatnya sendiri.

"Tampaknya berat, Mas."

"Berat?" ujar Yudi.

"Iya, kalau saya tidak salah, aura jahat dalam dirinya begitu kuat dan sudah lama bertahun-tahun."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

Daud menghela napas. Ia minta ambilkan segelas air putih kepada bibinya. Tuti pun beranjak ke dalam lalu keluar dengan gelas di tangannya.

Daud terdiam sejenak, lalu menahan napasnya, bibirnya komat-kamit sedang membaca sesuatu lalu ia hembuskan napasnya lewat hidung. Mengapa ia menggunakan napas hidung? Menurut nasihat dari guru pesantrennya jika memberikan bacaan pada air, lebih baik memakai napas hidung daripada mulut. Sebab, mulut terkadang bisa berdusta, menyumpah, atau berkata kotor, tetapi napas manusia adalah gerakan turun naik asma Allah sehingga napas manusia itu adalah suci.

"Minumlah air ini!" ujarnya seraya menyerahkan ke Nursam.

"Untuk apa? Yang dalam masalah itu suami saya. Saya datang ke sini minta bantu untuk melihat apa yang terjadi pada suami saya."

"Oleh karena, minumlah air ini, insyaallah kau akan tahu segera apa yang terjadi pada suamimu." Nursam menoleh ke arah Ningsih lalu ke Yudi. Mereka mengangguk mengiyakan. Nursam menghela napas lalu menyambut gelas itu dan meminumnya.

"Jangan lupa baca basmalah!" ujar Daud ketika Nursam hendak minum. Ia pun berhenti sejenak membaca basmalah lalu minum.

"Sekarang pulanglah ke rumah seorang diri. Jangan hentikan langkahmu walau hanya sebentar, apapun yang terjadi di jalan jangan hiraukan. Jika kau berhenti maka keadaannya suamimu akan semakin buruk."

Nursam pun beranjak lalu keluar dari rumah Tuti. Di beranda, Daud, Yudi, Ningsih, dan Tuti mengantarnya.

"Mengapa dia disuruh pulang sendiri, Mas?" tanya Yudi.

"Kita lihat saja nanti!" Ujar Daud.

Sepanjang jalan Nursam merasakan ada sesuatu yang berubah dari suasana hatinya. Mulai ia teringat akan masa lalunya. Ketika ia berlari ke hutan mendatangi Rukiman. Mulai ia melarikan diri, menikah, hingga anak-anaknya meninggal. Begitu menyakitkan hatinya.

Mulailah rasa kesal dan mengkal di dada. Tiba-tiba saja ia begitu marah kepada Rukiman. Ia mempercepat langkahnya, di jalan sepi hari yang mulai gelap itu banyak penghalang rupanya mencoba menghentikan langkahnya. Mulai dari kelabang, cacing, ular, kalajengking. Ia berlari melintasi segala rintangan itu.

Sesampai di rumah. Dilihatnya rumah itu telah sepi. Malam itu suara burung hantu bersahutan dengan lolongan anjing.

Ketika ia masuk kamar, suaminya takada. Ia tahu, kalau suaminya itu pastilah di kamar Yati.

Ia pun membiarkan saja sambil berpikir apa yang harus ia lakukan atas kesadarannya itu.

Keesokan harinya, pagi sekali Nursam datang kembali ke rumah Tuti dengan seorang diri. Kebetulan Daud sedang duduk di bawah pohon rindang di halaman rumah bibinya.

Saat asyik membaca buku ditemani kopi panas. Ia dikejutkan dengan kedatangan Nursam. Tanpa salam dan permisi, wanita cantik itu langsung bertanya padanya.

"Jadi, aku ini sedang dipelet oleh suamiku, begitu, kan?"ujarnya.

"Tenanglah, Mbak. Silakan duduk dulu!" Daud menyilakan Nursam untuk duduk di bangku panjang bawah pohon ketapang itu.

"Apa Ustaz tahu mengapa suami saya melakukan itu kepada saya?"

"Manusia yang melakukan kesyirikan hanya satu alasannya yaitu hendak mencapaikan apa yang ia mau secara instan."

"Apa yang hendak dicapai suami saya?"

"Hanya suami, Mbak sendiri dan Tuhan yang tahu."

"Dasar laki-laki jahanam." Nursam mengumpat lalu pergi.

Daud hanya dapat menghela napas. Ia sungguh teramat kasihan dengan perempuan itu.

Ilmu pelet Nursam telah hilang dari dirinya. Jalan pikirannya hanya satu saat itu adalah agar bisa pulang ke rumah neneknya di Dukuh-ibu dari ibunya. Namun, ada sesuatu yang hendak ia ketahui terlebih dahulu. Mengapa Rukiman melakukan itu?

Saat sampai di rumah, kedai telah buka. Ia melihat suami dan madunya berada di kedai itu. Yudi terlihat sibuk mengangkut stok beras dari gudang belakang kedai.

Nursam masuk ke kedai, bersamaan itu, Rukiman meminta tolong kepada Yati untuk mengambilkan kresek dekat kasir. Melihat ada Nursam di kedai, Yati malah menyuruh Nursam untuk mengambilkan kresek itu.

"Kau yang disuruh, kenapa harus aku?!" ujar Nursam menyahut.

Padahal sebelumnya ia tak berani bicara kasar seperti itu kepada Yati.

Bersambung...

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang