SEMBILAN

3.9K 532 19
                                    

"Ingat Sadikin, waktumu tinggal satu tahun lagi." Dewi ular mengingatkan kepadanya untuk segera menyediakan tumbal.

Sadikin geram mengingat Rukiman yang telah menggagalkan rencananya menikahkan anaknya dengan Yono. Ia berharap dari pernikahan itu mendapatkan banyak uang. Jika Nursam melahirkan maka bisa menjadi seserahan ke Dewi ular.

Nurul sendiri, sudah empat kali melahirkan dan dijadikannya korban. Kini keponakannya itu tak bisa hamil lagi. Itulah sebabnya, ia bergegas menikahkan Nursam. Sayangnya, anak perempuan satu-satunya itu telah meninggalkannya pergi.

Waktu berjalan satu tahun sudah, ia belum menemukan keberadaan anaknya itu, sementara istrinya, Wati semakin kurus dan termenung memikirkan Nursam. Setiap hari, Wati selalu menangis setelah membaca surat perpisahan dari Nursam.

"Aku yakin, pak'e, anak kita hanya sedang diguna-guna. Mana mungkin dia bisa bertindak bodoh seperti itu. Dari suratnya ini tertulis bahwa ia pergi dalam keadaaan bingung. Dia tidak mau melakukannya tetapi tubunya selalu bergerak ke sana. Ini semua karena anak setan itu."

Sadikin hanya diam. Ia menghela napas. Satu-satunya harapan kali ini adalah Nursam harus punya anak tapi dia tak menemukan keberadaan Rukiman. Ia pernah meminta orang menyelidiki keberadaan Rukiman tapi takada yang berhasil.

Tiba-tiba, suatu pagi, datanglah surat untuk Wati dari Nursam. Bagai air yang menyiram bunga kering, Wati dapat bernapas lega. Kini ia tahu kabar anaknya walau tak tahu dimana keberadaannya. Namun, dengan mengetahui anaknya baik-baik itu sudah cukup menegarkannya. Dalam surat itu, Nursam bercerita bahwa dirinya baik-baik saja. Tentu saja maaf yang banyak ia tuliskan di surat itu. Termasuk perhiasan telah dikirim gantinya.

"Dimana alamatnya?" ujar Sadikin mengetahui itu.

"Dia tidak mencantumka pak'e? Tampaknya anak kita sukses di kampung orang."

"Baguslah kalau dia baik-baik saja."

"Pak'e akan mencarinya lagi?"

"Tidak perlu, kalau dia mengirim surat itu tandanya dia masih menganggap kita ada. Biarkan kerinduan yang membawanya pulang."

Wati tersenyum bersyukur atas pikiran suaminya itu.

Lima bulan kemudian, datanglah surat kedua dari Nursam, ia mengabarkan kehamilan anak pertamanya.

"Apa, jadi sekarang dia hamil," ujar Sadikin terkejut.

"Iya, pak'e." Tiba-tiba Wati terisak.

"Dulu aku setiap hamil selalu pulang ke orang tuaku, kini anakku sendiri tak bisa pulang ke orang tuanya. Jika dia pulang, pasti mala petaka yang akan dia dapatkan."

"Apa hal yang kau katakana itu, Wati?"

"Bukankah begitu pak'e? Kau pasti tidak menginginkan dia pulang. Bukankah kau akan membunuhnya?"

"Ah, gila saja kau, dia itu anakku, darah dagingku. Mana mungkin aku membunuhnya. Meskipun dia salah bejibun denganku, aku tetap memaafkannya."

"Benarkah itu, pak'e?"

"Andai kita tahu dimana alamatnya tentu kita dapat menjemputnya atau sekadar membalas suratnya. Aku ingin mengatakan bahwa masa lalu sebaiknya dikubur saja dan kita kembali bersamanya."

"Maaf pak'e, sebenarnya, aku telah diam-diam menyelidiki alamat surat ini. Awalnya tukang pos tidak memberitahukanku, namun aku memberinya dengan sejumlah uang, akhirnya ia mau mengatakan alamat pengirim itu dari mana."

"Benarkah, lalu mengapa kau sembunyikan?!"

"Aku takut pak'e marah. Kusangka pak'e akan mengirim orang untuk membunuhnya."

"Kau pikir aku ayah macam apa? Kau pikir aku tidak merindukannya, setiap saat kau menangis, melihat adik-adiknya turut sedih merindukan kakak satu-satunya itu. Aku ini seorang bapak, tidak satu pun di dunia ini inginkan anaknya celaka. Aku memang marah, sangat marah waktu itu, tetapi kusadari sekarang bahwa itulah pilihanya. Bagaimana pun dia tetap anakkku dan kini waktu telah berlalu. Sudah saatnya aku harus menerimanya kembali."

"Pak'e?" Wati semakin terisak. Ia meneteskan air mata bahagia.

"Kalau begitu tunggu apa lagi, balas kirimannya segera. Jangan lupa tanyakan alamat lengkapnya! Ini kabar baik. Aku akhirnya punya cucu."

Wati semringah melihat suaminya yang ceria dengan kabar itu. Diilihatnya suaminya itu menimang-nimang kedua anak kembarnya. Beberapa kali mencium Yansyah dan Yandi—Si Kembar.

"Alhamdulillah, kalian sebentar lagi punya keponakan?" ujar Sadikin. Kedua anak kembarnya yang masih berusia enam tahun bersorak senang.Wati menangis terharu. Ia beranjak dari duduknya dan menghambur ke suami dan kedua anak lelaki yang kembar itu.

***

Rukiman dan Nursam tampak bahagia. Rukiman sibuk melayani pembeli. Sementara Nursam melayani di kasir. Semakin hari semakin bertambah pelanggan mereka.

Keputusan mereka membangun kedai di halaman rumah sangat tepat. Sebab posisi rumah mereka cukup strategis. Di mana kedai itu berada di halaman rumah mereka, persis di pinggir jalan. Sementara jalan itu adalah yang biasa dilewati para warga sehabis belanja di pasar ikan. Apalagi para nelayan yang biasanya setelah menjual ikan ke pasar mereka bisa langsung singgah untuk belanja ke kedai itu.

Kedai itu masih terbilang kecil, hanya seukuran 4 x 4 meter persegi. Sehingga stok barang disimpan di dalam rumah.

Nursam bergegas naik ke rumahnya. Ia tak memperhatikan kehamilannya lagi. Menaiki tangga dengan terburu-buru. Rupanya ia lupa sedang memasak di dapur.

"Dik, hati-hati. Aduh!" seru Rukiman yang melihat istrinya itu. Ia masih dalam keadaan melayani pembeli.

Tak lama kemudian, Nursam turun. Tampak pembeli sudah tidak ada lagi. Dilihatnya wajah suaminnya menekuk cemberut dengannya. Nursam duduk di bangku kasir sembari menyeka keringat di dahinya.

"Maaf, Bang."

"Kau sungguh tidak hati-hati," ujar Rukiman sambil menyusun barang-barang ke etalase.

"Aku lupa mematikan kompor."

"Sudah kubilang, jangan masak apapun sambil berjualan. Kalau kau masak, ya, masak jangan turun ke kedai."

"Tapi Abang sendiri kerepotan." Nursam mendengkus.

"Bang, kehamilanku akan semakin besar. Tentu aku tak bisa banyak membantu Abang. Kapan Abang mencari pekerja?"

"Soal itu kau tidak usah khawatir, kemarin Bu Tuti sudah menemukan orang yang bisa membantu kita. Katanya, hari ini juga dia datang."

"Oh, syukurlah."

Beberapa saat kemudian, dari kejauhan tampak kedatangan Bu Tuti dengan seorang pria.

Melihat kedatangan Bu Tuti mereka tampak semringa. Mereka pun saling berjabat tangan. Rukiman dan Nursam mempersilakan naik ke rumah. Setelah berbincang basa-basi, dan perkenalan satu sama lain. Kini Tuti membicarakan topik intinya.

"Tomi, seperti yang saya janjikan kalau saya akan mencarikan pekerja untukmu di kedai. Ini namanya Yudi, masih keluarga jauh saya. Dia orangnya baik dan penurut. Terlebih dia orang jujur. Pernah bekerja di perusahaan es di pasar ikan sana menjadi supir. Tapi enam bulan yang lalu, perusahaan itu hengkang. Sehingga Yudi sekarang hanya bekerja serabutan. Ketika saya tawarkan kesempatan ini, dia bersedia. Bukan begitu, Yudi?" Pria tinggi kurus sebelas dua belas dengan Rukiman itu tersenyum mengangguk. Ia sangat sopan.

"Kalian bisa mempekerjakannya dengan istilah magang dulu atau apalah, mungkin untuk menguji apa yang saya sampaikan tadi."

"Ah, Bu Tuti, hanya membantu di kedai saja harus seperti layaknya sebuah perusahaan saja. Uji menguji. Itu tidak perlu Bu Tuti. Kami berdua sudah mempercayakan ini kepada Bu Tuti," kata Rukiman. Nursam mengiyakan.

Terjadilah kesepakatan itu. Yudi menjadi pekerja di kedai mereka sejak hari itu dengan aturan dan gaji yang disepakati. Terutama membantu Rukiman membeli barang di agen kota.

bersambung...

KARINDANGAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang