Sadikin patah hati karena tak bisa memiliki Halisa. Setelah gagal menikah dengan perempuan elok itu, Sadikin lama membujang. Bahkan sampai Halisa meninggal, ia masih saja sendiri.
Sadikin berusaha move on. Ia berniat untuk segera menikah.
"Tunggulah pembalasanku, Juman," batinnya. Ia sangat dendam kesumat dengan Juman karena Halisa—cinta pertamanya—lebih memilih menikah dengan lelaki paru baya.
Sadikin terkenal ahli judi saung ayam maka teman lamanya bernama Wengsa meminta Sadikin mengajarinya dengan memberikan upah bahkan hendak mencarikan jodoh.
Akhirnya Sadikin pun membantu saudagar itu untuk mengajari teknik saung ayam dan jenis ayam seperti apa yang bagus untuk dijadikan petarung.
"Ngomong-ngomong kau suka cewek seperti apa, Kin?" ujar Wengsa suatu ketika. Sebelum ia menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba datanglah seorang perempuan dengan nampannya. Wanita itu terlihat sangat bohai, yang tak lain adalah istri Wengsa. Rukiman terpikat pada pandangan pertama.
"Seperti Mbak Yu," ujarnya tanpa sadar. Wengsa terkekeh. Sementara istri Wengsa jadi tersipu saat meletakkan gelas teh di hadapan Sadikin.
"Ini milikku," ujar Wengsa sembari memangut bahu istrinya.
"Aih, maaf Sobat. Saya bercanda."
"Aih, aku tahu. Lagi pula aku sudah biasa melihat orang-orang terpana kepada istriku." Sadikin menggaruk kepalanya karena malu.
"Perkenalkan ini istriku, namanya Kusuma Wati. Biasa dipanggil Wati."
Sadikin terpikat dengan istri temannya itu. Wajah bulat, bibir penuh, badan juga penuh, tali lalat di dagu membuat wanita itu semakin manis dilihatnya. Yang pasti, raut wajah malu-malu itulah yang membuat Sadikin semakin gemas. Setiap menatap bibir penuh merah merona milik Wati, Sadikin selalu menelan ludah. Pikirannya melayang jauh.
Ia bukanlah orang yang mudah menyerah dengan keinginanya. Apa yang sudah membuatnya tertarik maka ia harus mendapatkannya sekali pun dengan cara kotor.
Seminggu kemudian, mulailah Wengsa sakit. Hanya perlu beberapa hari saja, lelaki perut buncit dan berkumis itu jiun. Jadilah Wati seorang janda tanpa anak.
Tiga bulan kemudian, Sadikin berkunjung ke rumah itu menyerahkan ayam jago milik Wengsa yang sempat dipeliharakannya.
"Untuk apa dikembalikan, Kin. Sebaiknya kamu ambil saja!" ujar Wati di teras rumahnya. Ada meja dan kursi disediakan untuk tamu. Mereka duduk berhadapan.
"Tetapi ini bukan hak saya maka dari itu saya kembalikan."
"Tidak, sekarang jadi milikmu. Lagi pula, aku mana tahu soal ayam." Wati menyerahkan keranjang yang berisi ayam itu.
Setelah percakapan sebentar, tibalah waktunya pulang.
"Malam-malam begini, apa Mbak Yu tidak takut sendirian di sini?" Waktu itu sudah malam, sekitar pukul sembilan. Suara jankrik sudah saling bersahutan. Di kampung jam sembilan itu sudah seperti tengah malam. Keadaannya sungguh mencekam.
"Ya, bagaimana lagi, Kin. Oyah, terima kasih berkenan datang kemari."
"Sama-sama Mbak Yu, saya permisi pulang." Ketika Sadikin beranjak dari kursi, tiba-tiba hujan.
"Aduh aku ndak ada payung ini, Kin. Gimana kamu mau pulang?"
"Ah, laki-laki takut hujan, cemen. Saya terobos saja. Sebaiknya, Mbak Yu masuk sekarang, istrihat. Saya permisi." Sadikin merekatkan jaketnya lalu berlari dengan keranjang ayam jagonya. Belum jauh ia berlari, Wati pun mengejarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
KARINDANGAN
Ficción General~Wattys Winner 2021 Kategori Horror~ Nursam hampir bunuh diri dengan apa yang menimpa dirinya. Ia sungguh tak menyangka jika suami yang sangat dicintainya ternyata menipunya belaka. Dia dipelet dan keempat anaknya meninggal tak wajar. The Best Rank...