***
Di rumah besar Miranda, terlihat Maya duduk menonton tv di ruang tengah rumah, mulut mengunyah cemilan dari toples di atas meja, sedangkan di samping gadis itu Miranda tenang dengan buku majalah di tangan.
"Ngomong-ngomong." Maya membuka suara saat sinetron terjeda iklan. "Tadi siang Radia nelpon," katanya melanjutkan dengan tenang.
Miranda langsung menoleh terkejut dan penasaran. "Terus? Dia bilang apa? Ck, gimana tuh anak bisa nelpon, dia kan gak bawa apa-apa pas pergi," tanyanya diakhiri decakan kesal.
"Dia nelpon pake nomer orang, nelpon ke nomer hp dia sendiri, tadi karna kesel tuh hp bunyi mulu jadi kuangkat." Maya menjeda sebentar penjelasan untuk menelan makanan di mulut.
"Dia minta tolong, katanya dia diculik. Gak tau gimana cara dia bisa nelpon ke sini, tapi kayaknya dia buru-buru banget," kata Maya melanjutkan.
Miranda manggut-manggut mendengarkan dengan serius.
"Tapi aku udah bilang kalo kita gak peduli. Terus tiba-tiba ada suara cowok gitu ngomong, kedengeran marah dan Radia langsung diem gak berani jawab, gak lama kedenger suara kayak benturan gitu sebelum telpon tiba-tiba mati," kata Maya lagi dengan ekspresi mengingat-ngingat.
Pandangan Miranda nampak menerawang memikirkan penjelasan, tak lama senyum sengit terbit di bibir berpoles lipstik merah muda itu.
"Radia itu anak yang cerdas walopun penyakitan dan pelupa. Dia pasti mikirin banyak cara buat kabur dari penculik itu, tapi kalo sampe ketauan kayak kata kamu tadi, udah pasti dia gak akan dapet kesempatan lagi dari si penculik. Ohya, dia nelpon siang, kan? Bisa aja abis ketauan nelpon itu dia langsung disiksa," kata Miranda panjang lebar tanpa perasaan.
"Lain kali kalo ada yang nelpon kira-kira dari Radia, gak usah diangkat. Biarin aja, entar kita diseret ke masalah dia lagi," pesan Miranda mendengkus samar.
Maya mengangguk saja menurut. Lebih senang rumah ini tanpa kehadiran Radia, walaupun bisa disuruh ini itu, tapi tetap saja Maya suka menguasai rumah sendiri. Radia baginya hanya benalu, bukan saudari tiri.
***
Tidur Radia terganggu karena merasakan remasan kuat di tangan. Mengerjab perlahan, mengangkat sedikit kepala dan mendapati tangannya bertaut dengan tangan besar Reiki. Tapi yang membuat Radia meringis adalah Reiki meremas tangan kecilnya seperti ingin meremukkan. Padahal laki-laki itu masih menutup mata, tidur.
"Assh, sakit," lirih Radia, bertumpu lengan ingin menarik tangan dari genggaman Reiki.
Tapi di tengah usaha itu, Reiki mengigau, bibir laki-laki itu bergumam dan terkadang menggeleng panik, keringat dingin menggantung di pelipis Reiki yang sepertinya bermimpi buruk.
Radia bergeser mendekat, tidak tega saat melihat laki-laki itu gelisah dalam tidur. Perlahan tangan yang tidak digenggam menyentuh pelipis Reiki yang terus bergumam tidak jelas, sebelum turun ke pipi.
"H-Hey ... ssstt," desis Radia menenangkan, bingung juga harus mengatakan apa dan bagaimana.
Apa Radia perlu membangunkan laki-laki ini? Tapi bagaimana? Namanya saja Radia tidak tau.
"Ke mana ... lu ke mana."
Amat lirih, tapi cukup dimengerti Radia dalam keheningan kamar, jadi benar laki-laki sedang bermimpi buruk.
"Ssstt, hey, buka mata kamu," bisik Radia lagi, menepuk-nepuk pipi Reiki pelan untuk membangunkan.
Sesaat kemudian, mata Reiki terbuka lebar seperti terkejut, nampak tidak fokus sebelum akhirnya bertemu pandang dengan Radia yang menatap cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me { Tamat }
Teen Fiction[ Villain Angels Universe ] [ 🔞 Mature Content ] *** "K-Kenapa aku dibawa ke sini?" tanya Radia tergagap karena takut dan gugup. "Satu pertanyaan," kata Reiki mengangkat satu jari. "Lu ngerasa kenal gua?" tanya Reiki melanjutkan kalimatnya. "A-Aku...